KORUPSI ibarat kanker di dalam darah yang perlahan tapi pasti akan membuat si penderita mati. Pemerintah sudah berupaya membuat berbagai kebijakan untuk memberantas korupsi misalnya UU No. 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 28/ 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih KKN dan seperangkat peraturan yang mengikat lainnya. Dengan dukungan segenap masyarakat, tekad Kabinet Indonesia Bersatu tidak perlu diragukan lagi. Tetapi korupsi memang sudah mengakar di setiap strata kehidupan masyarakat selama puluhan tahun. Tindakan tegas sudah dimulai pada era pemerintahan SBY-MJK, namun ada ketidaksabaran di kalangan akademisi, yang kemudian menyatakan ada kesan ‘tebang pilih’ terhadap para koruptor.
Bagaimana resep yang manjur untuk mengobatinya? Setidaknya terdapat 4 (empat) hal untuk mencegah terjadinya korupsi. Resep yang sebenarnya sudah banyak diketahui orang –namun lupa untuk diterapkan. Pertama, bersikap jujur, kedua bertanggungjawab, ketiga disiplin, keempat menjalin kerjasama. Menjalin kerjasama dalam hal ini adalah tidak saling curiga, saling berbuat kebaikan. Apa itu berbuat baik? Ialah melaksanakan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Korupsi pasti merugikan Negara, apalagi ia mengurangi hak orang lain. Namun yang sukar dibuktikan adalah yang dilakukan secara ‘suka sama suka’ secara massal, yang tidak mengurangi hak orang-orang tersebut. Kita memerlukan sistem yang mampu menutup potensi ke arah korupsi ‘korupsi jamaah' itu.
Pernyataan bapak Wakil Presiden beberapa waktu lalu memang ada benarnya. Bahwa ketakutan akan dicap ‘korup’ juga ternyata menghambat pembangunan. Banyak pimpinan proyek di berbagai departemen tidak berani melaksanakan kegiatannya, karena belum apa-apa sudah dicurigai. Ibaratnya baru ingin melakukan proyek sudah dikatakan patut dapat diduga terjadi penyimpangan, padahal belum melakukan apa-apa. Hal tersebut membuat orang tidak berani melangkah, dan rawan untuk membuat mandeg ekonomi rakyat –padahal keinginan kita adalah bergeraknya sektor riil. Disinilah peran resep keempat –yakni menjalin kerjasama- patut diterapkan. Pengawasan perlu memperhitungkan matrik ‘mendesak penting’ untuk mengerti kondisi di lapangan.
Saya amat terpesona membaca stiker ‘Korupsikah aku?” yang beberapa kali kita jumpai terpasang di motor-motor yang melintas di jalan raya. Kita jangan saling menyalahkan orang lain –lihatlah diri sendiri. Menegakkan hal yang tidak bener memang harus dimulai dari diri sendiri.
Pelaku korupsi dapat dikatagorikan lemah dalam segi berwawasan kebangsaan. Walau dapat berkilah bahwa persepsi terhadap wawasan kebangsaan dapat beragam, namun selayaknya kita identifikasi terdapat beberapa hal yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Membicarakan wawasan kebangasaan tidak lepas dari 3 (tiga) prinsip, yaitu pertama prinsip Kemerdekaan, kedua prinsip nilai-nilai kepahlawanan, dan ketiga prinsip kesetiakawanan.
Dalam prinsip kemerdekaan, kita harus terlepas dari belenggu ketergantungan. Jugas bebas terhadap rasa curiga. Kita harus positive thingking, khusnuzan terhadap sesama, apalagi bangsa sendiri.
Nilai kepahlawanan adalah ditujukan untuk melawan ketidakadilan. Kalau dulu pahlawan identik dengan melawan penjajah, sekarang nilai tersebut diterapkan dalam kerangka melawan ketidakadilan –termasuk korupsi. Dalam hal ini penjajah identik dengan koruptor, karena tidak adil kepada sesama manusia, tepatnya kepada bangsa Indonesia.
Sedangkan kesetiakawanan hanya dapat terjadi jika terbangun dari kumpulan masyarakat terkecil, yakni keluarga –bahkan pribadi. Setelah itu berkembang ke tingkat rukun tetangga, rukun warga, dusun, desa, berlanjut kecamatan, kabupaten, lalu provinsi. Provinsi-provinsi bergabung di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak mungkin suatu Negara terbentuk tanpa kesetiakawanan. Namun kesetiakawanan belum cukup. Kesetiakawanan harus diikuti oleh bukti nyata berupa kesejahteraan. Jika ketiga nilai di atas dapat terpenuhi maka hilanglah yang namanya korupsi. Kesejahteraan sosial menjadi senjata paling ampuh untuk melawan korupsi. Semua dalam kesejahteraan masing-masing, tanpa berusaha mengurangi hak orang lain. ♥TULISAN ini pernah dimuat di majalah Komite pada kolom Renungan di bulan Januari 2007
Minggu, 03 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar