I. Dalam kepustakaan tentang Indonesia, kita menemukan amat banyak kritisi terhadap budaya Jawa dalam peran negatifnya dalam pembangunan bangsa, mulai Karl D. Jackson, Richard Robison, William Liddle, Michael Vatikiotis, hingga Adam Scwartz, bahkan ada juga ilmuwan Indonesia yang mengritisi budaya Jawa –yang tidak etis saya sebut namanya di dalam forum ini. Kritik-krtitik tersebut dapat saya sarikan lima hal. Pertama, budaya Jawa dinilai mempunyai tradisi kekerabatan yang tinggi yang memberikan peluang atau potensi bagi tumbuhnya penyakit nepotisme, yang berkenaan dengan kolusi dan korupsi ada di ujungnya. Birokrasi dengan watak budaya Jawa adalah birokrasi yang mempunyai kualitas profesional yang rendah. Kedua, budaya Jawa mempunyai karakter sentralistik yang bertentangan dengan faham demokrasi yang melandaskan diri kepada partisipasi dan desentralisasi. Ketiga, budaya Jawa terlalu lamban, apatis, serba mementingkan harmoni dan keselaran, dan tidak berorientasi ke depan sehingga bertentangan dengan hukum pembangunan yaitu progresivisme. Robert N. Bellah menulis tentang Religi Tokugawa dan David McClelland menulis The Achieving Society, yang isinya sama-sama mengatakan hanya bangsa-bangsa yang memiliki budaya yang berorientasi kepada kemajuan dan prestasi yang menjadi bangsa-bangsa maju. Budaya Jawa diklaim sebaliknya. Keempat, budaya Jawa di dalam dirinya mengandaikan bahwa budaya lain berada di bawah budayanya, antara lain ditunjukkan dengan istilah ora nJawani, durung Jawa, bagi mereka yang dinilai kurang “beradab”. Hampir-hampir semacam konsep “kafir” di dalam pemahaman agama. Kelima, budaya Jawa menghasilkan kepemimpinan yang terbiasa berkomunikasi dengan budaya-budaya simbol (kiasan) daripada komunikasi yang terbuka, sehingga mempunyai potensi menciptakan communication bottleneck di berbagai tingkat. Seperti kita ketahui, kemampatan komunikasi merupakan bagian-bagian awal yang mengkontribusikan pembentukan proses disintegrasi. Saya memulai dengan membuka kembali permasalahan-permasalahan ini untuk memulai diskusi tentang budaya Jawa dan Integrasi Nasional. Secara khusus yang amngangkat isu integrasi nasional sebagai isu sentral kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dan di masa depan. Ada dua pertanyaan besar, apakah isu ini masih relevan dibicarakan di tengah kritisi yang berjalan dan mengena kepada budaya Jawa, khususnya dalam kehidupan bersama tersebut? Pertanyaan ini menjadi penting karena bagi Indonesia, bagaimanapun Jawa adalah sentral. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi di jaman Majapahit (abad 14), Belanda (abad 17-20), Inggris (abad 19), maupun Jepang (abad 20). Kondisi faktualnya adalah:
1. Jawa merupakan kawasan berpenduduk paling padat, namun
2. Jawa merupakan kawasan paling maju, dengan konsekuensi
3. Jawa merupakan kawasan paling makmur
Kondisi ini sedemikian kontras, hingga kerajaan-kerajaan di Indonesia masa lalu dan para penjajah biasanya hanya membagi Nusantara menjadi Jawa dan Luar Jawa, di mana Jawa menjadi sentral dan luar Jawa menjadi periferal.
Jawa pasca kemerdekaan hingga hari ini tetap menjadi sentrum dari Indonesia. Pergolakan politik di luar Jawa tidak banyak berpengaruh bagi perubahan politik nasional dibanding pergolakan kecil di Jawa. Kondisi ini diperkuat dengan kebijakan sentralistik yang merupakan turunan dari kebijakan politik “Negara Kesatuan” yang dengan sengaja dipilih oleh para pendiri bangsa. Orde Baru dengan paradigmanya yang sentralistik dengan UU 5/1974 tentang Pemerintahan di daerah mengukuhkan kondisi sentralistik ini.
Pembangunan Indonesia pun di sana-sini mendapatkan kritikan sebagai “Jawanisasi”. Salah satu contoh kebijakan yang pernah diidentikkan dengan Jawanisasi adalah Transmigrasi, terutama karena bentuknya memang mengirim warga Jawa pindah ke luar Jawa.
Pada tahun 1998 model pemerintahan sentralistik yang ditengarai amat diwarnai budaya politik Jawa mengalami krisis yang akut yang berakibat macetnya pemerintahan dengan khaos dan kemerosotan pembangunan yang tidak tanggung-tanggung. Barangkali, melihat kondisi ini, pemerintanan transisi yang dipimpin Wakil Presiden Habibie –yang diangkat menjadi Presiden setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri sesuai dengan aturan di dalam Konstitusi— menyusun UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang bertujuan untuk mendesentralisasikan pemerintahan. Sebuah konsep yang berhadapan diametral dengan budaya Jawa yang disitir di atas.
Pertanyaan kini adalah, apakah menjadi relevan mendiskusikan peran budaya Jawa dalam membangun integrasi nasional. Karena isu ini juga mengedepankan dua hal pokok. Pertama, implementasi UU 22/1999 yang bersifat desentralistik, yang ditengarai tidak dijiwai oleh budaya Jawa, justru berpotensi menciptakan disintegrasi nasional dan menyebabkan banyak kemacetan administrasi pembangunan di berbagai tingkat –khususnya dalam konteks pusat-daerah. Adalah kurang bijaksana membawa diskusi ke ranah ini, karena dapat berkembang ke isu apakah kita harus memilih budaya politik Jawa atau bukan Jawa. Karena itu, hal pertama yang akan dikaji kemudian adalah MAKNA dari integrasi nasional itu sendiri, baru kemudian dipertautkan dengan karakter budaya yang memberikan dukungan secara efektif kepadanya. Kedua, istilah “budaya Jawa” pun mendapatkan tantangan yang besar. Pertama, Jawa sendiri terdiri dari berbagai budaya yang tidak bisa dikatakan “sub budaya”, mengingat masing-masing memiliki perbedaan yang tidak bersifat berjenjang. Kita tidak bisa mengatakan bahwa budaya Jawa adalah di Solo dan Yogja, sementara budaya Jawa Barat (Sunda, dan Banten) dan di Jawa Timur Surabaya, Banyuwangi, Malang) adalah sub budaya. Tidak ada hirarki struktural seperti itu. Belum lagi ditambah dengan budaya Jakarta yang berlokasi di Jawa yang telah masuk ke dalam budaya megapolitan seperti halnya Singapura, Sidney, New York, Hongkong, Tokyo, dan lain-lain. Saya kira, pada dua pondasi ini saya akan berbicara tentang budaya Jawa dan integrasi nasional.
II. Pada tahun 2001, Keluarga Alumni Gadjah Mada menyelenggarakan Munas di Balikpapan dengan membawa sebuah tema bersama yang dipandang krusial, yaitu integrasi nasional. Kesimpulannya adalah bahwa tantangan terkini bagi negara-bangsa Indonesia adalah memperkokoh persatuan bangsa. Isu ini menjadi ujung permasalahan kebangsaan tatkala para pemimpin bangsa ini tidak berhasil melakukan upaya pemulihan kehidupan politik, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai akibat dari krisis di tahun 1997. Fakta ini menjebak bangsa Indonesia dalam suasana psiko-sosial yang tidak menguntungkan untuk hidup bersama dalam sebuah kesatuan kebangsaan. Dalam lima tahun terakhir ini, bangsa Indonesia diselimuti oleh sifat-sifat negatif dalam kehidupan bersama, yaitu kecurangan, kebodohan, kemiskinan, kecurigaan, kekerasan, kesewenang-wenangan, dan ketidak adilan. Masing-masing memerlukan “obat”, yaitu kejujuran yang ditopang oleh lembaga hukum dan penegakan hukum, kepandaian dan kemandirian yang ditopang oleh lembaga pendidikan, kesejahteraan yang ditopang oleh berjalannya lembaga-lembaga ekonomi rakyat, saling percaya yang ditopang oleh transparansi dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, kedamaian yang didukung oleh penegakan rasa aman oleh aparat negara bermitra dengan masyarakat, kearifan yang ditopang oleh pranata-pranata sosial yang berjalan dengan normal, dan kesetaraan yang didukung oleh tata kehidupan dan kelembagaan yang demokratis. Pemecahan dan penopang tersebut merupakan basis dari upaya perkokohan integrasi bangsa.
Apakah integrasi bangsa? Sebuah pertanyaan sederhana tetapi mendasar, yang terus-terang juga “lupa” kita garis-bawahi. Seperti hanya setiap diskusi tentang integrasi nasional, biasanya kita langsung masuk –dan kemudian terjebak— di dalam pemahaman-pemahaman teknis seperti persatuan, kesatuan, keamanan, dan seterusnya. Integrasi sederhananya adalah sebuah penggabungan atau peleburan beberapa kesatuan menjadi satu kesatuan di dalam sebuah tatanan yang harmoni. Integrasi bukanlah penaklukan. Integrasi bukanlah merjer. Dan integrasi bukanlah sebuah konsep militeristik.
Setiap bangsa pada dasarnya adalah sebuah kesatuan yang majemuk. Amerika Serikat dan Indonesia adalah contoh yang paling khas. Keduanya memiliki kesatuan-kesatuan bangsa yang berlainan sama sekali, namun karena sepakat hidup bersama, maka dibentuklah kesatuan dalam kemajemukan. Ini adalah kuncinya. Tidak heran jika dua negara ini mempunyai slogan yang sama “berbeda-beda namun tetap satu”.
Kesatuan adalah kata kunci integrasi nasional. Kesatuan dalamn hidup berbangsa dan benegara. Kesatuan bukanlah penyeragaman. Inilah kesalahan di masa lalu. Kita menganggap bahwa kesatuan adalah penyeragaman sehingga integrasi nasional kita bentuk sebagai sebuah uniformitas rakyat Indonesia. Hasilnya adalah kita justru mempermiskin sumberdaya manusia nasional dengan ujungnya adalah krisis. Integrasi nasional bukan juga berupa integralisasi atau negara yang integralistik, yang dengan serakah mengakuisisi setiap potensi dan kekuatan dari rakyatnya. Kesatuan bukan pula ada di dalam satu wadah tetapi saling tidak mendukung seperti yang kita alami hari ini. Nampak nyata, perjalanan bangsa Indonesia hari ini masih “jalan di tempat” karena satu sama lain tidak ikhlas untuk menjalankan tugas masing-masing, dan di sisi lain diperburuk dengan gagalnya masing-masing bekerja secara optimal di tempat kerjanya. Kritisi ini bahkan dapat dikenakan kepada negara, baik legislatifnya, eksekutifnya, yudikatifnya, bahkan akuntatifnya.
Integrasi nasional adalah hidup bersama dan saling mendukung dalam sebuah kebersamaan, itu saja! Tetapi, yang “itu saja” pun sering tidak difahami. Di sini kita akan menegaskan kembali makna integrasi nasional. Integrasi nasional pernah saya lontarkan pada masa sebelum krisis sebagai Indonesia Incorporated , yakni Republik Indonesia yang memiliki komponen-komponen yang berbeda-beda, yaitu:
1. komponen negara (atau sering disebut sebagai “pemerintah”)
2. komponen bisnis (yang dalam UUD 1945 dibagi menjadi BUMN/D, swasta, dan koperasi)
3. komponen nirlaba (LSM, ORNOP, asosiasi, agamawan, budaya dsb)
Ketiga komponen ini dapat diibaratkan meja dengan kaki tiga. Sebuah kekuatan yang terkuat di dalam kepercayaan Timur: segitiga. the picture couldn included
Di sini, ijinkan saya mendefinisikan integrasi nasional sebagai sebuah kesepakatan dari setiap komponen bangsa untuk menjadi bagian dari sebuah sistem yang bernama Republik Indonesia, masing-masing beroperasi pada core competence masing-masing dan memberikan the best contribution, dan saling mendukung dalam membentuk Indonesia yang berdaya saing global. Definisi ini memberikan tugas yang berat kepada setiap komponen bangsa, yaitu untuk memahami posisi masing-masing dan peran yang dilakoninya –tidak iri atas pekerjaan atau kepercayaan yang diemban oleh (saudaranya) yang lain; memberikan yang terbaik untuk kebaikan bersama –tidak untuk kebaikan pribadi atau kelompok; pengorbanan yang lebih besar kepada bangsa daripada pribadi atau golongan.
Di sisi lain, integrasi juga memberikan warna tetap adanya keberagaman, karena integrasi bukanlah uniformisasi. Kemajemukan harus dipandang sebagai sebuah kekayaan dan bukan hambatan; tujuan dari integrasi adalah menjadikan Indonesia sebagai wadah hidup bersama yang nyaman bagi seluruh warga Indonesia dan warga dunia yang ingin berada di Indonesia; integrasi adalah bagian inti dari tujuan membangun masyarakat yang dewasa, atau yang di barat disebut sebagai civil society dengan civic culturenya.
Jika integrasi nasional seperti ini, lantas budaya apa yang dibutuhkan untuk mendukungnya? Benarkah budaya Jawa mampu memberikan dukungannya? Ini adalah agenda kita berikutnya.
III. Apakah budaya itu? Saya tidak hendak ber”kapita-selekta” di sini dengan menyebutkan berbagai definisi budaya. Pemahaman pokok yang perlu kita fahami adalah bahwa budaya adalah cara kita berperilaku untuk dapat hidup, baaik dalam konteks mempertahankan maupun mengembangkan hidup. Ini adalah pemahaman yang paling luas, sehingga budaya pun dapat mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi, etika, manajemen, bahkan agama. Dalam pemahaman yang lebih operasional, maka budaya tidak lain adalah sistem nilai bersama yang dianut oleh masyarakat.
Bagaimana dengan budaya Jawa. Pada prinsipnya para ahli kebudayaan, baik dari luar Indonesia, seperti Niels Mulder, Clifford Geertz, Ben Anderson, William Liddle, maupun yang ada di dalam negeri seperti Franz Magnis-Suseno (beliau juga berasal dari Jerman), Mochtar Lubis, Koetjaraningrat, sampai Sri Sultan Hamengkubuwono X, mempunyai kesamaan dalam memandang budaya Jawa. Sebuah kondisi yang sama di dalam kelompok yang mengkritisi budaya Jawa di atas. Beberapa kesamaan pandangan yang dapat kita tarik sebagai intisari budaya Jawa adalah:
1. budaya Jawa mendasarkan diri kepada harmoni. Biasanya disebutkan bahwa budaya Jawa adalah anti kepada konflik karena budaya Jawa mempunyai ideal bahwa dunia ini harus ditata secara harmoni, baik antara jagat cilik (jiwa) maupun jagad gedhe (komunitas, masyarakat). Berbagai cara untuk menjaga harmoni, kecuali mengijinkan konflik.
2. budaya Jawa dalam konteks modern lebih sesuai dengan paradigma struktural-fungsional dengan mengandaikan bahwa setiap orang mempunyai tempat masing-masing dan ia harus berperilaku sesuai dengan tempat keberadaannya tersebut.
3. budaya Jawa menghargai hal-hal yang bersifat transendental, baik yang disebut sebagai kebatinan, kejawen, mistisisme Jawa, atau istilah sejenisnya. Sifat transendental ini dilatarbelakangi dari keyakinan bahwa hidup selalu kepadaNya –Tuhan Yang Maha Kuasa. Nilai ini bertentangan dengan nilai sekular yang dibawa oleh budaya Barat, khususnya yang tidak menghargai Ketuhanan seperti Komunisme.
Pada hemat saya, tiga nilai budaya Jawa yang paling umum. Namun, kembali lagi saya mempertanyakan, Jawa yang mana? Dari pengamatan saya, ternyata para ahli kebudayaan tersebut melihat “Jawa” ini sebagai “Jawa Tengah”, khususnya “Solo” dan “Yogjakarta”, itu pun dengan konteks “Jawa yang diidealkan” atau “Jawa yang diangankan”.
Pada hemat saya, sebenarnya ketiga nilai tersebut ada pada semua budaya “yang ada” di Jawa, khususnya nilai yang ketiga. Bahkan, menurut saya, dimiliki oleh setiap budaya di Nusantara ini, Mulai dari Aceh sampai ke Papua (dulu Irian Jaya) tidak ada satu pun suku bangsa yang tidak memiliki kepercayaan ketuhanan. Karena itulah kita memiliki sila pertama Pancasila yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Nilai kedua ada pada sebagian besar kebudaya di Jawa. Sementara nilai pertama ada di Jawa di pedalaman, khususnya di Jawa Tengah. Jawa pesisir lebih banyak membuka diri kepada konflik sebagai salah satu mekanisme menciptakan harmoni.
Dari sini saya sebenarnya menghadirkan sebuah kebingungan baru bagi Anda, jadi apa yang dimaksud sebenarnya dengan budaya Jawa dan seperti apa bentuknya? Jika kita menggabungkan nilai negatif (neptis, lamban, sentralistik, inklusif, dan samar) dan nilai positif (harmoni, kesesuaian tempat, dan transendensi) di atas, apakah sudah dapat mewakili budaya Jawa, terutama Jawa Kontemporer? Ya, dan tidak. Tergantung di mana perspektif, posisi, dan kepentingan Anda. Seorang Jawa Timur tidak akan serta-merta menerima proposisi karakter budaya yang Mataram-sentris (Solo-Yogjakarta), demikian pula warga Solo dan Yogjakarta tidak akan begitu saja menerima proposisi karaker nilai kejawaan yang diwakili oleh budaya Sunda ataupun Jawa pesisir. Karena itu, ijinkan saya untuk keluar dari perbincangan yang sentimental ini dan masuk ke pembicaraan yang menjangkau ke depan, yaitu merumuskan karakter budaya Jawa seperti apa yang diperlukan dalam rangka mendukung integrasi nasional yang kita harapkan.
Pertama, budaya Jawa yang mengedepankan toleransi sebagai arah menuju harmoni –bukanlagi sekedar “anti-konflik”. Budaya Jawa adalah budaya yang paling memberi tempat bagi perbedaan dan menerima perbedaan tersebut sebagai kekayaan yang harus dipupuk bersama. Yogjakarta adalah salah satu pusatnya Jawa yang membuktikan sebagai “Ibu” yang menerima setiap anak bangsa Indonesia dan dunia untuk belajar memahami dunia di Yogjakarta. Budaya toleransi adalah budaya yang sangat dibutuhkan bukan saja untuk menerima kemajemukan, namun juga bagi demokrasi yang dewasa. Demokrasi bukanlah masalah pemilihan umum, trias politika, dan seterusnya saja. Hakikat demokrasi adalah bagaimana kita toleran dengan perbedaan pendapat dan berusaha mengharmonikan perbedaan tersebut, syukur tidak dengan saling mengalahkan. Untuk itu kita mengakui bahwa kita mengedepankan musyawarah tetapi tidak menutup voting.
Kedua, budaya Jawa yang memberi pemahaman bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempat masing-masing dan bekerja sesuai dengan tempat itu, namun pemahaman “tempat” bukanlah pemahaman mati, melainkan relattif. Lembaga bisnis ya menjalankan misi bisnis, jangan main politik. Lembaga pemerintahan yang menjalankan misi pemerintahan, jangan berbisnis dengan kekuasaan. Lembaga nirlaba ya menjalankan misi pemberdayaan masyarakat, jangan kemudian menjadi penjual negara kepada negara lain. Stick to the mission. Pemenang pemilu ya seharusnya menjadi Presiden. Yang kalah tidak usah menyabot, karena toh dalam pemilu mendatang bisa mengalahkan pemenang sebelumnya. Namun juga harus dijaga, kalau sudah menjadi pemerintah atau pemegang kekuasaan, jangan kemudian memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan untuk mempertahankan kekuasaan selama-lamanya. Jika demikian, maka bangsa kita tetap terpuruk di lubang yang sama. Sama seperti hari ini, kita memerangi KKN dengan cara ber-KKN. Kita memerangi kekerasan dengan cara kekerasan. Hasilnya adalah spiral KKN dan spiral kekerasan.
Ketiga, budaya Jawa adalah budaya yang transendental. Saya kira kita semua sepakat bahwa keberadaan kita sebagai bangsa dan masih diijinkan tetap sebagai Republik Indonesia hari ini adalah karena kita diberi ijin oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Uni Soviet yang lebih kokoh dibanding Indonesia telah rontok. Rusia yang terdepriasi mata uangnya sampai 20% sampai hari ini masih kesulitan untuk mempertahankan momentum pemulihan. Indonesia yang mengalami depresiasi sampai 80% sampai hari ini masing kuat dan mempunyai momentum pemulihan yang bergerak menaik.
Keempat, budaya Jawa adalah budaya yang mengedepankan harmoni. Meski nilai ini juga disebut dalam nilai pertama, namun perlu saya sebutkan secara khusus karena tidak ada satu negara pun yang menghendaki negaranya hidup dalam disharmoni. Harmoni adalah inti dari integrasi nasional. Karena itu, sebelum kita mencapai integrasi nasional, satu hal yang harus kita capai adalah mencapai harmoni bersama.
IV. Budaya Jawa bukanlah budaya yang terbaik dibanding budaya-budaya di Nusantara lain. Namun Budaya Jawa mempunyai tugas terberat untuk menjadi pendukung utama integrasi nasional hari ini dan di masa depan, karena Jawa sudah terlanjur menjadi sentrum dari Indonesia hari ini atau Nusantara di masa lalu. Ini adalah kondisi faktual.
Di masa lalu budaya Jawa menjalankan peran ini namun tidak dengan mengembangkan diri sesuai dengan tantangan integrasi nasional, melainkan lebih melayani kepada keyakinan atas kebenaran sebuah paradigma tertentu –dan kita tidak akan mengulanginya lagi di masa mendatang. Karena itu, tantangan besar bagi budaya Jawa adalah merevitalisasi diri untuk menyesuaikan diri sebagai komponen penyokong utama integrasi nasional Indonesia.
Saya pun berharap, apa yang saya definisikan sebagai “budaya Jawa” akan berhenti di sini dan kemudian dikapitalisasi sebagai budaya indonesia karena sesungguhnya setiap budaya di Indonesia memiliki nilai-nilai tersebut, meski tidak seeksplisit dan sejelas pada budaya Jawa. Dengan demikian, kelak tidak akan lagi muncul perdebatan sia-sia tentang asal-muasal krisis bangsa karena dominasi budaya dari suku A atau suku B. Hari ini diskusi kita harusnya sudah masuk ke ranah bahwa kita adalah Suku Indonesia dengan Budaya Suku Indonesia pula! Bukankah pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda-pemuda kita sudah berikrar mendirikan Suku Indonesia, sebuah semangat yang tidak boleh kita abaikan hari ini dan di masa depan. Diskusi-diskusi tentang budaya yang mendukung integrasi nasional Indonesia akan lebih banyak mengarah kepada budaya Indonesia, dan dengan pasti meninggalkan budaya suatu suku tertentu. Amerika Serikat adalah bangsa dengan bersuku-suku, namun hari ini mereka menang karena mereka berhasil menjadi satu suku Suku Amerika Serikat dengan Budaya Amerika Serikat. Barangkali ini contoh dari negara adidaya yang baik untuk kita teladani tanpa harus menjadi rendah diri, tanpa harus menjadi orang Amerika, tanpa harus mengalami Americanization maupun Westernization. Yang kita perlukan adalah Indonesianization.
***
Relung-relung pemikiran tahun 2002 .n.n.
Minggu, 03 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar