Selasa, 29 Juli 2008

Mencerahkan Wawasan Kebangsaan

DALAM pekan-pekan ini kami menghadiri beberapa acara yang digelar oleh perguruan tinggi. Seperti yang pernah dimuat di rubrik Renungan yang lalu, saya telah menghadiri undangan untuk memberi orasi ilmiah di Universitas Slamet Riyadi Surakarta (tanggal 21 Juni 2008), kemudian STEKPI Jakarta (25 Juni 2008), UPN Veteran Surabaya (5 Juli 2008), dan terakhir di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta (09 Juli 2008). Intinya sama bahwa kami sampaikan peran perguruan tinggi tidak jauh berkisar dari Tri Dharma nya yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dalam kerangka ‘dharma’ yang lebih tinggi yaitu tan hana dharmwa mangrwa, tidak ada kebaikan (darma) yang mendua. Hanya ada satu kebaikan, yaitu kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Esa.

Saudara-sudara pembaca sekalian, dalam setiap forum civitas academica kami sampaikan bahwa peran perguruan tinggi harus lebih menonjol dalam bertindak untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial bangsa. Salahsatu yang kami bahas dalam forum terkahir adalah ‘bagaimana perguruan tinggi harus semakin mencerahkan wawasan kebangsaan’. Dengan demikian perguruan tinggi di Indonesia tidak sekedar “menara gading” namun harus menjadi bagian dari “akar rumput” (rakyat) yang merasakan penderitaan rakyat sekaligus mencari solusinya. Dharma Pendidikan adalah dengan menciptakan kelompok pembaharu, penelitian memalui penciptaan hal-hal baru, dan pengabdian masyarakat adalah melaksanakan konsep ‘cipta, rasa, karsa’.

Pada pertemuan tersebut Senat Taruna Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta memberikan tema mengenai ‘wawasan kebangsaan’ untuk kami sampaikan. Berdasarkan dokumen yang telah kami rintis bersama dengan sobat di Forum Sosialisasi Wawasan Kebangsaan –ketika masih eksis Kedeputian Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, diSekretariat Wapres- bahwasanya Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang atau pemahaman tentang konsep dan aktualisasi nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Wawasan kebangsaan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks sesuai dengan luas dan kompleksnya dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wawasan Kebangsaan diperlukan karena perlu adanya konsep dan aktualisasi manajemen kehidupan negara-bangsa yang bermartabat dan berkeadaban. Dimensi wawasan kebangsaan yang luas dan kompleks tersebut sering dipetakan dalam dua dimensi: Pertama, wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik Kedua, wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi. Wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik yaitu konsep tentang persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah suatu negara-bangsa. Wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi yaitu konsep tentang manajemen pembangunan nasional dalam rangka membangun Ketahanan Nasional untuk mempertahankan eksistensi kehidupan suatu negara-bangsa. Konsep geostrategi berdimensi Astra Gatra.

Astra Gatra terdiri dari dimensi trigatra alamiah dan pancagatra sosial. Trigatra alamiah, terdiri dari : geografi, sumber kekayaan alam, dan kependudukan. Sedangkan Pancagatra Sosial, terdiri dari : ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan.. Konsep wawasan kebangsaan telah dirumuskan dalam konsep Wawasan Nusantara, yang menurut Kelompok Kerja Lembaga Ketahanan Nasional 1997, dirumuskan sebagai berikut: Wawasan Nusantara atau Wawasan Nasional Indonesia adalah ”Carapandang dan sikap bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, bertolak dari pemahaman kesadaran dan keyakinan tentang diri dan lingkungannya yang bhineka dan dinamis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh serta tanggungjawab terhadap lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional”. Wawasan kebangsaan harus diupayakan bersama oleh segenap komponen forum lintas pelaku (stakeholders) yang terdiri dari pemerintah, legislatif, perbankan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi.

Di Negara-negara berkembang, peran perguruan tinggi memang lebih menonjol karena selain memfokuskan pada pendidikan, riset dan pengembangan intelektual lainnya, juga harus secara cepat bertindak untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial bangsa. Dengan demikian perguruan tinggi di Indonesia tidak sekedar “menara gading” namun harus menjadi bagian dari akar rumput (rakyat) yang merasakan penderitaan rakyat sekaligus mencari solusinya. Itu semua sudah dilakukan Universitas Trisaki yang dikenal “peka” terhadap amanat penderitaan rakyat. Saya berharap pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi serta dunia usaha tetap beriringan bersinergi dalam melakukan usaha-usaha kesejahteraan sosial demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Kita semua pasti cinta bangsa dan negara, ingin kesejahteraan umum segera tercapai, kemiskinan hilang di republik ini. Akan tetapi hal tersebut perlu panduan agar kita semua bisa berbareng bergerak tanpa mengenyampingkan adanya perbedaan –demi satu tujuan. Bhinneka Tunggal Ika, tan hanna dharmwa mangrwa. Fokus yang saya utamakan dalam rangka mencintai bangsa adalah kondisi suasana batin kita akan kebutuhan berwawasan kebangsaan. Wawasan Kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lainnya. Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa.

Wawasan Kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global. Perjuangan mengurangi kemiskinan takkan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Kita membutuhkan komunal yang sadar akan semangat kebersamaan. Semangat untuk bersama kita harus bisa.

Dalam pembangunan nasional ke depan, peran pemerintah akan semakin bergeser dari pelaku tunggal yang bekerja sejak merancang, mengorganisir, melaksanakan, memimpin, mengendalikan, menjadi hanya mengatur dan memimpin. Dalam istilah David Osborne dan Ted Gaebler, dari pendayung (rowing) menjadi pengarah (steering). Dengan demikian pemerintah tidak perlu lagi menerjuni bidang-bidang yang memang tidak dikuasainya. Bahkan ke depan sebagian besar pekerjaan akan dilaksanakan oleh rakyat sendiri. Aspek visi, misi, dan aksi tersebut akan sangat bergantung pada individu pelaksananya. Maka dibutuhkan individu yang mengerti jati diri bangsa, melalui pemahaman intelektual, emosional, dan spiritual. Pembangunan yang kita laksanakan, dengan demikian, harus mengacu pada pembentukan jati diri bangsa.

Pemberdayaan ekonomi rakyat dalam kerangka wawasan kebangsaan adalah merupakan upaya memampukan rakyat untuk dapat memimpin, mengelola, mengatur rumahtangga, kehidupannya sendiri yang sejahtera, aman dan damai. Dunia yang damai adalah dunia yang hayu. Dunia yang "hayu" jika setiap pribadi, individu mampu mengelola, mengatur dan memimpin kehidupannya, meningkat ke lingkungan desa/kelurahan, daerah, negara dan dunia. Pemimpin yang hamemayu hayuning bawono adalah mewujudkan kedamaian di dunia yang abadi, baldatun toyibatun warobun gophur. ◄ DIMUAT di rubrik Renungan majalah Komite pada bulan Juli (awal) 2008

Pancasila sebagai Panduan

PADA hari Ahad tanggal 01 Juni 2008 saya mendapat kesempatan berharga untuk menghadiri hari ulang tahun Pancasila bertempat di Menara 165, Jakarta. Pada saat itu acara dirangkai dengan seminar ”Pancasila: Nasionalisme dan Spiritualitas” yang diselenggarakan oleh ESQ Magazines. Artikel berikut merupakan rangkuman dari paparan kami di forum tersebut. Selamat membaca.
(1)
Reformasi sudah berumur 10 tahun dan kebanyakan kita tidak sabar untuk mendapatkan ’kesejahteraan umum’ seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, banyak orang –baik pakar maupun awam- menyarankan agar kehidupan berbangsa dan bernegara kembali kepada pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekwen. Berbagai forum akademik yang digelar sekitar 3 (tiga) tahun ini banyak merekomendasikan hal tersebut. Seingat saya UGM merupakan perguruan tinggi yang pertama yang menyarankan hal tersebut dalam forum akademik di tahun 2005.
Bagi beberapa pendemo yang akhir-akhir ini banyak demonstrasi, kondisi carut marut yang mereka rasakan selalu berkaitan dengan ekonomi. Bagi para pemerhati wawasan kebangsaan, ini semua merupakan buah dari ketiadaan ‘hikmah dan kebijaksanaan’ dalam melaksanakan pola pembangunan. Pembangunan adalah merupakan upaya untuk menuju kehidupan yang lebih baik, dan kesejahteraan umum merupakan titik utamanya. Kita membutuhkan pedoman dalam peri kehidupan sehari-hari. Kesalahan kita dulu saat masa reformasi dan pergantian rejim adalah kita ganti dan rubah semua pola-pola yang sebenarnya masih dapat diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan. Padahal yang kita ganti adalah yang buruk –seperti perilaku yang kurang baik- sementara sisi baiknya atau tauladan dari pemerintahan yang lama masih dapat kita teruskan.
Kita menganggap bahwa pergantian orang dan berikut kesalahannya adalah menghapus juga program dan perencanaan yang sebenarnya memiliki nilai-nilai baik atau positif. Logika the man behind the gun tampaknya begitu melekat, sehingga ketika orangnya (the man) berganti maka senjatanya (the gun) tidak dipakai lagi. Padahal kalau baik ’senjata’ itu bisa diwariskan. Kita pernah mengenal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang sudah tidak kita singgung lagi, padahal sebagai sebuah pedoman individual dalam menjalankan kehidupan bangsa dan negara dan mengingatkan perspektif wawasan kebangsaan, ia tetap diperlukan –tentunya dengan beberapa perbaikan. Kembali ke Pancasila merupakan kunci, tetapi pertanyaan selanjutnya pada bagian dan perihal mana Pancasila dapat dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi saat ini. Makalah ini akan membahas nilai-nilai Pancasila yang perlu kita terapkan lagi.
(2)
Falfasah dalam pertanian mengajarkan kita “siapa menabur dia akan menuai” atau dalam pepatah Jawa adalah sapa sing nandur bakal ngunduh artinya ”siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang berbuat baik akan memetik hasilnya berupa kebaikan di kemudian hari. Bila kita kaitkan dengan Pancasila, bukankah frase tersebut adalah bagian dari Ketuhanan yang Maha Esa. Kondisi saat ini –ketika suasana politik caci maki makin mengemuka- merupakan indikasi bahwa sila pertama tersebut telah kita tinggalkan. Bagi para politisi, pelaksaan sila pertama Pancasila adalah berbuat baik dan berbicara jujur, lawan politik mereka sebenarnya adalah kawan dalam membangun bangsa. Berkampanye pun demikian bila kita lihat akhir-akhir ini banyak sekali tayangan kampanye di televisi. Bila politisi tidak jujur dalam kampanyenya, maka mekanisme ’tangan Tuhan’ atau barangkali invisible hand, akan membalas kemudian hari bahwa kemungkinan besar dia akan tidak terpilih.
Ketuhanan Yang Maha Esa semestinya membuat kita sadar bahwa ada hari kemudian setelah kehidupan di dunia. Sehingga perbuatan baik kita nanti akan ada ganjarannya. Paradigma berbuat baik atau positive thinking bila sepenuhnya mewarnai perilaku kita sehari-hari maka akan berbuah baik juga nantinya. Bila tidak di dunia, semoga di akhirat. Demikian pula seandaianya perspektif ini dipakai oleh mereka yang kalah dalam sebuah pilihan langsung. Sifat legawa dalam menerima kekalahan dengan tetap melihat ke depan akan mengurangi kebiasaan mengkritik atau malah menghujat.
Kita telah menyepakati satu hal: demokrasi. Dan pada pernyataan ”demokrasi” tersebut kita harus sandarkan kepercayaan vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) sehingga hasil pilihan demokrasi tersebut harus kita jaga. Hasil demokrasi atau dalam hal ini pilihan langsung memang sering tidak dibayangkan sebelumnya. Sering yang dipersiapkan tidak jadi, bahkan yang jadi bukan yang dipersiapkan. Sekali lagi sifat legawa yang musti diutamakan dalam hal ini bagi semua para kontestan dan pendukungnya. Bahwa ada kehidupan sesudah dunia yang barangkali akan membawa hasil lebih baik.
Demokrasi sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Kesepakatan kita bertambah: mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Tetapi pilihan-pilihan kebijakan publik sering terjadi ”musyawarah tidak menghasilkan mufakat, yang dimufakati bukan merupakan hasil musyawarah”. Dalam pola pembangunan, visi dan misi Presiden/ Wakil harus kita sepakati, yang kemudian dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, diturunkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah, dan selanjutnya ke Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian. Kementerian dan Lembaga akan mengimplementasikannya secara riil dalam program dan aksi pembangunan. Logika ini harus runtut seperti kita dulu menyepakati mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara, sehingga sinyalemen bahwa ’kita perlu lagi semacam GBHN’ tidak akan muncul bila logika runtut tersebut kita anut dan terapkan dalam program pembangunan.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan amanat untuk mewujudkan kesejahteraan umum seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam APBN, kita kenal mekanisme tax dan subsidy. Barangkali yang sering kita lupa adalah subsidi itu pajak-minus. Hal tersebut hanya dapat difasilitasi oleh kebijakan sektor riil. Subsidi tidak apa-apa sepanjang hal tersebut akan dimanfaatkan kelompok masyarakat yang lemah untuk pemberdayaan. Pemberdayaan yang nantinya akan membuat kesenjangan menjadi semakin tipis. Komprominya di tengah anggaran yang terbatas adalah eksistensi kebijakan subsidi langsung contohnya conditional cash transfer seperti bantuan langsung pemberdayaan. Dengan tambahan catatan pula, pendataan by name by address penerima yang kuat. Dengan CCT maka masyarakat dapat bekerja, kemudian mendapatkan keuntungan, dan menyisakannya untuk ditabung. Kerja, untung,. Tabung, yang dalam kaidah ekonomi pembangunan dikenal dengan mekanisme employment income growth.

(3)
Ketiga sila diatas hanya contoh sekilas bagaimana kerinduan kita akan adanya sebuah panduan berperikehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai utama yang saya utamakan adalah kondisi suasan batin kita akan kebutuhan berwawasan kebangsaan. Permasalahan utama bangsa ini adalah kemiskinan. Satu hal yang inheren dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah spirit untuk maju. Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri. Sehingga pendekatan kita selain secara intelektual (yaitu intervensi ekonomi) kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas, yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat, merupakan agenda utama kembali ke Pancasila dengan semangat wawasan kebangsaan.◄ TULISAN ini dimuat di majalah Komite pada kolom Renungan di bulan Juni 2008

Cinta Bangsa dan Negara

SETAHUN yang lalu tepatnya pada hari Sabtu tanggal 16 Juni 2007 saya berada di tengah-tengah civitas academica Universitas Slamet Riyadi (Unisri) di kota budaya Solo, Jawa Tengah. Kemarin, pada hari Sabtu juga tanggal 21 Juni 2008 saya sungguh berbahagia dapat berkumpul dengan Saudara-saudara sebangsa dan setanah air dalam wadah kampus Unisri. Bersama dengan Panglima Tentara Nasional Indonesia –yang merupakan adik kelas di SMA 1 Surakarta- kami didaulat untuk memberikan sambutan pada acara dies natalis perguruan tinggi tersebut. Dalam ilmu geografi tanggal 21 Juni ditengarai sebagai titik kulminasi matahari pada puncaknya paling utara di bumi –menurut pergerakan semu matahari. Saya semangati para hadirin semua pada waktu tersebut bahwa semoga pertemuan ini merupakan performa puncak kita dalam membangun bangsa. Mari menumpahkan rasa cinta yang memuncak kepada Tuhan, yang kemudian kita manivestasikan kepada bangsa dan tanah air. Dalam kesempatan itu pula saya membahas mengenai “Mencintai Bangsa dan Negara” yang pada awal tahun 2008 telah kami bukukan bersama dengan Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian.
Mencintai Bangsa dan Negara diterjemahkan melalui komitmen kita terhadap kesepakatan berbangsa dan bernegara. Kesepakatan tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah menggariskan bahwa Negara yang merdeka dan berdaulat harus mampu pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kesemuanya dalam kerangka dasar negara Pancasila.
Ditilik dari esensi dan muatannya, isi Pembukaan UUD 45 tersebut sangat sempurna pada eranya. Fungsi Negara tersebut tidak jauh berbeda dengan teori kebijakan publik seperti yang dirumuskan Musgrave melalui bukunya Public Finance: Theory and Practice, 1973. Menurut Musgrave fungsi utama pemerintah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara berkenaan dengan alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi meliputi aspek pengelolaan alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan di dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.
Demikian pula yang dinyatakan oleh Samuelson dalam buku babonnya Economics bahwa fungsi Pemerintah dalam perekonomian adalah dalam rangka mencapai efisiensi, keadilan, dan kestabilan (eficiency, equity, dan stability). Pemerintah perlu bertindak untuk mencapai efisiensi yaitu dalam rangka mengatasi kegagalan pasar, seperti adanya praktik monopoli dan oligopoli. Program Pemerintah untuk menciptakan keadilan dengan memakai instrumen pajak dan tabungan untuk meredistribusi pendapatan bagi kelompok masyarakat miskin. Kemudian kebijakan stabilisasi ditujukan untuk mengurangi pengangguran dan inflasi, serta mencapai pertumbuhan.
Sebagai dasar negara kita memiliki Pancasila yang sudah berusia 63 tahun pada tanggal 1 Juni kemarin. Sedangkan pembangunan merupakan upaya pengejawantahan kita terhadap nilai-nilai Pancasila, sebagai bagian upaya kita untuk menuju kehidupan yang lebih baik –sesuai cita-cita Pembukaan UUD 1945- agar NKRI tetap kokoh dan lestari. Pembangunan berangkat dari masalah kemasyarakatan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan. pembangunan merupakan solusi terhadap permasalahan tersebut yaitu ”kerja-untung-tabung” yang dalam khasanah ekonomi pembangunan dikenal dengan pro employment, pro poor, dan pro growth. Roh pembangunan adalah penanggulangan kemiskinan. Treatment atau perlakuan dalam menghadapi kemiskinan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) klaster yaitu Fakir, Miskin, dan Rentan –dengan mengambil poverty line 19,1 juta rumah tangga sangat miskin dengan penghasilan Rp 150 ribu perbulan. Klaster Fakir –seperti program PKH, BOS, Raskin, dan BBR- sifat programnya adalah hibah murni. Klaster Miskin sifat programnya hibah bergulir, contohnya PNPM, dan P2FM BLPS. Sedangkan Klaster Rentan sifat programnya subsidi penjaminan, contohnya Kredit Untuk Rakyat, dan Maskot.
Saudara-saudara sekalian, reformasi sudah berumur 10 tahun dan kebanyakan kita tidak sabar untuk mendapatkan ’kesejahteraan umum’ seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, banyak orang –baik pakar maupun awam- menyarankan agar kehidupan berbangsa dan bernegara kembali kepada pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Berbagai forum akademik yang digelar sekitar lima tahun ini banyak merekomendasikan hal tersebut.
Kembali ke Pancasila merupakan kunci, tetapi pertanyaan selanjutnya pada bagian dan perihal mana Pancasila dapat dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi saat ini. Pada saat peringatan hari kelahiran Pancasila 1 Juni yang lalu bertempat di Menara 165, Jakarta, saya munculkan perlunya kita akan keberadaan ”Tim Pengendali Realisasi Pancasila FKA ESQ 165”. Pancasila adalah sifat Allah dalam langkah Total Action berdasar zero mind. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ”Syahadat” atau Mission statement . Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah shalat sebagai bagian character building. Persatuan Indonesia manifestasinya adalah ”zakat, infaq, dan shadaqah” yang merupakan self controlling. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dianalogikan dengan ”Puasa” sebagai bagian dari strategic collaboration. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan ”Haji dengan 5 rukunnya” sebagai bagian dari total action.
Kita semua pasti cinta bangsa dan negara, tetapi perlu panduan agar kita semua bisa berbareng bergerak tanpa mengenyampingkan adanya perbedaan –demi satu tujuan. Bhinneka Tunggal Ika, tan hanna dharmwa mangrwa.
Fokus yang saya utamakan dalam rangka mencintai bangsa adalah kondisi suasana batin kita akan kebutuhan berwawasan kebangsaan. Permasalahan utama bangsa ini adalah kemiskinan. Satu hal yang inheren dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah spirit untuk maju. Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri. Sehingga pendekatan kita selain secara intelektual (yaitu intervensi ekonomi) kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Dalam kedua hal tersebut paradigma yang ditawarkan adalah pendekatan wawasan kebangsaan seperti kami sebut di muka.
Wawasan Kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lainnya. Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa.
Wawasan Kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global. Perjuangan mengurangi kemiskinan takkan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Kita membutuhkan komunal yang sadar akan semangat kebersamaan. Semangat untuk bersama kita harus bisa.
Setelah mencintai, kita harus bisa memiliki. Seandainya tidak kita miliki-pun, seorang filsuf bernama Erich Fromm menyarankan agar kita "mencintai dan menjadi". Menjadi Indonesia. Lebih tepatnya: menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas, yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat. Itulah agenda utama kembali ke Pancasila dengan semangat wawasan kebangsaan.
TULISAN ini dimuat pada kolom Renungan di majalah Komite pada edisi akhir bulan Juni 2008

Peran Aparat dalam Pemberdayaan Masyarakat

1. Pendahuluan
SESUAI dengan tema narasumber yang diberikan kepada kami yaitu “Kebijakan, Program, dan Aksi Depsos dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat”. maka judul makalah kami sesuaikan seperti di atas. Makalah saya awali dari definisi terlebih dahulu. Dari definisi, kemudian kita sepakati permasalahannya. Bila sudah sepakat mari kita laksanakan, secara konsisten, dan akhirnya yang kita pikir selalu yang terbaik. Idealnya kita ucapkan, laksanakan, kendalikan, sehingga terealisir.
Kebijakan menurut PBB adalah pedoman untuk bertindak. Pedoman tersebut bisa menjadi sederhana atau sangat kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dengan demikian dapat berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atas suatu rencana (Wahab, 2004:2).
Program diartikan sebagai kumpulan sejumlah proyek yang saling berkaitan untuk menunjang sasaran tertentu (Kunarjo, 2002: 304). Pemberdayaan masyarakat adalah agenda peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia dan bangsa (dikutip dari “Responsi Pemerintah terhadap Kesenjangan Ekonomi”, 2006). Aparat atau Aparatur dalam Kamus Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta disebutkan sebagai alat-alat Negara, pegawai dan sebagainya. Dalam literatur terkini mengenai governance aparat lebih diarahkan kepada pelayan atau Abdi Masyarakat. Sebagai pegawai pemerintah, ia mempunyai tugas mengimplementasikan fungsi Negara seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
Dalam aras kepemimpinan, ia selayaknya memiliki pola kepemimpinan ala 8 sifat alam, atau Asta Brata. Dalam falsafah Jawa pun dikenal nilai-nilai "Asta Brata", dimana pemimpin justru harus memberikan teladan kepada rakyat melalui penghayatan sifat-sifat alam ke dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat alam yang patut diambil hikmahnya itu adalah
1. sifat matahari yang memberi semangat,
2. sifat rembulan yang memberi pembinaan,
3. sifat bintang yang memberikan arah hidup,
4. sifat angin yang mampu menyelami kehidupan rakyat,
5. sifat mendung yang memberikan pengayoman,
6. sifat api yang "tegas" dan "teges",
7. sifat air yang adil, mempunyai pandangan luas, dan
8. sifat bumi yang jujur
Peran utama aparat adalah ‘mengingatkan’. Dalam era otonomi daerah dan menunjang kemandirian bangsa maka selayaknya kita serahkan pembangunan kepada masyarakat. Aparat negara hanya mengingatkan agar masyarakat memikirkan dirinya, keluarganya, dan kelompok terdekat dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Paper ini diarahkan untuk menjelaskan upaya pemberdayaan sosial yang dilakukan oleh Departemen Sosial RI dan terlebih khusus lagi di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial.
2. Pemberdayaan Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan
Sesuai dengan Alinea IV Pembukaan UUD 45 maka fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara adalah .“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasakan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Ringkasnya tujuan penyelenggaraan pemerintahan Negara adalah melindungi segenap warga negara, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Maka penanggulangan kemiskinan menjadi kunci untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah telah menetapkan triple track untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan, yaitu dengan employment, income, dan growth. Dalam khasanah ekonomika pembangunan, ketiganya merupakan solusi untuk mengantar masyarakat agar bertransformasi struktural. Misalnya pendapat Harrod-Domar yang membahas 2 (dua) tahap perkembangan masyarakat yaitu dari tradisional ke modern (underdevelopment ke developed communities). Chennery yang berpendapat 3 (tiga) tahapan dari pertanian, industri, lalu ke jasa. Kemudian Rostow yang berasumsi 5 (lima) tahapan yaitu tradisional, pra-kondisi lepas landas, lepas landas, tahap konsumsi tinggi, dan masyarakat yang matang.
Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Depsos mengadaptasi hal ini dengan slogan “Kerja Untung Tabung” atau Kutabung. Bahwa bekerja akan mendatangkan keuntungan (profit) yang kemudian disimpan (saving) untuk kehidupan mendatang. Dengan Kutabung akan memunculkan warga yang mandiri, dan pastinya menjadi sejahtera. Hal ini relevan dengan slogan triple track Kabinet Indonesia yaitu employment, income, dan growth. Dengan semangat triple-track tersebut maka Pemerintah mempunyai target untuk mengurangi pengangguran, penanggulangan kemiskinan, dan memacu pertumbuhan
Sebenarnya tidak hanya Indonesia, kemiskinan menjadi problematika yang sangat kompleks bagi semua negara di dunia. Dalam kesepakatan global Millenium Development Goals atau MDGs, setiap negara diwajibkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan hingga separuhnya pada periode 1990-2015.
Upaya ke arah pengurangan jumlah penduduk miskin telah lama diupayakan Pemerintah. Pemerintah RI mengeluarkan kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam mengurangi jumlah penduduk miskin semenjak tahun 1961, yaitu melalui Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Upaya penanggulangan kemiskinan waktu itu dilaksanakan pemerintah melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (basic needs). Program ini mengalami kegagalan pada saat terjadi krisis politik dan transisi pemerintahan pada tahun 1965 – 1966.
Kemudian, setelah itu era Orde Baru melakukannya dalam kerangka trilogi pembangunan (pertumbuhan, pemerataan, dan stabilisasi). Orde Baru dalam hal ini paling berhasil mengangkat kondisi kehidupan ekonomi dan sosial di Indonesia secara sangat berarti. Penghasilan per kapita meningkat dari sekitar hanya USD 70 pada pertemngahan 1960-an menjadi lebih dari USD 1000 pada pertengahan 1990-an. Prasarana yang langsung melayani masyarakat maupun yang mendukung kegiatan ekonomi dibangun secara luas. Kemiskinan menurun drastis dan berbagai indikator kesejahteraan sosial mulai dari harapan hidup, tingkat kecukupan gizi, tingkat kematian ibu dan anak, sampai ke tingkat partisipasi pendidikan, ketersediaan air bersih dan perumahan, semuanya menunjukkan perbaikan yang berarti. Indonesia menjadi contoh pembangunan yang sukses menurut versi Bank Dunia.
Tahun 1988-1998 program Pemerintah terus dimantapkan dengan pengembangan Kawasan Terpadu melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai program ad-hoc penanggulangan kemiskinan pasca krisis (misalnya Padat Karya, dan Program Dalam rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi /PDMDKE).
Pada tahun 1998-2006, upaya menghadapi krisis masih berlanjut dengan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai sektor, meliputi: Program Pengembangan Kecamatan atau PPK, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan atau P2KP, P2MPD, WSSLIC, KPEL dan Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Sejalan dengan pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi dan sesuai aspirasi masyarakat maka program penanggulangan kemiskinan terus dimantapkan. Mulai tahun anggaran 2007 program penanggulangan kemiskinan dikonsolidasikan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sedangkan perbaikan terhadap program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diupayakan pada tahun ini melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Bagan 1 berikut merupakan ringkasan dari program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilakukan Pemerintah.

Bagan 1: PERKEMBANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1974-1988: Berbagai program sektoral:Pertanian (BIMAS, INMAS, KUK, transmigrasi), Industri (industri padat karya, al. tekstil & kayu lapis), berbagai kebijakan Inpres (Desa, Kabupaten, Propinsi, Jalan, Irigasi, dll).
1988-1998: Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT)  Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai program ad-hoc penanggulangan kemiskinan pasca crisis (Padat Karya, PDMDKE, Community Recovery Program).
1998-2005: Program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai sektor: PPK, P2KP, P2MPD, WSSLIC, KPEL, dll. Dalam kerangka program mengatasi dampak krisis: Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pada tahun 2005 untuk mengatasi kenaikan BBM diselenggarakan program Bantuan Langsung Tunai.
2006: Program-program sektoral diupayakan untuk dikoordinasi dalam payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Untuk tahun awal diadaptasi sebanyak 2 program yaitu PPK dan P2KP.
2007: Dimunculkan Program Keluarga Harapan atau PKH sebagai conditional cash transfer. Untuk economically active poor diselenggarakan program BLPS dari Departemen Sosial
Program-program penanggulangan kemiskinan yang selama ini diselenggarakan Pemerintah adalah Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) di Departemen Pertanian; Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) di Depdagri; Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) di Depdagri; Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Depdagri; Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kementerian PU; Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir di Departemen Kelautan dan Perikanan; Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di BKKBN, Program Peningkatan Usaha Ekonomi Perempuan (P2UEP) di Kementerian Perempuan; Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Departemen Sosial.
Departemen Sosial memiliki visi “Kesejahteraan Sosial, Oleh dan Untuk Semua”. Misinya adalah: a. Meningkatkan harkat martabat, b. Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masy., c. Mencegah, mengendalikan, mengatasi masalah sosial, d. Mengembangkan sistem jaminan sosial dan perlindungan sosial, e. Memperkuat ketahanan sosial. Strateginya adalah Pemberdayaan sosial, Kemitraan sosial, Partisipasi sosial, Advokasi sosial

3. Reinventing Departemen Sosial
Selama ini Pemerintah telah bekerja keras mengurangi kemiskinan, meski jumlah kemiskinan masih tinggi. Pemerintah telah berhasil mengurangi kemiskinan menjadi 37,17 juta jiwa penduduk miskin atau 16,58 persen penduduk Indonesia (tahun 2007) dengan mempergunakan garis kemiskinan Rp 166.697 per bulan. Jumlah ini menurun sebanyak 2,13 juta orang dibandingkan tahun 2006. Apabila ditarik ke tujuan akhirnya, Pemerintah –dalam hal ini Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)- menargetkan pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin hanya berkisar 8,2 persen (dari 16,6 persen pada tahun 2004).
Sehingga diperlukan semacam penyegaran kebijakan penanggulangan kemiskinan, agar lebih tepat dan terarah dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Di Departemen Sosial hal tersebut dikenal dengan strategi reinventing yang terdiri dari 5 (lima) kebijakan. Strategi Reinventing yang diperkenalkan Menteri Sosial pada bulan Februari 2006 merupakan program yang mengarah kepada pembangunan kesejahteraan sosial, yaitu: 1. Reorientasi, 2. Restrukturisasi, 3. Aliansi, 4. Implementasi, 5. Monitoring-Evaluasi.
Reorientasi adalah pemantapan tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih tertuju ke pemberdayaan (empowerment) dibanding pemberian (charity) semata. Restrukturisasi adalah pemilihan struktur organisasi yang diisi oleh orang-orang profesional. Aliansi adalah keberanian kita untuk go-global dengan tidak meninggalkan koordinasi lintas sektor dan lintas regional. Ketiga langkah tersebut diimplementasikan dengan menggali, mempertahankan dan mengembangkan modal sosial, termasuk kearifan lokal. Nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial, wawasan kebangsaan, dan gotong royong, dioptimalkan sebagai modal dasar dalam menciptakan tanggung jawab sosial.
Di lingkup Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, makna reinventing secara teknis diaplikasikan dalam komponen kegiatan dan program. Telah disepakati di level lintas sektor bahwa prinsip penyusunan program adalah terbagi ke dalam 5 (lima) pemberdayaan atau Panca Daya (dulu disebut Panca Bina) yaitu
1. Daya Manusia
Pemberdayaan manusia adalah pembangunan manusia –yang secara semangat adalah untuk “memanusiakan manusia”. Prinsip demikian diarahkan pada upaya mempertahankan dan meningkatkan martabat manusia. Tujuan pembangunan manusia adalah meningkatkan memperkuat visi pembangunan, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan daya saing manusia Indonesia.
2. Daya Usaha
Pemberdayaan usaha adalah pembangunan bidang ekonomi yang ditujukan untuk memberikan peluang yang sama kepada setiap manusia untuk memperoleh akses ekonomi. Prinsip demikian diarahkan pada upaya membangun penguatan sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh setiap manusia. Tujuan pembangunan bidang ekonomi adalah meningkatkan efisiensi sumberdaya ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
4. Daya Lingkungan
Pemberdayaan lingkungan adalah pembangunan prasarana yang ditujukan untuk memberikan bantuan prasarana dan sarana pendukung pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi. Prinsip demikian diarahkan untuk memacu dukungan bagi pelaksanaan pembangunan manusia dan usahanya. Tujuan pembinaan lingkungan adalah menyediakan bantuan basis pendukung bagi pelaksanaan pembangunan manusia dan ekonomi.
5. Daya Lembaga
Pemberdayaan kelembagaan adalah pembangunan lembaga yang ditujukan untuk memperkuat mekanisme pembanugnan yang telah berjalan di masyarakat. Tujuan pembangunan kelembagaan adalah melembagakan proses pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, melalui lembaga pembangunan pemerintah dam lembaga pembangunan milik masyarakat.
6. Daya Keberlanjutan
Pemberdayaan keberlanjutan adalah pembangunan yang memperkuat sistem pengendalian pembangunan agar selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Prinsip demikian diarahkan pada upaya pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan menuju kemajuan dan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan.
Prinsip diatas diterjemahkan dalam kelima komponen kegiatan sebagai berikut:
Pertama Konsep, kedua Advokasi, ketiga Pelatihan, keempat Pendampingan, dan kelima Monitoring evaluasi atau moneva. Konsep meliputi pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Advokasi meliputi publikasi dan diseminasi. Pelatihan adalah training of trainer kepada pendamping program. Sedangkan moneva meliputi pendataan (database), metode geographic information system, dan pasca program.
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial mempunyai kekhususan tupoksi dibanding departemen lain yaitu menangani KAT, terutama KAT di perbatasan antar negara. Tahun depan KAT ini akan diberdayakan melalui program Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS). Ditjen Dayasos selama ini telah berkoordinasi dengan 9 provinsi yang memiliki KAT dan berbatasan langsung dengan negara tetangga. Kesembilan provinsi itu adalah 1. Kalbar, 2. Kaltim, 3. NTT (Kabupaten Belau), 4. Sulawesi Utara (pulau Miangas), 5. Kepulauan Riau, 6. Sulawesi Utara, 7. Maluku, 8. Maluku Utara, dan 9. Papua.
Sedangkan pemberdayaan sosial meliputi pemberdayaan fakir miskin, pemberdayaan keluarga, pemberdayaan kelembagaan sosial masyarakat, pemberdayaan komunitas adat terpencil, serta program kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

4. Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial
Pengurangan kemiskinan di atas tersebut merupakan bagian dari 2 (dua) kebijakan lainnya, yaitu mengurangi pengangguran dari 9,5 persen pada tahun 2003 menjadi 6,7 persen di tahun 2009, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 4,5 persen pada tahun 2003 menjadi 7,2 persen di tahun 2009. Sebesar 1% pertumbuhan ekonomi akan mengurangi pengangguran sebanyak 250 ribu orang. Sedangkan menurut Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (2006) terdapat lebih dari 43 persen kabupaten/kotamadya atau 190 kabupaten/kotamadya dari 440 kabupaten/ kotamadya di Indonesia yang masuk dalam kategori daerah miskin atau tertinggal. Bagian terbesar, sekitar 63 persen, berada di kawasan timur Indonesia, 28 persen di Sumatera, dan 8 persen di Pulau Jawa dan Bali.
Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa sekitar 67 persen atau 120 kabupaten dari 180 kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia merupakan daerah miskin. Depsos c.q Ditjen Pemberdayaan Sosial berupaya menurunkan kesenjangan dengan program BANTUAN LANGSUNG PEMBERDAYAAN SOSIAL atau BLPS, kepada 33 Provinsi dan 99 Kabupaten/ Kota. Dengan BLPS kepada KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang ada maka diharapkan dalam satu Kecamatan terdapat satu pusat pertumbuhan.
Pemberdayaan Sosial di dalam kerangka Struktur Organisasi dan Tata Kerja atau SOTK Departemen Sosial diartikan sebagai proses pemberian penguatan dan kemampuan kepada anggota KUBE dalam mengelola Usaha Ekonomi Produktif yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk tahun 2007, Departemen Sosial akan menyelenggarakan program Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS). Trademark dari program pemberdayaan sosial tersebut adalah keberadaan Manajer Sosial Kecamatan atau disingkat dengan Maskot. Dahulu Depsos memiliki petugas teknis yang langsung berhubungan dengan masyarakat, yaitu Petugas Sosial Kecamatan. Namun keberadaan PSK tersebut tidak sustain atau tak bertahan lama. Stigma pada singkatan PSK diperbaiki kembali dengan adanya MSK ini. MSK ataupun PSK merupakan perangkat Depsos untuk mendampingi masyarakat. Dengan BLPS maka kami di Depsos berupaya menyegarkan kembali peran pendamping melalui training of trainer kepada Karang Taruna, Petugas Sosial Kecamatan, Organisasi Sosial, dan Pekerja Sosial Masyarakat dalam menyukseskan program Pemerintah di daerah. Tujuannya adalah membuat wilayah Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan, seperti yang telah.
Ditjen Dayasos memandang walaubagaimanapun program tetap membutuhkan peran Pendamping. Pendamping mempunyai tugas utama untuk ‘mengingatkan’. Kita hanya mengingatkan saja –karena masyarakat merupakan aktor utama pembangunan. Pendamping merupakan bagian dari kelompok pembaharu yang mengingatkan agar masyarakat miskin tidak boleh selalu tergantung kepada program pemerintah. Dia harus berdaya, kudu mampu dan mulai berkenalan dengan pasar, itulah kemudian peran pendamping yang advance yaitu Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB).
Melalui BLPS tersebut Departemen Sosial pada tahun 2007 ini berupaya menyegarkan kembali peran pendamping melalui training of trainer kepada Karang Taruna, Petugas Sosial Kecamatan, Organisasi Sosial, dan Pekerja Sosial Masyarakat dalam menyukseskan program Pemerintah di daerah. Tujuannya adalah membuat wilayah Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan. Pendamping berlabel Manager Sosial Kecamatan atau Maskot nantinya akan mendampingi Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang akan diterjunkan di 198 kecamatan. Satu kecamatan bisa memilih 2-5 desa dan satu desa dapat memilih 10 KUBE dengan anggota masing-masing 10 orang.

3. Penutup
APARATUR pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam menyelesaikan seluruh permasalahan berbangsa dan bernegara. Penanggulangan kemiskinan bukan hanya merupakan monopoli pemerintah dengan berbagai departemen sektoralnya, namun kemiskinan merupakan permasalahan multidimensi yang menjadi tanggung jawab seluruh unsur bangsa Indonesia. Pemerintah tidak akan mampu menjadi pemain tunggal dalam menanggulangi kemiskinan, karena memiliki berbagai keterbatasan, baik dalam aspek manajemen, organisasi, maupun keuangan. Penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan secara menyeluruh (lintas sektor dan lintas regional) dengan melibatkan forum lintas pelaku. Sementara itu, arah penanggulangan kemiskinan ditujukan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan.
Maka upaya untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya ekonomi Indonesia serta mengurangi kemiskinan –dalam kerangka Ekonomi Pancasila- adalah “Bersama Membangun Bangsa”. Bekerjasama dengan BUMN dan swasta maka kita perlu mengoptimalkan CSR atau corporate social responsibility dalam upaya mengembalikan pusat ekonomi kepada rakyat: pembangunan dari-oleh-untuk Rakyat di Daerah. Lebih tepatnya Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan. Strateginya adalah pemberdayaan masyarakat, langkahnya melalui Kutabung. Mari bekerja, raih keuntungan, dan sisihkan untuk menabung –demi masa depan yang lebih baik.
Kondisi yang dinginkan adalah paradigma pemberdayaan yang menjadi ‘ruh’ penanggulangan kemiskinan, kemudian terkikisnya ego sektoral, dan koordinasi yang rapi lintas sektor dan lintas regional. Sehingga tidak saatnya lagi kita hanya ‘memberi’ kepada orang miskin, tapi harus kita berdayakan. Beri mereka kepercayaan untuk mengelola modal dalam rangka mengembangkan usaha. Beri kesempatan untuk berkompetisi di pasar, dan bergaul dengan indah bersama perbankan. Perlakukan mereka secara sama dalam kesempatan berusaha.
Makalah ini disampaikan dalam rangka Lokakarya Peranan Aparatur Negara dalam Pemberdayaan Masyarakat di Kementerian Negara PAN, Jakarta, 15 November 2007.

CSR dan Pemberdayaan Sosial

PADA saat tulisan ini disusun, kami di Departemen Sosial tengah mempersiapkan acara Deklarasi Konsorsium Corporate Social Responsibility (CSR) pada tanggal 26 Februari 2008 di Gedung Aneka Bakti, Depsos. Di Depsos tepatnya Ditjen Pemberdayaan Sosial, terdapat Direktorat Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat, yang salahsatu Sub Direktoratnya adalah Kerjasama Kelembagaan dan Dunia Usaha. Para pemangku jabatan di struktur tersebut yang merumuskan bentuk dan fungsi kerjasama dalam rangka optimalitas CSR. Para pembaca yang budiman, salahsatu upaya penanganan kemiskinan melalui peningkatan peran serta masyarakat dan pemanfaatan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang dilaksanakan melalui kegiatan dalam konsepsi penyelenggaraan tanggung jawab sosial dan kerjasama kemitraan dengan Konsorsium CSR ini nanti kita harapkan dapat memfasilitasi dan membuat acuan-acuan dalam rangka pelaksanaaan CSR yang baik.
Bahwasanya telah lama dipahami kerjasama kemitraan yang ideal adalah tripartit antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Dunia usaha sebagai Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial merupakan modal sosial yang strategis dalam proses pembangunan Kesejahteraan Sosial, melalui program Tanggung Jawab Sosialnya atau Corporate Social Responsibility. Kerjasama kemitraan dapat dipandang sebagai mitra yang paling efektif dalam rangka menyelesaikan masalah sosial. Dengan daya dukung/modal yang sangat memadai baik sumber daya manusia, sumber dana, sarana dan prasarana, lingkungan dan modal sosial atau social capital, semua ini dapat memperkuat ketahanan sosial masyarakat, sehingga diharapkan mampu menghadapi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini.
Perkembangan, sebaran dan kompleksitas Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, baik yang bersifat konvensional maupun kontemporer saat ini semakin meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Kenyataan ini tidak mungkin hanya ditangani oleh pemerintah baik Departemen Sosial maupun Dinas instansi Sosial dan Instansi terkait lainnya, namun diperlukan keikut sertaan seluruh lapisan masyarakat. Oleh sebab itu Kami mengharapkan penyelesaian masalah Sosial tersebut terintegrasi dalam Kebijakan Perusahaan.
Usaha kesejahteraan sosial pada hakekatnya merupakan fungsi pemerintah dan sekaligus fungsi masyarakat. Pemerintah dan masyarakat secara sosial bersama-sama mempunyai kesempatan dan bertanggung jawab terhadap upaya peningkatan taraf kesejahteraan Masyarakat, khususnya bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau mereka yang kurang beruntung. Apabila hal ini dikaitkan dengan strategi pembangunan nasional saat ini, maka masyarakat ditempatkan sebagai strategi utama dalam penyelenggaraan Pembangunan Kesejahteraan Sosial, sedangkan pemerintah sebagai penentu kebijakan.
Sidang pembaca yang berbahagia, mengutip pidato Bapak Menteri Sosial, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka penanganan kemiskinan yaitu, 1) pentingnya persatuan dan kesatuan dilakukan pada setiap aspek kehidupan dalam masyarakat, 2) pendekatan antar kelompok melalui pendekatan multi profesi dan multi stakeholders, 3) kebutuhan adanya Pekerja Sosial yang serba bisa dan mampu bekerja pada berbagai pekerjaan yang berbeda, 4) adanya pemahaman pada budaya masyarakat lokal, 5) adanya prinsip keberlanjutan dan kemandirian.
Jika kita tilik dari data BPS disebutkan bahwa jumlah perusahaan di Indonesia meningkat sebanyak 3,32% per tahunnya sejak tahun 1996-2006 hingga mencapai jumlah sebanyak 22,7 juta. Saya mengutip sekelebat hitungan di sebuah web, jika diasumsikan 22,7 juta perusahaan ini menyisihkan dana sebesar Rp. 5000/ hari maka terkumpul Rp 110 milyar/hari. Jumlah tersebut bila kita bandingkan dengan jumlah subsidi masyarakat miskin maka perusahaan di Indonesia mampu memberikan kontribusi sebesar 31,33%.
Skema program penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia selama ini mencakup berbagai sektor yang memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk dan kelompok sasaran. Adalah tantangan ketika program-program tersebut dilakukan sebagai komitmen jangka panjang perusahaan dan adanya strukturisasi skema program yang diarahkan untuk mengatasi kelangkaan berbagai faktor penyebab kemiskinan di Indonesia melalui program-program yang memberikan stimulasi bagi masyarakat. Tidak hanya program kemitraan UKM seperti yang di arahkan oleh Kementrian BUMN atau program charity dan filantropy yang menjadi primadona perusahaan Indonesia. Perlu adanya integrasi komitmen perusahaan di Indonesia untuk mengarahkan SCR pada pengentasan kemiskinan sebagai tujuan kolektif yang dapat menjadi keunikan karakteristik tanggung jawab sosial perusahaan di negara ini.
Bila semua perusahaan menjalankan praktek Corporate Social Responsibility dengan baik, sebagian masalah yang membelit bangsa ini akan terselesaikan. Kemiskinan, minimnya pelayanan kesehatan, pendidikan buruk, pengangguran, tak akan dibiarkan bercokol begitu saja. Perusahaan yang berdiri di tengah-tengah masyarakat serba kekurangan itu akan terpanggil untuk membantu menyelesaikannya. CSR, merupakan konsep yang menganjurkan perusahaan tidak semata-mata mencari laba. Mereka diminta untuk memperhatikan semua pihak yang berhubungan dengannya.
“Semua pihak’ di sini adalah para pemangku kepentingan, bukan hanya lingkungan internal seperti karyawannya, melainkan semua yang bisa terpengaruh oleh perilaku perusahaan, di antaranya: pelanggan, pemasok, mitra kerja, organisasi masyarakat, lingkungan, pemerintah.
Penerapan praktik CSR membuat perusahaan harus menghitung dengan cermat segala dampak yang mereka lakukan. Di masa lalu perusahaan sering mengabaikan begitu saja persoalan lingkungan dan masalah kemasyarakatan lainnya, dengan dalih tugas perusahaan adalah mencari laba. Sedang masalah lingkungan menjadi kewajiban pemerintah, yang sudah mendapatkan pajak, royalti, serta setoran lainnya dari berbagai jalur.
Namun, seiring perkembangan pola pikir para ekonom dan usahawan, sikap minimalis seperti itu sekarang tidak populer lagi. Para pengusaha seolah berlomba-lomba bertindak baik melebihi kewajibannya. Perilaku terpuji ini akibatnya positif. Perusahaan mendapat citra bagus, hal yang amat penting dari sisi promosi. Masyarakat juga diuntungkan, karena mereka dibantu untuk menuju derajat hidup lebih tinggi.
CSR memang bukan sekadar charity, aksi welas asih. Di dalamnya juga terdapat kalkulasi bisnis, yang bisa menguntungkan kedua pihak. Kita bisa mengambil contoh pelaksanaan CSR oleh berbagai perusahaan dari kasus banjir di Jakarta, setahun yang lalu –di bulan Februari 2007. Genangan bah melanda permukiman, jalan, industri, perumahan, serta berbagai fasilitas umum. Banjir itu melumpuhkan sebagian besar perekonomian di Jakarta. Industri tutup. Telekomunikasi terganggu. Kehidupan ekonomi terganggu, karena konsumen akhir, yakni rakyat, tengah berduka. Pasokan barang juga tidak berjalan karena jalanan terendam banjir.
Kini pemerintah masih menimbang-nimbang mengenai cara untuk memacu lebih kencang pelaksanaan CSR. Hal itu diperlukan, untuk mendorong agar perusahaan bersama para pemangku kepentingan tumbuh bersama secara berkelanjutan. Karena beban untuk meningkatkan harkat hidup masyarakat bukan hanya terletak di swasta saja atau pemerintah saja. Melainkan pada pundak kita bersama-sama.∆TULISAN ini pernah dimuat sebagai kolom RENUNGAN di majalah Komite edisi Februari akhir, di tahun 2008

Idealisme Menuju Indonesia Emas

PADA renungan kali ini saya akan menceritakan sekelumit kesan ketika diberi amanah untuk menjadi Ketua Panitia Pelatihan Emotional Spiritual Quotient atau ESQ dari tanggal 13 hingga 15 Maret 2008. Bertempat di Gedung PLN di jalan Trunojoyo Blok M, acara Traning ESQ Indonesia Emas 2 terselenggara dengan sukses. Traning ESQ Indonesia Emas ini merupakan yang kedua setelah pelatihan pada tahun 2005 di tempat yang sama.
Event tersebut tergolong sangat sukses, apalagi dengan adanya ceramah dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault, dan kesan peserta dari bapak Oetojo Oesman yang merupakan mantan Menteri Kehakiman pada era Orde Baru. Bapak Adhyaksa sendiri merupakan alumni training ESQ Eksekutif Nasional Angkatan ke-67, pada bulan Pebruari 2008. Sebelum hari-h bapak Menteri juga mengikuti serangkaian acara persiapan. Bahkan setelah mendarat dari Libya, beliau sempatkan mengikuti rapat persiapan panitia di Senayan.
Menurut Menpora bangsa Indonesia kini mulai kehilangan hikmah dan kebijaksanaan. Beliau yakin ESQ bisa menciptakan manusia yang memiliki hikmah dan kebijaksanaan. Kata-katanya sangat menyentuh hati yaitu ''ESQ ini bagaikan setitik air di lautan, seperti tidak berarti apa-apa, namun bisa menciptakan ombak besar”. Beliau yakin bahwa upaya ESQ dalam mencerdaskan kehidupan bangsa terutama kecerdasan emosional dan spiritual merupakan upaya yang luar biasa. Pak Adhyaksa juga mengharapkan bahwa ke depannya, training ESQ bisa menggantikan orientasi program studi (atau dikenal dengan nama: Opspek) di sekolah dan perguruan tinggi. Beliau berencana akan mengusulkan ini ke menteri pendidikan nasional. Sedangkan pak Oetojo Oesman menyatakan bahwa ESQ semacam ini bisa menjadi alternatif setelah ’dihentikannya’ Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Inti dari Pancasila adalah sila pertama, dan itulah yang ditinggalkan Bangsa ini selama ini –terbukti dengan fenomena kolusi dan nepotisme.
Pelatihan semacam ini memang diperlukan karena pejabat sebagai abdi negara harus berbuat semaksimal mungkin untuk negara dan jangan pernah berharap untuk memperkaya diri sendiri. Dengan pelatihan semacam ini bangsa Indonesia diharapkan bisa menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Menurut pimpinan ESQ adinda Ary Ginanjar, Indonesia membutuhkan perubahan dan perubahan itu harus dimulai oleh seluruh unsur masyarakat, termasuk pejabat negara.Untuk itu, dia menyebut tujuh nilai dasar, yakni jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerja sama, adil, dan peduli sebagai budaya bangsa ke depan yang harus dikembangkan. Mas Ary menyatakan yakin bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan mampu bangkit dari keterpurukan jika semua pihak menjadikan moral sebagai "panglima"-nya. Katanya, "Semoga training Indonesia Emas ini menjadi langkah awal menuju `Indonesia Bermoral Emas`."
Alhamdullilah para pembaca yang berbahagia, saya dan pak Ary Ginanjar Agustian telah menyelesaikan sebuah buku. Pada acara di PLN itu pula kami meluncurkan buku karya bersama berjudul ”Mencintai Bangsa dan Negara: Pegangan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara”. Buku ini merupakan perenungan kami terhadap makna wawasan kebangsaan. Dulu sewaktu ditugaskan di Sekretariat Wapres, saya bersama rekan di Kedeputian Kemanusiaan, Kewilayahan, dan Kebangsaan telah merumuskan Himpunan Modul Sosialisasi Wawasan Kebangsaan. Buku karangan saya dan mas Ary tersebut merupakan penyempurnaan dan penambahan dengan berbagai informasi dan kondisi riil terkini.
*****
KITA tutup dengan seloroh. Sewaktu mengikuti acara persiapan, pak Adhyaksa mengingatkan bagaimana tidak bisa apa-apanya kita nanti waktu mati. Dia ceritakan bahwa pada suatu saat dia tidak bisa ’menyelamatkan’ makam bapak mertuanya dari injakan seorang anak kecil. Saat dia tanya dari mana asal anak itu, dia jawab bahwa dirinya masih SD, dari Cirebon... dan belum bisa baca tulis. Pak Menteri trenyuh, bapak mertuanya yang Professor Doktor itu tanah kuburannya diinjak-injak sama anak sekolah dasar. Tidak ada yang bisa mencegahnya.
Guyonan berikutnya dari pak Oetojo Oesman. Saat diberi mike untuk memberikan sambutan, secara ’serius tapi santai’ beliau menyatakan bahwa merupakan kehormatan bisa mengikuti training ini. Padahal –menurut pak Oetojo sendiri- mengibaratkan orang yang sudah sepuh seperti dirinya adalah identik dengan penyakit 5B. Yaitu pertama beser, kedua botak, kemudian buyuten, terus budek, dan terakhir ....bego.
Kemudian ketika saya didaulat untuk menutup acara, saya sampaikan bagaimana terkesannya saya dengan pak Oetojo. Karena beliau menugaskan saya dan pak Adang Darajatun (yang berkenan datang pada waktu acara penutupan tersebut) untuk mengikuti kursus atau penataran P4 Manggala. Kami merupakan peserta pelatihan P4 terakhir di era reformasi dulu. Mengapa tidak diteruskan lagi, karena ...peserta diklat tersebut lebih pintar daripada guru-gurunya. Sidang pembaca yang terhormat, semoga bermanfaat ⌂
RENUNGAN ini dimuat di majalah KOMITE edisi awal April 2008