Senin, 28 Juli 2008

PKH dan Mainstreaming Gender

1. Pendahuluan
SEMUA orang normal yang hidup di alam ini pasti ingin sejahtera. Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan cita-cita ideal untuk mencapai sejahtera dalam kerangka berbangsa dan bernegara? Dengan pembangunan, development. Pemerintah Indonesia semenjak kemerdekaan telah selalu dan terus berupaya melakukan pembangunan. Bahkan para Bapak Pendiri Bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 menyebut bahwa tujuan berdiri Republik ini adalah untuk: Melindungi segenap warga negara Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Selengkapnya adalah sebagai berikut ”.....membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Kesemuanya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Ditilik dari esensi dan muatannya, isi Pembukaan UUD 45 tersebut sangat sempurna pada eranya. Fungsi Negara tersebut tidak jauh berbeda dengan teori kebijakan publik seperti yang dirumuskan Musgrave melalui bukunya Public Finance: Theory and Practice, 1973. Menurut Musgrave fungsi utama pemerintah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara berkenaan dengan alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi meliputi aspek pengelolaan alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan di dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.
Sedangkan di dunia internasional, kesepakatan Millennium Development Goals atau MDGs dideklarasikan pada tahun 2000 yang intinya juga tidak berbeda dengan Pembukaan UUD 45. Dalam deklarasi tersebut, diharapkan seluruh negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.
Nilai dasar 1-2 MDGs yang berbunyi Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, dan Mencapai pendidikan dasar bagi semua, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 yang cvrbunyi: mewujudkan kesejahteraan umum dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Nilai dasar ke 3-6: mendorong kesetaraan gender, menurunkan angka kematian bayi dan meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, sesuai dengan pembukaan UUD 45 yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia. Sementara nilai dasar ke 7-8 melestarikan lingkungan, mengembangkan kemitraan global, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 yang berbunyi ”menjaga dan melaksanakan ketertiban dunia”.
Kepala Negara beserta jajarannya menerjemahkan peran Negara dalam Pembukaan UUD 45 tersebut dalam Visi dan Misi Presiden/ Wakil Presiden. Visi dan Misi tersebut diterjemahkan lebih lanjut dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah untuk skala 5 tahunan dan kemudian Rencana Kerja Pemerintah untuk 1 tahun. Inti dari dokumen Pemerintah tersebut adalah pelaksanaan pembangunan, yang kemudian menjadi panduan bagi segenap komponen bangsa untuk mencapai target-target yang termaktub di dalamnya. Selanjutnya kita mengenal triple track strategy –yang berisi target untuk pengurangan pengangguran, penanggulangan kemiskinan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Turunan dari triple tracks tersebut adalah program-program penanggulangan kemiskinan, yang kali ini –sesuai permintaan Panitia- akan dibahas kaitan antara Program Keluarga Harapan (PKH) dengan keadilan gender. Makalah ini akan berupaya membahas permasalahan tersebut.

1. Realita Pembangunan
DARI bagian di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan permasalahan utama pembangunan. Publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007 adalah sejumlah 37,17 juta orang atau 16,58% (menurun sebanyak 2,13 juta orang atau 17,75% dari total penduduk). Tentunya hal tersebut mengindikasikan perkembangan pembangunan yang menggembirakan, ditambah lagi dengan selalu meningkatnya Human Development Index (HDI, atau Indeks Pembangunan Manusia) yang pada tahun 2004 menempati urutan ken-108 dari 177 negara.
Dari laporan Human Development Report 2006, didapatkan juga berbagai keberhasilan pembangunan yang menarik. Seperti pada tolok ukur Indikator Kesetaraan Gender, bahwa ternyata Gender-related development index Indonesia menempati urutan 81 dengan nilai 0,704 dari 177 negara. Kemudian usia harapan hidup perempuan Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan kaum lelakinya (69,2 tahun > 65,3 tahun). Beberapa indikator lain memang perlu diperbaiki seperti tingkat melek huruf perempuan sebesar 86,8% yang lebih rendah dibandingkan kaum prianya yang mencapai 94%. Partisipasi sekolah kaum hawa sebesar 67% sedikit lebih rendah dibading lelaki yang sebanyak 70%.
Keterwakilan perempuan Indonesia di aras politik meski masih rendah namun menunjukkan perkembangan yang berarti. Kursi perempuan di parlemen sebanyak 11,3%, kemudian pada tingkat menteri sebanyak 10,8%. Dengan demikian keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan memang perlu mengingat jumlah perempuan yang lebih besar (55%) sementara dari aktivitas ekonomi dan politik baru separuh (50,7%) dari kaum adamnya.
Diperlukan pemberdayaan terhadap kaum perempuan. Proses ‘pemberdayaan’ dalam ekonomi identik dengan perubahan struktural. Dalam teks-teks ekonomi beberapa ahli yang menekankan pentingnya perubahan struktural misalnya Rostow (5 tahap), Chennery (3 tahap), dan Harrod-Domar (2 tahap). Pada pembahasan di sub-bab selanjutnya, Departemen Sosial menganalogikan perubahan struktur ini dengan semangat Kerja-Untung-Tabung.
Ahli lainnya misalnya ekonom-humanis Amartya Kumar Sen menyatakan bahwa pembangunan ekonomi harus diterjemahkan sebagai proses peningkatan derajat kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya sendiri dalam pembangunan. Pendapatnya didasarkan atas pengamatan bahwa permasalahan utama dari negara berkembang lebih mengacu pada berkurangnya makna kehidupan, daripada rendahnya penda-patan. Dengan demikian strategi yang tepat untuk mengatasi hal ini adalah peningkatan "kebebasan" dan "kemampuan" umat manusia untuk memilih dengan nilai dan dasar yang diyakini itu.
Pembangunan dari bawah tidak berarti peran pemerintah hilang, melainkan harus tetap memberikan ruang bagi intervensi dari atas atau pemerintah. Intervensi pemerintah makin dapat dibenarkan apabila kondisi pasar atau ekonomi telah sedemikian terdistorsi, sehingga perbaikan secara alami sulit diharapkan seperti kata Stiglitz (1988).

