Senin, 25 Agustus 2008

Syukur Kemerdekaan

DUA pekanan lalu baru kita memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63. Pemaknaan kemerdekaan akan beragam tergantung world view dari individu-individu. Hari ahad kemarin (24 Agustus 2008) harian Kompas menurunkan laporannya mengenai kegiatan perayaan 17-an di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang. Mereka memaknai kemerdekaan dengan perayaan lewat pentas ketoprak dan beragam unjuk kebudayaan. Merdeka lewat seni. Bagi kaum yang gelisah –kebanyakan generasi muda- pemaknaan merdeka adalah ketidakpuasan terhadap kondisi kebangsaan yang tak kunjung selesai. Berbagai persoalan bangsa masih mengemuka seperti kemiskinan, korupsi, dan pengangguran. Next Pemaknaan lain, yang lebih optimis, masuk ke handphone saya via sms tepat pada tanggal 17 Agustus. Dari adik angkatan saya di SMA Negeri 1 Solo, yang saya sebut dengan “yayi jenderal”, atau mas Joko Santoso. Menurut pembicaraan kami, kemerdekaan yang sejati adalah hubungan atau komunikasi langsung. Dengan berkomunikasi langsung maka akan terjalin setiakawan, semangat gotong royong, upaya beraliansi dengan semua golongan. Hal tersebut merupakan cerminan sikap yang mengutamakan “musyawarah mufakat” sesuai dengan sila keempat Pancasila. Kesetiakawanan yang utama adalah dengan Allah SWT (hablum min Allah) yang merupakan cerminan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesetiakawanan ketiga adalah dengan alam seisinya, sebagai refleksi dari hablum min ardi. Hal tersebut juga mengindikasikan cerminan sila “Kemanusiaan yang adil beradab”. Kesetiakawanan berikutnya adalah dengan sesama manusia yang biasa disebut dengan hablum minannas, yang merefleksikan sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Kesetiakawanan dengan sesama ini untuk menunjang kehidupan yang lebih bahagia. Sesuai dengan hukum ekonomi supply and demand yang merupakan turunan dari hukum alam bahwa yang menanam akan memetik hasilnya. Hal tersebut relevan juga dengan hukum Allah SWT dalam surat Al Baqarah, laha makasabat wa alaiha maa tasabat. Kalimat terakhir ini merupakan simpul dari sila kelima, Keadilan Sosial bagi Rakyat Indonesia. RANGKUMAN dari rubrik Renungan pada edisi September dwimingguan pertama, 2008

Tidak ada komentar: