Jumat, 01 Agustus 2008

Monoloyalitas Pancasila

PADA saat memberikan orasi ilmiah di UGM tanggal 31 Mei 2007, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa Pancasila mulai tererosi dari jiwa bangsa. Pada era reformasi kata Pancasila sudah jarang terdengar, padahal di masa lalu selalu diucapkan oleh siapapun dan seakan sakti. Orang Indonesia pada ’sungkan’ untuk menyebut Pancasila. Bahkan hal ini kejadian pada saat saya memberi kuliah untuk mahasiswa tingkat pascasarjana di MEP UPN Veteran, Yogyakarta, pada sepekan sebelumnya. Waktu itu saya menyatakan bahwa kunci keberhasilan adalah Indonesia untuk keluar dari belenggu krisis ini adalah 'kembali kepada Pancasila’. Ada mahasiswa yang berkomentar bahwa ternyata yang terjadi adalah manusia-manusia yang mengaku Pancasilais menjadi monoloyalitas –dan itulah kesalahan fatalnya begitu kata mahasiswa tersebut. Menanggapi hal tersebut saya nyatakan bahwa memang Pancasila mengajarkan monoloyalitas, tetapi monoloyalitas yang tepat yaitu kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang telah dicontohkan oleh para pahlawan kita yang mengorbankan jiwa dan raga untuk loyal kepada tanah air. Bukan kepada individu. NKRI adalah harga amati. Selanjutnya http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/pancasila-dan-pahlawan.html try to click

Pahlawan Pancasila

PADA hari Sabtu tanggal 02 Juni 2007 kami mendampingi Menteri Sosial menghadiri undangan Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut. Acaranya adalah peringatan 100 tahun gugurnya pahlawan nasional Raja Si Singamangaraja XII. Dua hari sebelumnya –tanggal 31 Mei 2007- di Yogyakarta diselenggarakan acara Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni. Acara di Yogyakarta diisi dengan kegiatan Orasi Pancasila dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, kemudian diakhiri dengan pergelaran wayang kulit “Werkudoro Maneges”. Saudara pembaca yang budiman, ada kata-kata bijak yang menyatakan bahwa ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa-jasa para pahlawannya”. Pernyataan tersebut menurut Mensos mengandung nilai yang cukup tinggi untuk dimaknai, dicermati, dihayati, dan dipahami oleh kita semua. …dan seterusnya... Sikap budaya Pancasila yang mengutamakan harmonisasi itu banyak persamaannya dengan sikap dan budaya berbagai bangsa di Asia –sehingga kita sebut budaya Timur. Namun, sikap budaya itu berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap budaya dunia Barat yang sejak Renaissance di abad ke-15 mengambil sikap budaya yang menaklukkan alam (to conquer nature). Jika sikap budaya Harmoni memandang kebersamaan atau masyarakat sebagai pilar kehidupan, maka sikap budaya Barat menganggap individu manusia sebagai nilai utama. Itu sebabnya dunia Barat menghasilkan individualisme dan liberalisme, diikuti materialisme yang bermuara pada imperialisme dan kolonialisme. Selengkapnya http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/pancasila-dan-pahlawan.html try to click

Perlindungan Sosial

BADAN Pendidikan dan Penelitian (Badiklit) Departemen Sosial pada hari Selasa tanggal 3 Oktober 2006 menyelenggarakan seminar bertajuk Analisis Kebijakan Perlindungan Sosial (Perspektif Ketahanan Sosial Masyarakat) di Jakarta. Pada sesi pertama, saya beserta Dr Edi Suharto (Ketua program pascasarjana Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung) menjadi pembicara yang membahas tentang “Kebijakan Perlindungan Sosial terhadap Kelompok Rentan dan Kurang Beruntung”. Di bagian pembukaannya, Kepala Badiklit, Dr Marzuki, memaparkan bahwa aspek perlindungan sosial sangat ditekankan di APBN beberapa negara persemakmuran/ commonwealth –terlihat dari besarannya yang mencapai 57%. Dengan demikian perlindungan sosial di negara-negara tersebut mampu mencapai batasan usia dari 0 (nol) tahun sampai ketika manusia tersebut meninggal. Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/perlindungan-sosial.html try to click

Grameen Bank

KONSEP gerakan menabung merupakan pemikiran awal dari Profesor Muhammad Yunus dalam menginisiasi grameen bank yang akhirnya memuncaki Prof. Yunus untuk meraih Nobel Perdamaian tahun 2006. Konsep tersebut ditujukan agar masyarakat miskin dapat meminjam uang di bank kemudian bekerja dan menyisihkan pendapatannya untuk menabung. Proyek Grameen Bank di Bangladesh yang diselenggarakan di desa-desa diawali dengan pemikiran banking for the poor. Kegiatan Prof. Yunus merupakan bagian dari amal shaleh kepada rakyat miskin, dengan memberi kabar kebenaran (dalam hal ini trust) kepada mereka, dan kesadaran dalam mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan memberi pekerjaan kepada golongan masyarakat miskin, maka pikiran untuk masa depan akan lebih diperhatikan. Selama ini terdapat paradoks: orang kaya bertambah kaya, orang miskin bertambah anak. Dengan kata lain orang kaya cenderung anaknya sedikit (hanya 3 atau 2, bahkan 1), sebaliknya orang miskin kebanyakan beranak pinak dalam jumlah besar. Dengan mereka bekerja maka akan lebih memperhatikan kondisi keuangan di masa nanti, masa depan diri-sendiri, dan generasi mendatang.... Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/sang-waktu.html try to click

Mengapa Menabung?

SEKARANG bulan Rajab dan sebentar lagi kita akan menginjak bulan Ramadhan atau bulan Puasa. Puasa selayaknya membuat kita musti banyak bersyukur, bahwa selama ini kita hidup dalam kecukupan. Cukup makan, cukup minum, cukup bersenang-senang. Tetapi di bulan ramadhan ini dibatasi agar kita sadar bahwa ada segolongan masyarakat yang tidak bisa memenuhi ’cukup makan, cukup minum, cukup bersenang-senang’ tersebut. Maka harus kita sisihkan kecukupan kita untuk masyarakat yang lemah tersebut. Selama ini kecukupuan kita tersebut kita tabung, maka tabungan itu harus disisihkan, tabungan tidak boleh menumpuk terlalu banyak, harus disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Puasa menggambarkan kita untuk ’mantab’ (makan tabungan) yaitu bekal di saat sahur untuk bertahan sehari penuh puasa. Tabungan kita setidaknya harus dipergunakan untuk perihal sebagai berikut (1) Konsumsi hidup seharihari untuk diri sendiri dan keluarga, (2) Modal usaha untuk masa depan, (3) Jaminan hari tua untuk anak-cucu, (4) Zakat infak shadakah untuk amal jariyah, (5) Pajak untuk Negara. Tabungan itulah yang merupakan konsep dari Prof. Muhammad Yunus untuk meraih Puasa Perdamaian tahun 2006 –agar masyarakat miskin dapat meminjam uang di bank kemudian bekerja dan menyisihkan pendapatannya untuk menabung. Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/sang-waktu.html try to click

Problematika Sosial

BERGULIRNYA reformasi dan demokratisasi ternyata diiringi oleh semakin munculnya berbagai permasalahan sosial. Meskipun dapat dikatakan bukan merupakan bagian sebab-akibat, tetapi satuhal yang mempersamakannya adalah waktu yang berbarengan. Pada era pemerintahan terdahulu, permasalahan sosial tidak mengemuka seperti sekarang –dengan ketidakdemokrasian birokrasi menjadi ciri khas rejimnya. Tetapi sekarang…. Permasalahan bermunculan dari mulai problematika ‘bikinan’ manusia (curanmor, pembunuhan, perusakan massa yang tidak puas hasil Pilkada, pencurian: dari skala kecil sampai ke korupsi), kemudian permasalahan yang merupakan takdir dari-Nya (bencana alam: tsunami, banjir, gunung meletus) sampai ke permasalahan yang batasnya tipis antara buatan manusia atau suratan takdir (lumpur panas). Beberapa pihak kemudian menyatakan bahwa demokrasi yang kita jalani tampaknya melelahkan. Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/problematika-sosial.html try to click

Sang Waktu

PADA Ramadan hari ke-16 kami diberi kesempatan untuk menyampaikan kuliah tujuh menit (kultum) di Masjid Al-hikmah, Departemen Sosial. Pada waktu itu Surat Wal Asri di atas yang kami jadikan tema utama, ditambah dengan laha maksabat wa’alaiha mak tasabat dari QS Al Baqarah ayat 286. Nuansa puasa semestinya membuat kita sadar bahwa puasa tidak selayaknya membuat kita menjadi lemah lunglai. Dalam menjalankan puasa kita harus tetap semangat, tetap beraktifitas seperti biasanya, jangan hanya diisi aktifitas tidur saja. Memang ada hadist mengatakan,”Tidurnya orang berpuasa itu ibadah” tetapi tafsirnya yang lebih tepat adalah: tidurnya saja dimasukkan ibadah, apalagi momen ketika tidak tidur –misalnya untuk bekerja yang positif- tentunya akan mendatangkan pahala ibadah yang lebih banyak (merujuk pendapat Hj. Tuty Alawiyah). Dalam hal ini saya jadi teringat lagu yang dipopulerkan Wali Songo mengenai "Sluku-sluku Batok” pada kalimat terakhirnya terungkap yen urip goleka dhuwit alias kalau hidup carilah uang. Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/sang-waktu.html copy and paste

Individu Menyusun Bangsa

TUJUAN berbangsa dan bernegara dimulai dari tujuan kita hidup. Tujuannya adalah bagaimana memenuhi kesejahteraan –melalui kesempatan kerja, dan akhirnya menghasilkan pendapatan. Dari tujuan hidup ini dituangkan kepada cita-cita bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945yang muaranya adalah dari aspek dalam negeri dan aspek luar negeri. Dari aspek dalam negeri adalah mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melindungi warganya (menciptakan rasa aman). Rasa aman tersebut secara ekonomi, sosial, dan politik. Baru setelah ketiga hal tersebut terpenuhi, maka kita jaga aspek ketertiban dunia. Ketertiban dunia akan tercipta kalau kebersamaan antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing terwujud.Selanjutnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/individu-masyarakat-bangsa-dan-negara.html try to click

Ekonomi dan Kemiskinan

PADA bulan Januari 2005 ini saya diundang oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk membahas kaitan antara pembangunan ekonomi dan kemiskinan. Meski saya berhalangan hadir, tetapi makalah yang telah saya persiapkan tetap dikirim pada acara tersebut. Mengenai tema ”pembangunan ekonomi dan kemiskinan” tentunya kaitannya sangat erat. Namun jangan sampai melupakan satu aspek lagi: pembangunan sosial. Dalam salah satu buku (Alm) Prof Mubyarto tentang ’Membangun Sistem Ekonomi” diungkap pernyataan ekonomi Bank Dunia yang bernama Nancy Birdsall pada tahun 1993 yang menyatakan ...Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/aspek-pembangunan-ekonomi-dan.html try to click

Kepemimpinan

SEJARAH peradaban umat manusia telah menggariskan, bahwa kepemimpinan menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa. Berbagai kemajuan yang dicapai suatu bangsa secara empiris tidak pernah lepas dari peran strategis seorang pemimpin. Lingkungan tempat ia tumbuh menjadi berlangsungnya praktik kepemimpinan yang baik dan efektif. Secara historis, bangsa-bangsa besar di dunia selalu melahirkan dan memiliki pemimpin-pemimpin besar. Bagi Negara dunia ketiga, kepemimpinan diperlukan dalam pembangunan nasional untuk meningkatkan kemampuan masyarakat yang masih tertinggal, miskin, dan tidak berdaya.
Kepemimpinan yang ’ala Indonesia’.... Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/kepemimpinan.html try to click