PERTAMA lokakarya di Jogja. Bertempat di Yogyakarta, Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 15 Januari 2007. Atas undangan panitia saya mendapatkan kesempatan untuk menyajikan paparan berjudul ”Persoalan Kemiskinan dan Politik Biaya Tinggi: Perspektif Ekonomi”. Beberapa pembicara membawa perspektif berbeda misalnya Prof Irwan Abdullah dalam dimensi budaya.
Lokakarya ini cukup menarik karena berusaha membahas beberapa hal persoalan bangsa diantaranya adalah pertama Semakin perlunya peningkatan terhadap pemaknaan kerakyatan dan kebangsaan dalam menyelesaikan kemiskinan, terutama dikaitkan dengan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional (1928-2008) dan 80 tahun Sumpah Pemuda (1928-2008) pada tahun ini. Kedua desentralisasi yang memungkinkan penyebaran kekuasaan justru berlawanan arah dengan fenomena pemusatan distribusi ekonomi –dengan tolok ukur PDRB atau Produk Domestik Bruto- di wilayah Jawa. Sehingga daerah kaya sumberdaya alam, seperti Kalimantan dan Papua justru mengalami fenomena ”paradox of plenty” atau kemiskinan di tengah kelimpahan. Ketiga kemiskinan dan ketimpangan pada saat ini berada dalam konteks perkembangan praktik demokrasi –pasca Reformasi- yang diwarnai oleh politik biaya tinggi. Situasi semacam itu mengharuskan kita untuk mengkaji kembali keseluruhan tatanan sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang justru memperkokoh proses pemiskinan seperti: besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan berbagai proses eletoral di tingkat nasional pun lokal, pembiayaan politik yang tinggi dalam proses kandidasi dan selanjutnya dalam proses kompetisi politik untuk merebut jabatan politik. Keempat Universitas Gadjah Mada akan memfasilitasi berbagai perguruan tinggi untuk mewujudkan Tridharma Perguruan Tinggi yang memiliki kepedulian mendalam pada persoalan kemiskinan dan ketimpangan serta penumbuhan demokrasi yang murah dan berkualitas.
Dalam kesempatan itu pula materi yang saya presentasikan mengenai konsep pembangunan nasional yang membahas 3 (tiga) hal yaitu logika ekonomi bahwa supply creates its own demand. Paradigma penawaran dan permintaan ini relevan dengan pepatah ”Siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang bekerja keras akan tetap eksis dalam kompetisi. Kemudian teori perubahan struktural, yang isinya perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Diperlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan teknologi dan pembangunan sumber daya manusia. Contoh empiris dalam pengimplementasian konsep pembangunan ini adalah ”Kerja Untung Tabung” yang merupakan lanjutan dari slogan triple track Kabinet Indonesia Bersatu: employment, income, growth.
Dalam kerangka Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan atau TKPK, di Depsos telah eksis Project Management Unit untuk membantu perumusan data by name by address yang mencakup kriteria kemiskinan pada akar rumput. Pada kongres Pembangunan Manusia Indonesia, BULOG memuji akurasi data BNBA dari Depsos ini. Kemudian mengenai pendamping, terdapat Manajer Sosial Kecamatan atau Maskot sebagai pendamping masyarakat miskin yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sebagai kelompok masyarakat. KUBE adalah himpunan dari keluarga yang tergolong fakir miskin yang dibentuk, tumbuh, dan berkembang, atas dasar prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan yang lain, dan tinggal dalam satuan wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama.
Usaha produktif yang dimaksud adalah usaha yang dapat memberikan nilai tambah (value creation, dan value added) dan meningkatkan pendapatan bagi pengusaha skala mikro, kecil dan menengah.
Koordinasi dalam hal penanggulangan kemiskinan sangat diperlukan. Berbagai program yang dilaksanakan beberapa institusi pemerintah memerlukan kordinasi agar tercipta sinergitas untuk mencapai tujuan. Adapun fungsi dari lembaga koordinasi tersebut adalah untuk mencegah timbulnya tumpang tindih, benturan dan kekakuan dalam aktivitas dan gerak institusi-institusi pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Keberlanjutan program dan informasi antara Project Management Unit, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Office Management of President, dan Management Cockpit, dalam membuat Pedoman Umum, Juklak, dan Juknis
Selanjutnya kita berbicara mengenai “Law Enforcement” prinsipnya adalah pentingnya semua orang mematuhi hukum guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut dengan istilah social order and public safety. Peran pemerintah sangat besar karena model penegakan hukum yang ini bersifat top down, dilakukan oleh negara terhadap masyarakat. Optinmalkan kembali P5D atau Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah yang dilakukan melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan atau Musrenbang dengan tujuan utama monitoring evaluasi (moneva).
--
KEDUA dialog publik di Kebon Sirih. Pada kesempatan lain yaitu tanggal 17 Januari 2008 saya menghadiri Dialog Publik yang diselenggarakan oleh Katalis di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta. Temanya adalah ”Pencapaian Millenium Development Goals (MDG)”. Di samping saya ada Dr Abdul Salam (Direksi di Bank BRI), Dr Fadil dari lembaga penelitian Indef, dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yaitu Abdul Hakam Naja.
Fadhil Hasan mengamati mengenai data BPS yang menyebutkan bahwa gap atau kesenjangan semakin besar –meski pertumbuhan beranjak naik. Pak Salam mengenai perlunya penanggulangan kemiskinan melalui lembaga keuangan mikro untuk mempercepat pencapaian MDG. Sedangkan Abdul Hakam Naja mengenai Pemberdayaan Sosial dan Pencapaian MDGs.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah atau RKP 2008, beberapa tantangan pokok yang dihadapi pada tahun 2008 adalah sebagai berikut. Pertama, mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menetapkan sasaran ekonomi makro tahun 2008 adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen dan laju inflasi sebesar 6,0 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tersebut, pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin diharapkan akan turun menjadi sebesar 9,0 persen dan 16,8 persen pada tahun 2008. Untuk membiayai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen, dibutuhkan investasi sebesar Rp 1.296,1 triliun. Dalam RKP disebutkan bahwa dorongan akan diberikan pada peningkatan investasi yang masih lambat dan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang masih lemah dalam tahun-tahun sebelumnya.
Kedua, mempercepat pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Diharapkan pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi 9,0 persen dan 16,8 persen pada tahun 2008. Kemudian ketiga, menjaga stabilitas ekonomi potensi gejolak moneter internasional yang terkait dengan melebarnya kesenjangan global, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, menurunnya harga-harga komoditi nonmigas dunia, dan tingginya likuiditas ekonomi dunia dapat mempengaruhi ketidakseimbangan eksternal, ketahanan fiskal, dan stabilitas moneter di dalam negeri.
Saat deklarasi MDGs diluncurkan, tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. MDG merupakan resolusi United Nations (PBB) yang diadopsi pada pertemuan pleno ke-8 Millenium Summit. Kesepakatan MDG's ditandatangani oleh 192 negara anggota PBB dalam rangka pencapaian goals pada tahun 2015.
Naja dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa dalam dunia politik internasional MDG's terlahir dalam situasi ketimpangan hubungan antar negara yang dijalin melalu organisasi donor internasional seperti CGI, ADB, IMF, dan lainnya. Ketimpangan hubungan mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan politik antara negara maju dan berkembang. MDG's lahir lewat sebuah resolusi yang tidak hanya dalam tataran konsep yang dipaksakan oleh PBB, tetapi karena kebutuhan masyarakat di banyak negara yang masih dilanda kemiskinan dan kelaparan.
Naja mengutip pendapat Jeffrey D. Sachs (2005) yang menyatakan kesalahan dari organisasi donor internasional pada paradigma pembangunan ekonomi yang disandarkan pada ukuran-ukuran development economics yang mengutamakan indikator growth daripada ukuran yang didasarkan atas clinical economics seperti iklim, demografi, kesehatan, tingkat pendidikan, kematian ibu dan anak dli. Paradigma pembangunan seperti ini tidak banyak menolong tetapi justru kemudiari menciptakan ketergantungan negara-negara miskin pada negara kaya atau lembaga donor internasional. Disampiag itu paradigma. pembagungan yang menitikberatkan pada growth juga menimbulkan masalah-masalah sosial pada negara penerima bantuan organisasi donor, dan hal ini juga yang terjadi pada negara kita.
Indonesia yang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, selama ini telah menjadi donor dari lembaga keuangan internasional yang diharapkan dapat membantu untuk keluar dari keterpurukan sosial dan ekonomi. Tapi kasus seperti di Afrika Selatan, Polandia, dan India terjadi pada Indonesia. Ekonomi tidak membaik, justru mengakibatkan beban negara akan permasalahan sosial kemasyarakatan yang semakin meningkat.
Laporan "A Future Within Reach" maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2007 menempatkan Indonesia termasuk di jajaran negara-negara yang mundur dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs). Indonesia bahkan berada dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina. Indonesia memperoleh skor negatif, baik dalam indeks kemajuan maupun dalam status terakhirnya. Dari 23 indikator dalam tujuh sasaran MDGs, enam di antaranya masuk ke dalam kriteria mundur yaitu; garis kemiskinan nasional, kekurangan gizi, kerusakan hutan, emisi karbon dioksida (CO2), air bersih di perkotaan dan sanitasi di pedesaan. Bila dicermati, negara-negara yang termasuk pada kategori itu mengalami stagnasi karena tarik-menarik kepentingan politik terus berlangsung sehingga menghambat bahkan merusak upaya-upaya perbaikan pembangunan. Kemunduran terjadi karena situasi itu ditambah oleh bencana alam mau pun bencana yang disebabkan ulah manusia. Melihat indikator yang ada, menurut saya, Indonesia tampaknya on the right track dengan pencapaian selama ini.
Walaubagaimanapun, jelas kita perlu bekerja keras agar perkembangan pencapaian MDGs Indonesia tersebut mampu diakselerasi lebih optimal –minimal tetap terjaga indikator perbaikannya. Maka upaya untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya ekonomi Indonesia serta mengurangi kemiskinan –dalam rangka mencapai target MDGs- adalah “Bersama Membangun Bangsa”. Kita optimalkan segenap komponen untuk maju. Salahsatunya kita optimalkan kerjasama dengan BUMN dan swasta dengan CSR atau corporate social responsibility dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dalam upaya mengembalikan pusat ekonomi kepada rakyat: pembangunan dari-oleh-untuk Rakyat di Daerah. █DIMUAT di kolom "Renungan" Majalah Komite pada edisi akhir Januari 2008. Majalah KOMITE adalah majalah yang diterbitkan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Senin, 28 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar