Senin, 25 Agustus 2008

Sabar-Syukur thd Kemerdekaan

PEMAKNAAN kemerdekaan akan beragam tergantung world view dari individu-individu. Pemaknaan berikutnya yang tergolong realistis adalah pemahaman yang sufistik, yaitu ”sabar dan syukur”. Terhadap fenomena kemiskinan yang masih mendera di Indonesia pada saat ini (yaitu 15,4 persen pada Maret 2008), dan juga pengangguran yang masih 8,5 persen, kita harus bersabar. Karena memang persoalan itu tidak akan tuntas. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi tingkat persoalan dengan lebih mengoptimalkan upaya kita. Setelah sabar kita bersyukur. Presiden dalam pidato kenegaraannya di depan Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Jumat 16 Agustus 2008, menyatakan bahwa angka kemiskinan tahun 2008 adalah angka kemiskinan terendah baik besaran maupun persentasenya selama satu dekade terakhir. Tingkat kemiskinan mengalami penurunan dari 17.7 persen pada tahun 2006 menjadi 15.4 persen pada Maret 2008. demikian pula dengan pengangguran terbuka yang juga berhasil diturunkan, dari 10,5 persen pada Februari 2006, menjadi 8,5 persen pada Februari 2008. Bersyukur atas upaya tersebut. Dus, bagi saya, dari 100 persen keberhasilan maka yang 99 persen adalah usaha manusia dan 1 persen adalah Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Tetapi yang 1 persen ini letaknya mendekati paripurna dan bersifat menentukan. Ketika 1 persen tidak dikabulkan Tuhan YME maka rusaklah usaha 99 persen kita. Maka kita harus sabar dalam mengarungi 99, dan bersyukur ketika 1 melengkapinya menjadi 100. ”Menjadi warga negara yang sabar dan bersyukur”, itulah yang bisa saya pesankan kepada kita semua. RANGKUMAN dari rubrik Renungan pada edisi September dwimingguan pertama, 2008 Lanjutan dari http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/syukur-kemerdekaan.html

Syukur Kemerdekaan

DUA pekanan lalu baru kita memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63. Pemaknaan kemerdekaan akan beragam tergantung world view dari individu-individu. Hari ahad kemarin (24 Agustus 2008) harian Kompas menurunkan laporannya mengenai kegiatan perayaan 17-an di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang. Mereka memaknai kemerdekaan dengan perayaan lewat pentas ketoprak dan beragam unjuk kebudayaan. Merdeka lewat seni. Bagi kaum yang gelisah –kebanyakan generasi muda- pemaknaan merdeka adalah ketidakpuasan terhadap kondisi kebangsaan yang tak kunjung selesai. Berbagai persoalan bangsa masih mengemuka seperti kemiskinan, korupsi, dan pengangguran. Next Pemaknaan lain, yang lebih optimis, masuk ke handphone saya via sms tepat pada tanggal 17 Agustus. Dari adik angkatan saya di SMA Negeri 1 Solo, yang saya sebut dengan “yayi jenderal”, atau mas Joko Santoso. Menurut pembicaraan kami, kemerdekaan yang sejati adalah hubungan atau komunikasi langsung. Dengan berkomunikasi langsung maka akan terjalin setiakawan, semangat gotong royong, upaya beraliansi dengan semua golongan. Hal tersebut merupakan cerminan sikap yang mengutamakan “musyawarah mufakat” sesuai dengan sila keempat Pancasila. Kesetiakawanan yang utama adalah dengan Allah SWT (hablum min Allah) yang merupakan cerminan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesetiakawanan ketiga adalah dengan alam seisinya, sebagai refleksi dari hablum min ardi. Hal tersebut juga mengindikasikan cerminan sila “Kemanusiaan yang adil beradab”. Kesetiakawanan berikutnya adalah dengan sesama manusia yang biasa disebut dengan hablum minannas, yang merefleksikan sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Kesetiakawanan dengan sesama ini untuk menunjang kehidupan yang lebih bahagia. Sesuai dengan hukum ekonomi supply and demand yang merupakan turunan dari hukum alam bahwa yang menanam akan memetik hasilnya. Hal tersebut relevan juga dengan hukum Allah SWT dalam surat Al Baqarah, laha makasabat wa alaiha maa tasabat. Kalimat terakhir ini merupakan simpul dari sila kelima, Keadilan Sosial bagi Rakyat Indonesia. RANGKUMAN dari rubrik Renungan pada edisi September dwimingguan pertama, 2008

Kendalikan Pertumbuhan Penduduk

MENGAPA Indonesia masih miskin? Karena kelahiran bayi kebanyakan dari orang tua yang miskin pula. Coba bila kita tekadkan semangat “tiada bayi lahir miskin” dengan menakan angka kelahiran dari keluarga miskin, mungkin hasilnya akan berbeda. Sebenarnya Pemerintah telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN yang dikutip Kompas hari ini 25 Agustus 2008 halaman 1 menunjukkan bahwa dari laju pertumbuhan penduduk 2,34% per tahun pada periode 1970/ 1980 bisa turun menjadi 1,3 persen di tahun 2006 kemarin. Tetapi karena jumlah penduduknya terlanjur banyak –yaitu 220 juta jiwa- maka setiap tahunnya Indonesia bertambah 3,2 juta jiwa. Sama dengan total penduduk Singapura. Lalu jumlah penduduk masih terkonsentrasi di pulau Jawa yaitu 128, 2 juta jiwa –atau mencapai 58% dari total 219,2 juta jiwa penduduk Indonesia tahun 2005. Bersambung Agustus 2008