KEHIDUPAN ini diciptakan dalam dunia yang seimbang. Orang-orang sering menganalogikan dengan ’pasangan’ sebagai simbol keseimbangan. Ada kanan ada kiri, ada lelaki ada perempuan, kemudian ada atas ada bawah. Orang yang berada di atas suatu saat harus siap ketika menempati posisi di bawah. Melalui agama selanjutnya kita diajari tentang 2 (dua) hal: yang baik dan buruk. Lebih mengkhusus lagi pada ilmu pertanian kita juga diajari 2 (dua) hal yaitu ”tabur dan tuai”. Siapa yang menabur benih akan menuai buah di kelak kemudian hari. Barangsiapa yang menabur kebaikan maka dia akan menuai kebahagiaan. Dalam pepatah Jawa terdapat pepatah sapa sing nandur bakal ngunduh yang artinya ”siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang berbuat baik akan memetik hasilnya berupa kebaikan di kemudian hari. Sebaliknya yang berbuat buruk akan menerima nestapa. Hal yang sama diutarakan oleh seorang tokoh spiritual yang telah meninggal yaitu bunda Theresa yang pernah menyatakan ”Buah dari sunyi itu doa, buah doa itu iman, buah iman cinta, buah cinta pelayanan, buah pelayanan itu perdamaian”. Sedangkan Stephen Covey sang ahli motivasi terkini menulis ”Siapa menabur gagasan akan menuai perbuatan. Siapa menabur perbuatan akan menuai kebiasaan. Siapa menabur kebiasaan akan menuai karakter. Siapa menabur karakter akan menuai nasib”. Rekan saya dari Universitas Diponegoro, Prof Darmanto Jatman, menyebut hal ini sebagai hukum tebar-tuai.
Mereka yang berbuat baik akan menuai kebaikan nanti kelak di kemudian hari. Bila kita kaitkan dengan Pancasila, frase tersebut merupakan bagian dari pengamalan sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa. Bagi perenungan saya, kondisi saat ini –ketika suasana politik caci maki makin mengemuka sehingga keseimbangan terlupa- merupakan indikasi bahwa sila pertama tersebut telah kita tinggalkan. Bagi para politisi, pelaksanaan sila pertama Pancasila adalah berbuat baik dan berbicara jujur, lawan politik mereka sebenarnya adalah kawan dalam membangun bangsa. Berkampanye pun demikian bila kita lihat akhir-akhir ini banyak sekali tayangan kampanye di televisi. Bila politisi tidak jujur dalam kampanyenya, maka mekanisme ’tangan Tuhan’ atau barangkali invisible hand, akan membalas kemudian hari bahwa kemungkinan besar dia akan tidak terpilih.
Dalam khasanah ilmu ekonomi, keseimbangan disebut dengan 'equilibrium' suatu keadaan ketika kurva permintaan dan penawaran bertemu pada suatu titik. Namun kondisi ekuilibrium belum mencerminkan keadaan yang dinginkan oleh kedua pihak –yaitu produsen dan/ atau konsumen. Ketika struktur pasar dikuasai produsen –misalnya kasus monopoli dan oligopoli- maka titik equilibrium mencerminkan kecenderungan konsumen yang dirugikan, atau yang terjadi dead weight loss yaitu kesejahteraan yang hilang yang masing-masing pelaku ekonomi tidak mendapatkannya. Demikian pula ketika struktur sangat dikuasai konsumen, pada kasus monopsoni, maka produsen tidak mempunyai harga tawar –misalnya terjadi pada sektor pertanian sehingga petani sebagai produsen sangat dirugikan.
Keuntungan dari keberadaan pasar persaingan sempurna adalah kemampuannya untuk mencerminkan harga keseimbangan sebagai harga yang sesunguhnya diinginkan masing-masing pelaku ekonomi. Persaingan karena banyaknya penjual/ pembeli akan membuat semakin efisiennya dinamika ekonomi yang terjadi. Syarat munculnya pasar yang seimbang adalah full employment (kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh), equal productivity (setiap orang memiliki kemampuan yang sama), rational efficient (masing-masing pelaku bertindak nalar). Tetapi apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka yang terjadi adalah kegagalan pasar, yang indikasinya adalah munculnya pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan –baik kesenjangan antar golongan penduduk, antar sektor, maupun antar daerah.
Pertanyaannya, bagaimana apabila struktur pasar telah mengejawantah persaingan sempurna namun masih terjadi kegagalan pasar? Dalam hal ini Pemerintah perlu untuk bertindak dengan mengintervensi pasar. Bisa dengan ceiling price maupun floor price, atau menambah jumlah uang beredar dan menaik/ turunkan suku bunga dalam ilmu moneter. Dalam beberapa program Pemerintah seperti dalam program penanggulangan kemiskinan, masyarakat diingatkan agar ’seimbang’ melalui komponen pendamping, misalnya para Manager Sosial Kecamatan atau Maskot dalam program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang tugasnya adalah mengingatkan masyarakat agar kembali menuju keseimbangan. Pengibaratannya kurang lebih demikian.
Ketika ketidakseimbangan terjadi dalam kehidupan kita, dalam kehidupan sehari-hari dengan tetangga, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah kita memang harus selalu menunggu kehadiran Pemerintah melalui intervensinya. Di sinilah perbedaan antara masyarakat modern dan tradisional. Masyarakat tradisional selalu menunggu uluran tangan Pemerintah –seperti dalam sebuah anekdot kasus bocornya genteng sekolahan yang tidak ditambaltambal karena menunggu bantuan Depdiknas. Sementara masyarakat modern berusaha untuk menyelesaikannya secara bersama dengan musyawarah dan mufakat. Dengan kesadaran sendiri maka mereka tanggulangi permasalahan secara bersamasama.
Keberadaan Dr. Kana Sutrisna beserta Quality Leadership Management (QLM) dapat diibaratkan seperti mereka yang mengingatkan agar dunia ini seimbang. Kredo yang sering beliau ingatkan adalah ”Seseorang akan sukses bila dia bisa menyeimbangkan kehidupan spiritual dan duniawi”. Sekali lagi keseimbangan. Kemudian melalui bukunya “The Balance Way Map to Rich” beliau menekankan mengenai 6 (enam) hal yaitu maximum action, planning, Pro-poor, ridho, ikhlas, head voice. Mengutip hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa ”Sebaikbaik insan adalah yang bermanfaat bagi sesama” maka keberadaan Dr Kana melalui konsep-konsep penyeimbangnya insyaallah akan bermanfaat bagi harmonisasi alam ini. Mari menuju keseimbangan diri (jagat cilik) dan menghimbau semua untuk menuju keseimbangan bersama (jagat gede). Karena bukan orang lain, bukan kelompok besar, tetapi individu, ya individu termasuk Anda, adalah penentu keseimbangan dunia. Selamat membaca.Prof. Gunawan Sumodiningrat, M.Ec., Ph.D. ▀ ATAS permintaan Dr Kana Sutrisna saya dimohon memberi Kata Pengantar pada bukunya. Tulisan di atas merupakan draft yang kami kirim
Minggu, 03 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar