Rabu, 30 Juli 2008

Kredit untuk Wong Cilik

tulisan ini pernah dimuat di Kompas hari Kamis 16 September 2004
USAHA ekonomi produktif yang selama ini dijalankan para "wong cilik", atau lazimnya dikenal sebagai pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ternyata justru telah menyelamatkan perekonomian kita selama krisis. Ketika banyak usaha besar (konglomerasi) ambruk sekaligus "ngemplang" utang yang teramat fantastis jumlahnya, pelaku UMKM justru menjadi "katup pengaman" kegiatan ekonomi sehari-hari.Angka-angka di bawah ini barangkali bisa menjelaskan betapa strategisnya keberadaan, peran, dan sumbangan UMKM dalam perekonomian nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2000 jumlah keseluruhan UMKM sekitar 40 juta unit. Meskipun angka tersebut dapat diperdebatkan validitasnya, yang pasti kontribusi UMKM dalam perekonomian memang sangat besar. Dari sisi kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, tahun 2002 sumbangan UMKM sekitar 46,71 persen dari PDB (tanpa migas) dan sekitar 41,25 persen dari PDB (dengan migas). Angka ini pada tahun 2003 meningkat menjadi sekitar 56,7 persen atau secara nominal sekitar Rp 1.013 triliun. Dari total pertumbuhan PDB nasional 2003 yang sekitar 4,1 persen, kontribusi UMKM sekitar 2,4 persen. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2002 UMKM mampu menyerap 68,28 juta atau sekitar 88,70 persen dari seluruh tenaga kerja yang ada. Angka ini tahun 2003 meningkat menjadi 79 juta tenaga kerja atau naik sekitar 15,7 persen. Prestasi UMKM di sektor moneter juga sangat membanggakan. Pada akhir 2002 tingkat kredit macet (non-performing loan/NPL) UMKM hanya sekitar 3,9 persen, bandingkan dengan total kredit perbankan yang sekitar 10,2 persen.NEXT on http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0409/16/ekonomi/1272162.htm click

Peran LKM

TULISAN ini pernah dimuat di Jurnal Ekonomi Rakyat bulan Maret 2003
AKUMULASI dari berbagai dampak krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997 lalu bermuara pada peningkatan jumlah kemiskinan di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa landasan perekonomian Indonesia yang hanya didasarkan atas kelompok industri-industri besar yang cenderung bersifat konglomerasi, tidak mampu untuk menjadi benteng yang tangguh bagi kehidupan rakyat Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah penduduk miskin (berdasarkan data bulan Desember 1998) meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa atau 24,23% dari total penduduk (17,6 juga jiwa atau 21,92% di perkotaan dan 31,9 juta jiwa atau 24,23% di pedesaan). Persentase penduduk miskin pada tahun 1998 ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1981 dan tahun 1984. Pada tahun 1981 sebesar 40,6 juta jiwa atau 26,9% dan pada tahun 1984 sebesar 35 juta jiwa atau 21,64%. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2000 (tidak termasuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Maluku) sebesar 37,7 juta jiwa (18,96%) di perkotaan sebesar 9,1 juta jiwa di pedesaan sebesar 25,1 juta jiwa. Rapuhnya fundamental perekonomian nasional ini menuntut adanya suatu langkah perbaikan yang komprehensif karena tantangan ke depan yang akan dihadapi sangatlah berat dan membutuhkan kerja keras dari semua elemen bangsa. Globalisasi dan isu-isu perdagangan bebas merupakan tantangan eksternal ke depan Bangsa Indonesia, di samping masalah-masalah dalam negeri seperti krisis multidimensi yang berkepanjangan, otonomi daerah, serta isu-isu disintegrasi bangsa. NEXT on http://www.ekonomirakyat.org/edisi_13/artikel_2.htm click

Pemberdayaan Menuju Keluarga Mandiri

URAIAN dari literatur pemberdayaan masyarakat sering menekankan adanya 2 (dua) faktor utama yang berpengaruh pada proses pemberdayaan, yaitu pertama adalah diri dan kedua adalah lingkungan. Diri dalam konteks pemberdayaan masyarakat adalah mencakup keluarga –yaitu keluarga yang menjadi peserta proses pemberdayaan. Sedangkan lingkungan (external) dalam proses tersebut mencakup pihak-pihak dan kondisi yang berada di luar keluarga atau lingkungan.
Proses pembangunan yang alamiah hanya bisa terjadi jika asumsi-asumsi pembangunan dapat dipenuhi, yaitu kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity, equal access, level playing field), dan masing-masing pelaku bertindak rasional (efficient). Akan tetapi dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut sangat sulit untuk dipenuhi. Pasar seringkali tidak mampu memanfaatkan tenaga kerja dan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak mampu berada pada kondisi full employment. Kemudian tingkat kemampuan dan produktifitas pelaku ekonomi sangatlah beragam. Kondisi di atas diperburuk oleh kenyataan bahwa tidak setiap pelaku ekonomi mendasarkan setiap perilaku pasarnya atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan efisien. Dalam kondisi demikian pasar atau ekonom telah terdistrosi. Dalam jangka panjang, hal tersebut akan melahirkan masalah-masalah pembangunan seperti kesenjangan, pengangguran dan akhirnya kemiskinan. Hal tersebut juga akan menjauhkan masyarakat dari kondisi makmur dan sejahtera.
Pencapaian akses yang baik akan menunjukkan kondisi hidup dan kehidupan rumahtangga yang semakin baik, yang selanjutnya akan terlihat pula dalam perbaikan hasil pembangunan yang dilakukan. Keluarga yang menjadi sasaran program pemberdayaan terlibat sebagai peserta dalam pasar (market participant) di dalam interaksi dengan lingkungannya yang secara umum dinyatakan sebagai pelaku usaha (business), baik itu dari kalangan perusahaan maupun juga dari pemerintah.
Pada pasar barang konsumsi maupun pada pasar faktor produksi, keluarga terlibat aktif untuk dapat sama-sama mencapai keseimbangan antara permintaan dan penawaran di dalam pasar, berdampingan dengan pemerintah dan perusahaan negara maupun swasta. Keterlibatan keluarga memberi pengaruh pada pasar dan pemerintah, yang kemudian keterlibatan tersebut memberi pengaruh balik kepada keluarga berupa pendapatan. Kemudian pendapatan dapat dipergunakan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya baik untuk konsumsi, usaha, maupun untuk menabung, atau bahkan untuk membayar pajak yang menjadi kewajibannya.
Walaupun keluarga tercakup dalam aspek mikro, akan tetapi apa yang dilakukan oleh keluarga mempunyai peranan yang penting bagi berlangsungnya kegiatan ekonomi di tingkat makro –bahkan di tingkat global atau internasional. Keterlibatan keluarga dalam proses produksi menjadi faktor penting pertama yang melibatkan keluarga ke dalam siklus kegiatan ekonomi yang lebih besar. Seperti juga dapat dilihat dalam skema aliran melingkar rupiah di teks book ekonomi, kemudian dalam skema siklus kegiatan ekonomi keluarga memperoleh manfaat dengan adanya investasi dari lingkungan makro maupun internasional, dan sebaliknya keluarga memberikan sumbangan kepada pihak makro melalui pembayaran pajak dan peningkatan kesejahteraan yang mereka peroleh.
Dalam kaitan dengan perekonomian, keluarga berperan baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Proses pemberdayaan keluarga oleh karena itu didasarkan pada peningkatan peran keluarga pada proses-proses perekonomian seperti yang telah di uraikan di atas. Keberdayaan keluarga yang dicapai pada akhirnya akan menimbulkan keberdayaan masyarakat secara lebih luas. Keluarga berdaya adalah keluarga mandiri. Departemen Sosial pernah pada tahun 2002-2003 melaksanakan program KUBE untuk Keluarga Muda Mandiri.
Dari situs BKKBN dan artikel Prof Haryono Suyono kita dapatkan pemahaman bahwa keluarga mandiri diindikasikan adanya usaha ekonomi produktif yang berkelanjutan. Keberadaan keluarga mandiri merupakan lanjutan dari program ”keluarga sejahtera”. Sebuah keluarga pada awalnya akan mendapatkan bimbingan dan memperoleh kredit Kukesra Mandiri yang jenis dan besarnya dana disesuaikan dengan kebutuhan yang lebih riel dan tersedianya dana serta atas alasan manfaat untuk memajukan usaha guna memenuhi permintaan pasar yang meningkat. Dengan program baru ini keluarga yang mempunyai usaha yang berhasil, rajin menabung dalam Takesra, tetap akan dibimbing dalam usaha ekonomi produktif dan diberi kesempatan mengambil kredit dengan jumlah yang lebih besar dengan bunga pasar, yaitu “Kredit Usaha Keluarga Sejahtera Mandiri” atau “Kukesra Mandiri”. Bedanya dengan kredit biasa adalah bahwa mereka yang berhasil akan mendapat dukungan karena pengalamannya yang baik selama mengikuti program Kukesra dan dikenal sebagai nasabah yang rajin. Mereka dikenal sebagai nasabah yang baik karena rajin mencicil pinjamannya dan mempunyai produk atau usahanya berhasil. Mereka akan dibimbing melalui Lembaga Keuangan Mikro (LPM) atau Koperasi atau lembaga profesional lain yang ada di Desa atau di Kecamatannya, sehingga kemampuan pengelolaan usaha dan keuangannya bisa lebih ditingkatkan. Kita mengenal juga Konsultan Keuangan Mitra Bank atau KKMB.
Kondisi berdaya pada keluarga dicapai jika ciri-ciri berdaya dapat dipenuhi, baik dari sisi keluarga penerima program perguliran dana maupun dari sisi pengelola program perguliran dana. Dari berbagai literatur mengenai pemberdayaan keluarga, kondisi berdaya disimpulkan oleh mahasiswa bimbingan kami di program Doktor di Universitas Gunadarma yaitu Dr Budiman, merumuskan ciri-ciri masyarakat berdaya sebagai berikut.

Ciri Masyarakat Berdaya
(1) Ciri berdaya: sustainable (keberlanjutan), (1) Indikasi : accumulation (akumulasi dari yang dilakukan seperti dana)
(2) Ciri berdaya: self-reliance (kemandirian), (2) Indikasi : goals, ultimate (tujuan besar yang akan dicapai)
(3) Ciri berdaya: integrated (terintegrasi), (3) Indikasi: management system
(4) Ciri berdaya: participation (keterlibatan semua pihak), (4) Indikasi: commitmen kesepakatan dari semua pihak terhadap sistem yang akan dilaksanakan dan kesediaan untuk terlibat di dalamnya
Sumber: Budiman (2007)
Dalam literatur lainnya, Yunus (2002) lebih rinci menunjukkan 10 indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran tidak miskin. Uraian ini menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan pemberdayaan adalah terutama pada hal-hal mikro di tingkat keluarga yang menjadi sasaran program, walaupun peranan lingkungan sebagai tempat keluarga tersebut melakukan aktivitasnya juga perlu diperhatikan.◄PERNAH dimuat di rubrik Renungan di majalah Komite pada bulan bulan Maret 2008 dwimingguan kedua

Dinamika Keuangan Negara dalam Era yang Berubah

PENGALAMAN pada akhir tahun dan awal tahun, kami di kementerian dan lembaga akan berkutat dengan anggaran. Pada tahun ini bahkan saya di Direktorat Jenderal akan bertambah sibuk daripada tahun biasanya, mengingat beberapa perubahan eksternal –seperti kenaikan minyak dunia- dan internal –kebijakan Depkeu- yang menyebabkan perubahan asumsi yang telah ditetapkan dalam agenda kegiatan direktorat jenderal.
Hari-hari berisi dengan anggaran dan rencana kerja tersebut mau tidak mau membuat saya dengan staf saya membuka referensi perundangundangan –salahsatunya adalah Undang Undang no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sekelumit ringkasan hasil diskusi bersama dengan staf tertuang dalam Renungan edisi kali ini.
Para pendiri Bangsa telah menetapkan tujuan berbangsa dan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Termaktub dalam isi Pembukaan tersebut bahwa Negara harus mampu pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kesemuanya dalam kerangka landasan idiil Pancasila
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara tersebut maka dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.
Selama ini peraturan perundang-undangan mengenai keuangan negara berkiblat pada sistem kolonial Hindia Belanda sebelum datangnya UU no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam bagian Penjelasan UU disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan ala Hindia Belanda yang mengatur selama ini tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.
UU no 17 tahun 2003 memuat hal-hal baru. Hal baru tersebut juga berupa perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional. Dalam UU tersebut Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer atau (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.
Dengan demikian keberadaan Undang-Undang no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara memang selayaknya disambut dengan harapan baru akan sistem dan prosedur penganggaran yang lebih baik undangan yang berlaku BERSAMBUNGTULISAN ini pernah dimuat di majalah Komite pada kolom Renungan bulan Mei 2008 dwimingguan pertama

Pancasila sebagai Panduan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

(1) KETIKA reformasi sudah berumur 10 tahun dan kebanyakan kita tidak sabar untuk mendapatkan ’kesejahteraan umum’ seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, banyak orang –baik pakar maupun awam- menyarankan agar kehidupan berbangsa dan bernegara kembali kepada pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Berbagai forum akademik yang digelar sekitar tiga tahun ini banyak merekomendasikan hal tersebut. Seingat saya UGM merupakan perguruan tinggi yang pertama yang menyarankan hal tersebut dalam forum akademik di tahun 2004/2005.
Bagi beberapa pendemo yang akhir-akhir ini banyak demonstrasi, kondisi carut marut yang mereka rasakan selalu berkaitan dengan ekonomi. Bagi para pemerhati wawasan kebangsaan, ini semua merupakan buah dari ketiadaan ‘hikmah dan kebijaksanaan’ dalam melaksanakan pola pembangunan. Pembangunan adalah merupakan upaya untuk menuju kehidupan yang lebih baik, dan kesejahteraan umum merupakan titik utamanya. Kita membutuhkan pedoman dalam peri kehidupan sehari-hari. Kesalahan kita dulu saat masa reformasi dan pergantian rejim adalah kita ganti dan rubah semua pola-pola yang sebenarnya masih dapat diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan. Padahal yang kita ganti adalah yang buruk –seperti perilaku yang kurang baik- sementara sisi baiknya atau tauladan dari pemerintahan yang lama masih dapat kita teruskan.
Kita menganggap bahwa pergantian orang dan berikut kesalahannya adalah menghapus juga program dan perencanaan yang sebenarnya memiliki nilai-nilai baik atau positif. Logika the man behind the gun tampaknya begitu melekat, sehingga ketika orangnya (the man) berganti maka senjatanya (the gun) tidak dipakai lagi. Padahal kalau baik ’senjata’ itu bisa diwariskan. Kita pernah mengenal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang sudah tidak kita singgung lagi, padahal sebagai sebuah pedoman individual dalam menjalankan kehidupan bangsa dan negara dan mengingatkan perspektif wawasan kebangsaan, ia tetap diperlukan –tentunya dengan beberapa perbaikan. Kembali ke Pancasila merupakan kunci, tetapi pertanyaan selanjutnya pada bagian dan perihal mana Pancasila dapat dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi saat ini. Makalah ini akan membahas nilai-nilai Pancasila yang perlu kita terapkan lagi.
(2) Falfasah dalam pertanian mengajarkan kita “siapa menabur dia akan menuai” atau dalam pepatah Jawa adalah sapa sing nandur bakal ngunduh artinya ”siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang berbuat baik akan memetik hasilnya berupa kebaikan di kemudian hari. Bila kita kaitkan dengan Pancasila, bukankah frase tersebut adalah bagian dari Ketuhanan yang Maha Esa. Kondisi saat ini –ketika suasana politik caci maki makin mengemuka- merupakan indikasi bahwa sila pertama tersebut telah kita tinggalkan. Bagi para politisi, pelaksaan sila pertama Pancasila adalah berbuat baik dan berbicara jujur, lawan politik mereka sebenarnya adalah kawan dalam membangun bangsa. Berkampanye pun demikian bila kita lihat akhir-akhir ini banyak sekali tayangan kampanye di televisi. Bila politisi tidak jujur dalam kampanyenya, maka mekanisme ’tangan Tuhan’ atau barangkali invisible hand, akan membalas kemudian hari bahwa kemungkinan besar dia akan tidak terpilih.
Ketuhanan Yang Maha Esa semestinya membuat kita sadar bahwa ada hari kemudian setelah kehidupan di dunia. Sehingga perbuatan baik kita nanti akan ada ganjarannya. Paradigma berbuat baik atau positive thinking bila sepenuhnya mewarnai perilaku kita sehari-hari maka akan berbuah baik juga nantinya. Bila tidak di dunia, semoga di akhirat. Demikian pula seandaianya perspektif ini dipakai oleh mereka yang kalah dalam sebuah pilihan langsung. Sifat legawa dalam menerima kekalahan dengan tetap melihat ke depan akan mengurangi kebiasaan mengkritik atau malah menghujat.
Kita telah menyepakati satu hal: demokrasi. Dan pada pernyataan ”demokrasi” tersebut kita harus sandarkan kepercayaan vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) sehingga hasil pilihan demokrasi tersebut harus kita jaga. Hasil demokrasi atau dalam hal ini pilihan langsung memang sering tidak dibayangkan sebelumnya. Sering yang dipersiapkan tidak jadi, bahkan yang jadi bukan yang dipersiapkan. Sekali lagi sifat legawa yang musti diutamakan dalam hal ini bagi semua para kontestan dan pendukungnya. Bahwa ada kehidupan sesudah dunia yang barangkali akan membawa hasil lebih baik.
Demokrasi sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Kesepakatan kita bertambah: mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Tetapi pilihan-pilihan kebijakan publik sering terjadi ”musyawarah tidak menghasilkan mufakat, yang dimufakati bukan merupakan hasil musyawarah”. Dalam pola pembangunan, visi dan misi Presiden/ Wakil harus kita sepakati, yang kemudian dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, diturunkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah, dan selanjutnya ke Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian. Kementerian dan Lembaga akan mengimplementasikannya secara riil dalam program dan aksi pembangunan. Logika ini harus runtut seperti kita dulu menyepakati mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara, sehingga sinyalemen bahwa ’kita perlu lagi semacam GBHN’ tidak akan muncul bila logika runtut tersebut kita anut dan terapkan dalam program pembangunan.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan amanat untuk mewujudkan kesejahteraan umum seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam APBN, kita kenal mekanisme tax and subsidy. Barangkali yang sering kita lupa adalah subsidi itu pajak-minus. Hal tersebut hanya dapat difasilitasi oleh kebijakan sektor riil. Subsidi tidak apa-apa sepanjang hal tersebut akan dimanfaatkan kelompok masyarakat yang lemah untuk pemberdayaan. Pemberdayaan yang nantinya akan membuat kesenjangan menjadi semakin tipis. Komprominya di tengah anggaran yang terbatas adalah eksistensi kebijakan subsidi langsung contohnya conditional cash transfer seperti bantuan langsung pemberdayaan. Dengan tambahan catatan pula, pendataan by name by address penerima yang kuat. Dengan CCT maka masyarakat dapat bekerja, kemudian mendapatkan keuntungan, dan menyisakannya untuk ditabung. Kerja, untung, tabung, yang dalam kaidah ekonomi pembangunan dikenal dengan mekanisme employment - income - growth.

(3) Ketiga sila diatas hanya contoh sekilas bagaimana kerinduan kita akan adanya sebuah panduan berperikehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai utama yang saya utamakan adalah kondisi suasan batin kita akan kebutuhan berwawasan kebangsaan. Permasalahan utama bangsa ini adalah kemiskinan. Satu hal yang inheren dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah spirit untuk maju. Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri. Sehingga pendekatan kita selain secara intelektual (yaitu intervensi ekonomi) kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Dalam kedua hal tersebut paradigma yang ditawarkan adalah pendekatan wawasan kebangsaan seperti kami sebut di muka.

Wawasan Kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lainnya. Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa.

Memberikan semangat wawasan kebangsaan kepada pelaku ekonomi rakyat berarti memberikan kesadaran bahwa kita harus bersama untuk maju. Pelatihan bersemangat kebangsaan pada awalnya layak untuk diberikan kepada aparat pemerintah, para pendamping program penanggulangan kemiskinan, Manager Sosial Kecamatan atau Maskot, dan bahkan dunia usaha. Dengan Wawasan Kebangsaan akan menyadarkan warga negara terhadap pentingnya arti kehidupan bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan bangsa.

Pada saat saya bergabung dalam kepanitian untuk pelatihan Emotional Spiritual Quotient tanggal 13 -15 Maret 2008 bertempat di Gedung PLN, Jakarta, semangat mencapai Indonesia Emas tersebut begitu menggelora. Hadir pada saat itu Menpora bapak Adhyaksa Dault, mantan Menteri Kehakiman bapak Utoyo Usman, dan beberapa tokoh nasional yang lain. Kami merasakan kerinduan akan panduan berbangsa dan bernegara setelah ‘dihentikannya’ P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Sepertinya kita perlu alternatif program atau pelatihan dalam memandu warganegara agar mencintai bangsa dan berperikehidupan yang santun dengan sesama –dalam kerangka NKRI.

Akhirnya, wawasan kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global. Perjuangan mengurangi kemiskinan takkan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Semangat ke-aku-an, atau ke-kami-an, yang mengutamakan daerah demi daerah, suku demi suku tanpa adanya tekad bersatu sebagai satu bangsa yang secara berbareng bergerak, akan tetap kalah dengan laju kemiskinan itu sendiri. Menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas, yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat, merupakan agenda utama kembali ke Pancasila dengan semangat wawasan kebangsaan.◄TULISAN ini sebagai bahan paparan untuk Seminar ”Pancasila: Nasionalisme dan Spiritualitas” yang diselenggarakan oleh ESQ Magazine pada tanggal 01 Juni 2008 di Menara 165, Jakarta Selatan

Penanggulangan Kemiskinan Berwawasan Kebangsaan

1. Pendahuluan
TEMA yang semula ditawarkan oleh Panitia Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XXIII adalah ”Paradigma Pemberdayaan Masyarakat”, akan tetapi saya ubah sesuai dengan judul di atas. Sekitar 1 (satu) bulan yang lalu –tepatnya tanggal 1 Juli- kita memperingati Hari Kelahiran Pancasila, dan beberapa forum yang digelar belakangan ini ketika saya berkeliling Indonesia, semakin menegaskan bahwa permasalahan utama Republik ini adalah kemiskinan. Forum yang lain menyiratkan tentang semangat untuk perlunya kita kembali kepada pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Kedua perihal tersebut berkaitan, sehingga solusinya tidak lebih adalah pengikatan kembali kita kepada komitmen berbangsa dan bernegara –yang akhirakhir ini cenderung memudar. Tidak hanya hari kelahiran Pancasila, pada tahun ini kita tengah melintasi simpul-simpul sejarah yang menentukan eksistensi Bangsa Indonesia. Peristiwa itu adalah 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 10 tahun Reformasi. Momentum tersebut harus kita manfaatkan untuk kembali menyegarkan upaya berwawasan kebangsaan kita dalam rangka menuju kebangkitan bangsa –yang sering disebut dengan Indonesia Emas.

Tema atau judul di atas juga berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Antara penanggulangan kemiskinan dengan pemberdayaan masyarakat memang mirip. Kadang-kadang dipertukarkan pula dengan istilah "pengentasan kemiskinan”. Ketiga istilah ini hakikatnya sama, yaitu perhatian kepada orang miskin di desa tertinggal. Desa sebagai unit administrasi terdekat dengan rakyat sebagai pelaku utama pembangunan. Namun dari sisi operasional, ketiganya mempunyai arti yang berbeda. "Penanggulangan kemiskinan" berarti upaya membuat penduduk tidak menjadi miskin dan membendung jumlah penduduk miskin agar tidak semakin bertambah banyak. "Pengentasan kemiskinan" berarti pengentasan penduduk dari masalah kemiskinan yang berarti upaya meningkatkan kemampuan orang miskin agar keluar dari garis pendapatan minimal. "Pemberdayaan masyarakat" berarti upaya membangun kesadaran orang miskin agar melakukan keswadayaan yang berkelanjutan yang dilakukan di semua lini kegiatan sosial-ekonomi.

Untuk menyegarkan pemahaman kita akan wawasan kebangsaan, berikut kami simpulkan butir penting mengenai wawasan kebangsaan –dikutip dari Pedoman Sosialisasi Wawasan Kebangsaan. Wawasan kebangsaan adalah cara pandang atau pemahaman tentang konsep dan aktualisasi nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Wawasan kebangsaan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks sesuai dengan luas dan kompleksnya dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wawasan Kebangsaan diperlukan karena perlu adanya konsep dan aktualisasi manajemen kehidupan negara-bangsa yang bermartabat dan berkeadaban. Dimensi wawasan kebangsaan yang luas dan kompleks tersebut sering dipetakan dalam dua dimensi: Pertama, wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik Kedua, wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi. Wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik yaitu konsep tentang persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah suatu negara-bangsa. Wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi yaitu konsep tentang manajemen pembangunan nasional dalam rangka membangun Ketahanan Nasional untuk mempertahankan eksistensi kehidupan suatu negara-bangsa. Konsep geostrategi berdimensi Astra Gatra.

Astra Gatra terdiri dari dimensi trigatra alamiah dan pancagatra sosial. Trigatra Alamiah, terdiri dari: geografi, sumber kekayaan alam, dan kependudukan. Sedangkan Pancagatra Sosial, terdiri dari: ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Konsep wawasan kebangsaan telah dirumuskan dalam konsep Wawasan Nusantara, yang menurut Kelompok Kerja Lembaga Ketahanan Nasional 1997, dirumuskan sebagai berikut: Wawasan Nusantara atau Wawasan Nasional Indonesia adalah ”Carapandang dan sikap bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, bertolak dari pemahaman kesadaran dan keyakinan tentang diri dan lingkungannya yang bhineka dan dinamis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh serta tanggungjawab terhadap lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional”. Wawasan kebangsaan harus diupayakan bersama oleh segenap komponen forum lintas pelaku (stakeholders) yang terdiri dari pemerintah, legislatif, perbankan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi.

Makalah ini akan membahas pada wilayah mana sekiranya pelaksanaan Pancasila tersebut relevan untuk kita kembangkan pada saat ini, dalam rangka memupuk wawasan kebangsaan kita, dengan tujuan penanggulangan kemiskinan untuk pencapaian kesejahteraan rakyat....n e x t....◄ Makalah ini disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XXIII kelas B di Lembaga Administrasi Negara RI, di Jakarta tanggal 15 Juli 2008

Di Mana Letak Kebahagiaan

TUHAN semesta alam menciptakan manusia dengan dibekali akal dan budi –yang keduanya merupakan landasan dalam proses bermanusia (human being process). Akal dan budi adalah saling melengkapi dan mengisi serta tak terpisahkan satu sama lain. Jika keduanya terpisahkan maka pasti akan mengakibatkan suatu yang buruk. Untuk itu manusia perlu bersyukur –selalu ingat bahwa akal dan budi itu adalah anugerah Tuhan Yang Mahakuasa, dan bersabar –bahwa akal serta budi akan selalu mendapat tantangan untuk bisa berkembang. Muara dari syukur dan sabar akan mendatangkan kebahagiaan. Pertanyaannya, di mana letak kebahagiaan?
Pada awal bulan Agustus 2006 lalu terselenggara kegiatan inhouse training emotional spiritual quotient bertempat di Gedung Aneka Bakti, Departemen Sosial. Di sela-sela acara tersebut saya berbincang dengan rekan dan sekaligus ‘Guru’ saya, Palgunadi Setiawan, membicarakan apa itu kebahagiaan. Dulu, pak Palgunadi –anggota wali amanat ITB- adalah orang yang menambah khasanah pemikiran saya tentang ‘orang lahir itu kaya’, karena selama ini perspektifnya adalah ‘orang lahir itu miskin’. Mengutip salahsatu surat di Quran dia menyatakan bahwa setiap orang diberi kekayaan berupa iman pada setiap lahirnya. Dunia merupakan ajang ‘bisnis’ manusia dengan Tuhan yang mempertaruhkan iman dan amal shaleh.
Kembali kepada pertanyaan, di mana letak kebahagiaan. Setelah saya renungkan ada 5 (lima) jenis kebahagiaan. Pertama adalah rumah. Rumah sebagai sarana kita singgah, bercengkerama, dan mengembangkan peradaban kepada anak-anak yang nantinya akan memimpin dunia. Tetapi akan seperti mendapatkan musibah –merasa kehilangan kebahagiaan- ketika genting rumah kita bocor. Kita tetap harus sabar, dengan diiringi ikhtiar, karena masih ada kebahagiaan yang tingkatnya lebih tinggi.
Kedua adalah sarana transportasi yang membawa kita ke manamana. Dengan transportasi ini kita akan menjalin networking dan kepercayaan (trust), atau dalam rangka kita menjaga silaturahmi dengan sesama. Namun bagaimana bila ban mobil yang mengantar ke mana kita pergi itu bocor? Hilang bahagia, namun jangan terlalu kecewa, maish ada tingkatan kebahagiaan lain.
Ketiga adalah tetangga. Tetangga yang baik akan membawa hidup kita tenteram, seandainyapun ada persaingan tentunya adalah kompetisi ke arah kebaikan (fastabiqul khairot). Akan tetapi bagaimana bila tetangga itu suka menggunjing. Atau bagaimana bila keberadaan tetangga malah membuat perselisihan yang mengarah kepada kecemburuan (seperti pepatah Barat mengatakan the grass always greener in vence alias rumput tetangga kelihatan lebih hijau). Disinilah pentingnya kita saling ingat mengingatkan yang baik dengan tetangga dalam rangka mempertahankan kebahagiaan.
Keempat adalah sahabat. Sebuah kata bijak menyatakan a friend in need is a friend indeed maka teman sejati akan datang ketika kita membutuhkan (pertolongan). Namun bagaimana apabila sahabat itu berkhianat –kebahagiaan akan serasa benar-benar hilang mengingat dialah orang yang kita percayai. Tentunya kita hanya bisa mengelus dada, istighfar, dan apabila masih diperkenankan untuk tersenyum, kita akan bahagia di sumber kebahagiaan yang kelima berikut.
Ia adalah teman serumah, atau keluarga kita. Istri atau suami dan anak, juga orang tua, adalah muara kepercayaan dari setiap problematika hidup kita. Ketika pulang kerja kita merasa penat dengan tugas-tugas, seakan hilang ketika menemukan canda bersama keluarga. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan usia orang akan lebih lama bila dia berumahtangga. Kebahagiaan kelima ini –dengan teman serumah- merupakan jenis yang paling disarankan bila katagori kebahagiaan 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) menemui kendala.
Seandainyapun kebahagiaan dengan teman serumah ini diguncang, kita musti meredamnya dengan kebahagiaan yang ultimate, tidak ternilai, paling pungkasan, paripurna, yaitu kebahagiaan diri sendiri. Kemampuan untuk menghibur pribadi masing-masing, merupakan kekuatan luar biasa untuk menekan semua problematika yang ada. Di mana letak kebahagiaan? Ya, di dalam diri kita sendiri. Dengan niat, patrap, dan tekad, maka semua masalah bukan hanya mitos yang sukar dipecahkan, tetapi etos dari dalam yang akan memecahkannya. Dengan menyelesaikan 1 (satu) permasalahan maka sudah muncul banyak kebahagiaan. Selamat menggayuh kebahagiaan.◄ DIMUAT di rubrik Renungan majalah Komite pada September 2006

Bencana Alam dan Bencana Sosial

SEMENJAK peristiwa tsunami yang menerpa Nanggroe Aceh Darussalam sepertinya kita tidak lepas dari deraan masalah berupa bencana alam. Dari mulai tanah longsor, kemudian banjir, dan gunung meletus. Sampai akhirnya gempa bumi yang menelan korban 6000-an melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, ternyata runtutan bencana masih belum istirahat. Ada bencana lumpur panas di Sidoarjo (Jawa Timur), awan panas di lereng Gunung Merapi (Jateng) dan banjir di Sinjai (Sulawesi Selatan).
Apa salah kita dengan fenomena ini? Perlu dibedakan antara takdir dari Tuhan dan kesalahan manusia. Banjir dan lumpur panas merupakan akibat dari kecerobohan manusia. Bencana banjir sangat berhubungan dengan aktifitas penggundulan hutan, pembalakan liar, dan alih fungsi lahan. Hal tersebut tentunya berbeda dengan gempa bumi dan gunung meletus yang memang merupakan fenomena alam. Tetapi meski merupakan ketetapan-Nya manusia masih diberi kesempatan untuk planning, organizing, actuating, dan controlling untuk menjadi waspada, untuk penanganan, dan untuk kesinambungan. Manusia dikaruniai kemampuan untuk mengantisipasi melalui sistem peringatan dini, kemudian untuk membantu pada saat terjadinya bencana, dan menangani traumatik para korban.
Sebagai hamba yang beragama, harus kita sadari bahwa cobaan dari alam merupakan semacam ujian dari-Nya untuk menuju ke arah yang lebih baik. Kita musti yakin akan hal itu. Kesadaran harus dilanjutkan dengan kemawasan bahwa pertama harus disadari bahwa posisi geografis Indonesia sangat amat rawan dengan bencana. Kemudian kedua perlu adanya mekanisme peringatan dini yang mencegah dari dampak bencana yang lebih besar, ketiga penanggulangan bencana pada saat jam-J dan hari-H itu sendiri. Lalu keempat penanganan pasca bencana, dan terakhir adalah aktifitas monitoring evaluasi terhadap keseluruhan perencanaan penanggulangan (bencana tersebut).
Badan penanggulangan bencana dan –salahsatunya adalah- Departemen Sosial sebagai bagian dari sektor yang menjadi bencana, sangat urgen untuk menjadi departemen yang preventif dalam hal penanganan bencana, atau membahas pra-bencana –bahwa bencana alam merupakan hasil dari konstruksi sosial. Sebelum ada bencana selayaknya ada early warning system, dan sosialisasi menghadapi bencana terutama untuk generasi muda dan anak-anak. Mekanismenya bisa melalui pendidikan yang bertemakan penanganan bencana. Dalam hal ini kita perlu menitu beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat (misalnya di Hawai) dan juga Asia (Jepang terutama) yang telah memiliki kurikulum pendidikan tentang bencana. Dalam paradigma manajerial, jajaran Pemerintah tersebut layak untuk memiliki kajian yang membahas risk management dalam rangka mengurangi expected loss.
Bencana memang bisa saja datang suatu saat, namun jangan menyepelekan juga akan adanya bencana sosial. Bencana sosial adalah semacam bencana alam yang tertunda. Kalau bencana alam adalah kegagalan pembangunan karena faktor alam (disaster, bencana), maka bencana sosial merupakan kegagalan manusia terkait dengan market failure (kegagalan pasar) ataupun kesalahan Pemerintah dalam pembangunan (keterangan: sebenarnya tidak mutlak kesalahan Pemerintah, elan vital dari pembangunan di era demokratisasi ini adalah berbasis pada masyarakat, sehingga gagal dalam menggalang kebersamaan masyarakat merupakan penyebabnya). Contoh bencana sosial seperti kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran. Penanganan bencana sosial tidak boleh hanya berprinsip karitatif atau belas kasihan semata, namun harus kasih sayang. Prinsip karitatif hanya mengenal konsep ’tangan atas bawah’ sementara prinsip kasih sayang lebih menyukai tangan yang sejajar, atau dengan kata lain kebersamaan. Filosofi belas kasihan cenderung meletakkan orang pada posisi atas-bawah, sedangkan kasih sayang lebih kepada kesejajaran.
Kesadaran akan ’bencana sosial merupakan bencana alam yang tertunda’ merupakan pendidikan yang harus ditanamkan kepada generasi muda terutama kaitannya antara hubungan warga dengan Negara. Kesalahan elementer yang sering dipakai oleh warga negara bahwa setiap orang menganggap dirinya jadi tanggung jawab negara. Sekali lagi bukan begitu. Setiap anak dari segenap bangsa Indonesia yang lahir sebenarnya tanggung jawab orang tuanya, hingga sang anak bisa mandiri. Anak mandiri ketika mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, yakni kebutuhan produksi, kebutuhan konsumsi, dan menjaga harmonisasi keduanya. Caranya, mereka harus kerja, kalau kerja harus untung, sebab untuk ditabung. Akan terjadi malapetaka bila orangtua tidak punya tabungan tapi punya anak. Bayangkan, makan sendiri saja tidak cukup maka hutang, dan pendapatan akan habis untuk membayar hutang.
Pantas disadari bahwasanya Negara dibentuk oleh keinginan warga-warga yang mandiri, bukan negara menghasilkan warga negara. Urutan logikanya seperti ini, ketika pribadi-pribadi ini mandiri, ada kebutuhan untuk membentuk jaringan organisasi sosial, untuk memfasilitasi dan menjaga harmonisasi kebutuhan produksi dan konsumsi banyak orang. Untuk urusan ekonomi, terbentuk oraganisasi yang bernama koperasi. Sedangkan urusan sosial, maka mereka akan membentuk kerukunan dari rukun tetangga, rukun warga, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara. Maka dengan alamiah, pemimpin akan muncul sendiri dari manusia-manusia mandiri itu. Jadi, fungsi negara hanya sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator
Negara yang mandiri akan terbentuk jika warganya mandiri. Untuk mandiri, kata kuncinya, warga harus KUTabung, kerja, untung, dan tabung. Untuk mendapatkan kerja, orang harus membuka hatinya, mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah SWT, dan memunculkan nilai-nilai kreatif. Bila diamati masih banyak lapangan pekerjaan yang banyak belum digarap. Alam Indonesia yang kaya telah menyediakan semuanya. Belajar jadi petani dan nelayan yang sadar dengan keahliannya. Masyarakat harus sadar dengan potensi di daerahnya dan itu yang dikembangkan, lalu difasilitasi melalui organisasi koperasi. Di Swedia, konsep ini bisa berjalan lancar, hingga kemiskinan di sana nol absolut. Jadi, bekerja dan menikmati hasilnya dengan syukur, yakni menikmati dan melestarikan –itulah yang dinamakan dengan ’untung’. Keuntungan dari kerja berupa uang, harus ditabung dan menanti uang jadi menggunung, sedangkan keuntungan lain adalah rasa nikmat. Adalah tugas kita untuk ikut menjaga selarasnya alam. Contoh sederhananya, kita memetik hasil pertanian, perkebunan, hutan, memang adalah tindakan produksi, tapi itu juga perusakan, termasuk menghirup udara. Maka, sebagai manusia yang sadar, kita harus mengembalikan apa yang kita rusak itu. Untuk pertanian, selalu merawat kesuburan tanah, seperti misalnya kalau kita memotong pohon maka kita juga harus menggantinya. Jadi selain menikmati alam, juga harus melestarikannya. ◄ DIMUAT di rubrik Renungan majalah Komite pada bulan Juli 2006

Pancasila dan Kita

PADA awal Juni ini kita memperingati hari kelahiran Pancasila. Pancasila merupakan sebuah gagasan dari para pendiri bangsa untuk mengelola keberagaman. Tak ayal banyak pengamat menyebutkan bahwa Republik ini memang dibentuk oleh gagasan. Menggagas sebuah nasion dengan demokrasi sebagai pilarnya itulah yang diupayakan oleh para pendiri bangsa. Tetapi itu masih belum cukup, demokrasi membutuhkan pedoman nilai guna mempertahankan keberlanjutannya. Lima nilai pokok, atau kelima sila inilah yang melandasi napas demokrasi Indonesia –atau lebih tepatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Pancasila lahir dari jerih payah dalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang menyumbang gagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembug. Ia mengakui perbedaan manusia dan ketidaksempurnaannya. Ia tidak menganggap diri doktrin mahabenar. Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telah belajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri maha benar” demikian yang diutarakan oleh Todung Mulya Lubis mewakili 17 tokoh tanah air untuk membacakan Maklumat Keindonesiaan pada tanggal 1 Juni 2006. Dari paragraf tersebut menunjukkan semangat untuk back to Pancasila, yang sejak era reformasi gaungnya menjadi berkurang karena terdapat pandangan sempit bahwa Pancasila merupakan produk era-era terdahulu. Hal tersebut tentunya harus diluruskan.
Selama sewindu reformasi, terdapat kesungkanan untuk mengucapkan Pancasila karena dianggap tidak sejalan dengan reformasi dan demokratisasi. Padahal berpandangan hidup ala Pancasila menjadi keniscayaan ketika membicarakan dasar negara, pun dengan adanya Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/ 1998 yang mencabut Tap MPR No. II/ MPR/ 1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4), semestinya Pancasila memang tetap sebagai ideologi Negara.
Tak kurang Presiden Yudhoyono juga mengungkap perlunya mengembalikan Pancasila kembali ke ruang publik. Perlu digarisbawahi pernyataan Presiden saat memberikan pidato politik pada acara memperingati kelahiran Pancasila bahwa ”...karakteristik reformasi adalah perubahan dan kesinambungan. Lanjutkan yang baik, tepat, dan relevan dengan jati diri, dan konsensus dasar.” Menurut Presiden, Pancasila masih relevan sebagai rujukan, sumber pencerahan, sumber inspirasi, dan jendela solusi di masa transisi yang penuh tantangan dan ancaman. Memang, reformasi seakan membabat semua yang berbau orde sebelumnya, padahal yang perlu ditinggalkan adalah yang buruk, sementara yang baik selayaknya untuk dilestarikan.

Antara Konsep dan Realita
SATUHAL yang perlu ditekankan dalam memperingati harlah Pancasila adalah bahwa kita sebagai bangsa memiliki kelemahan untuk merealisasikan sebuah konsep. Konsep yang amat mulia dan ideal dan dirumuskan melalui kerja keras segenap founding fathers menjadi tugas generasi berikutnya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi itulah yang maha berat. Sisi hipokrit manusia (salahsatunya orang Indonesia dalam hal ini) akan mengemuka. Disilah kedewasaan sebagai warganegara dan sebagai bangsa yang memiliki integratis diuji. Mampukah nilai ideal tersebut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari? Kelemahan untuk menerjemahkan Pancasila tersebut selayaknya untuk ditutup dan menjadi bahan pembelajaran bagi generasi mendatang. Jangan sampai generasi mendatang mengulangi kesalahan yang dilakukan generasi sebelumnya: tidak sanggup menerjemahkan Pancasila sebagai realitas hidup. Ketika nilai-nilai mulia dalam Pancasila tidak bisa diterapkan –maka Pancasila akan kehilangan relevansinya. Lebih dari itu, cita-cita bangsa untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tidak pernah bisa diraih.
Laporan BPS mengenai angka pengangguran pada bulan Mei 2006 menyebutkan peningkatan orang tidak bekerja sebesar 11,1% (belum dihitung mereka yang ½ menganggur). Pada satu sisi memang lapangan pekerjaan yang ada di Republik ini masih rendah. Pada sisi lain, dari perspektif individual, perlunya pemahaman nilai Pancasila dalam mengatasi kebuntuan ini. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam salahsatu butir pelaksanaannya menggariskan mengenai sifat bekerja keras. Motivasi untuk bekerja keras itulah yang semestinya dimaknai dalam menyejahterakan diri. Dari tabel 1 memperlihatkan adanya kenaikan beberapa indikator ekonomi –meski belum signifikan. Yang terus untuk didorong adalah semangat kerja keras dari manusia Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, dan sangat besar kemungkinan itu adalah pada penciptaan sektor informal, terutama usaha mikro (beberapa ekonom menengarai perbaikan indikator ketenagakerjaan pada tabel 1 karena didominasi oleh kinerja sektor informal atau usaha mikro).
Penanganan terhadap korban bencana Jogja dan Jawa Tengah pada akhir Mei kemarin juga memberikan pelajaran. Ketika pemerintah daerah tidak siap dan lambat, maka masyarakat bersama lembaga swadaya non-Pemerintah sigap bergerak. Dalam kasus penyediaan lapangan kerja juga semestinya begitu. Pemerintah cukup memberikan iklim kondusif agar roda perekonomian masyarakat tercipta dengan sendirinya.
Slogan kerja,kerja, dankerja harus selalu didengungkan. Karena dengan bekerja, maka dia mendapatkan penghasilan, dari penghasilannya tersebut disisihkan untuk ditabung. Menabung –seperti telah saya sebutkan pada Renungan edisi Maret 2006 dengan judul Kerja Untung Tabung- terarah untuk pertama konsumsi seharihari, kedua modal usaha, ketiga jaminan sosial hari tua, keempat zakat infak shodaqoh, dan kelima pajak.

Pancasila: Sekarang dan Nanti
TIDAK perlu lagi ada rasa sungkan dan ewuh prekewuh untuk menyebut Pancasila. Demikian pula dengan UUD 1945 beserta Pembukaannya, NKRI, dan wawasan kebangsaan. Di era global ini rasa kebangsaan –kebanggaan sebagai satu bangsa- diperlukan oleh suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau dan masa kini. Dalam dinamisasinya rasa kebangsaan ini berkembang menjadi Wawasan Kebangsaan –yakni berbagai pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berbeda dengan P4 dahulu, wawasan kebangsaan lebih memperhatikan lagi eksistensi Indonesia di tengah dinamikanya dengan nasion-nasion lain.

Wawasan Kebangsaan mampu mendudukkan suatu bangsa pada kedudukan yang sejajar dengan bangsa lain dan juga untuk kepentingan memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa itu sendiri. Dengan Wawasan Kebangsaan akan menyadarkan warga negara terhadap pentingnya arti kehidupan bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan bangsa.

Pancasila telah berusia 61 tahun. Para pendiri bangsa telah meletakkan pandangan hidup berbangsa dan bernegara dengan cerdas. Kini saatnya kita mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan melalui proses dialektika, mewariskannya kepada next generation. Kita rintis sebuah bangsa yang gilang gemilang, Indonesia Emas (ada sebuah media yang menyebutkan dengan ”Indonesia 2030”), yang dapat dinikmati oleh generasi nanti. Mungkin bukan kita yang menikmati, tapi tentunya kita bisa tersenyum di ’alam sana’, menyaksikan anak cucu kita berada pada era Indonesia Emas tersebut.█ DIMUAT di rubrik Renungan majalah Komite pada bulan Renungan Juni 2006