2. Program-program Pemberdayaan
KEMISKINAN bukanlah karena masalah ekonomi semata namun memiliki dimensi permasalahan mendasar dan menyeluruh termasuk didalamnya dimensi psikologis, dimensi sosial, dan dimensi fisik –kecacatan. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan musuh yang harus dihadapi bersama, yang melibatkan semua pihak dan jajaran karena bukan hanya tanggung jawab Pemerintah –tetapi merupakan tanggung jawab kita bersama seluruh komponen bangsa, termasuk Swasta, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat.
Pemerintah telah merealisasikan pembangunan salahsatunya melalui dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Sejak awal pemerintah telah memulai berbagai program sektoral yang dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1974-1988 di sektor pertanian dikenal program Bimas, Inmas, KUK dan transmigrasi, kemudian di sektor perindustrian dengan program padat karya. Selain itu di sektor jasa melalui fasilitasi kredit investasi kecil dan kredit modal kerja permanen, dan di sektor pembangunan daerah melalui berbagai program Inpres termasuk Inpres Desa, Provinsi, Inpres Pembangunan Jalan, dan Inpres Irigasi.
Tahun 1988-1998 program Pemerintah terus dimantapkan dengan pengembangan Kawasan Terpadu melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai program ad-hoc penanggulangan kemiskinan pasca krisis (misalnya Padat Karya, dan Program Dalam rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi /PDMDKE).
Pada tahun 1998-2006, upaya menghadapi krisis masih berlanjut dengan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai sektor, meliputi: Program Pengembangan Kecamatan atau PPK, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan atau P2KP, P2MPD, WSSLIC, KPEL dan Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Sejalan dengan pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi dan sesuai aspirasi masyarakat maka program penanggulangan kemiskinan terus dimantapkan. Mulai tahun anggaran 2007 program penanggulangan kemiskinan dikonsolidasikan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sedangkan perbaikan terhadap program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diupayakan pada tahun ini melalui Program Keluarga Harapan (PKH).
Dalam rangka mendukung PNPM, Departemen Sosial pada tahun ini menyelenggarakan program Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) yang ditujukan langsung pada fakir miskin usia produktif. BLPS akan memberdayakan masyarakat miskin yang berkelompok membentuk KUBE (Kelompok Usaha Bersama), yang dialokasikan kepada 99 Kabupaten. Dari 99 Kabupaten itu dipilih masing-masing Kabupaten minimal 2 Kecamatan. Dari masing-masing Kecamatan dipilih 5 Desa, dan dalam satu desa dipilih minimal 2 KUBE atau Kelompok Usaha Bersama.
Upaya Departemen Sosial tersebut diharapkan mendukung Rencana Kerja Pemerintah untuk 2008 nanti. Kita harapkan pada tahun 2008, penciptaan lapangan kerja baru sebesar 2,3 juta orang, investasi meningkat sebesar 15,4%, industri pengolahan non-migas tumbuh sebesar 11%, devisa dari sektor pariwisata meningkat sebesar 15% dibandingkan tahun 2007, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai 6,6%.
Dalam BLPS dikenal pendamping yang terdiri dari Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, dan Organisasi Sosial. Mereka akan dilatih dan didik untuk menjadi Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). KKMB adalah menjembatani hubungan antara perbankan dengan UMKM, yang berarti pula melakukan pendampingan kepada UMKM untuk seluruh aspek kelayakan usaha terutama aspek perbankan dan keuangan yaitu agar KKMB membantu mengemas potensi UMKM menjadi lebih layak dibiayai bank menjadi feasible, bankable, dan possible. Dengan menjadi pendamping bagi masyarakat miskin yang tergabung dalam kelompok usaha mikro dan kecil maka mereka akan menjadi bagian kaum pembaharu. Kaum yang membawa pencerahan untuk membawa transformasi bangsa dalam mengurangi kemiskinan.
PKH sendiri merupakan bentuk dari conditional cash transfer (CCT) atau bantuan tunai bersyarat (BTB) –menggantikan bantuan langsung tunai (BLT) yang diselenggarakan sejak tahun 1995. Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses anakn usia sekolah yang masih berada di luar sistem sekolah, sehingga meningkatkan tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah. PKH memiliki tenaga pendamping lokal sebanyak 1300 orang, dengan target 7 provinsi, 48 kabupaten, 348 kecamatan, 500.00 KK dengan dana bantuan berkisar Rp 600.000,00 sampai Rp 2 juta per KK. Dengan demikian anggaran yang terserap untuk program ini sebesar Rp 1 triliun. Ditargetkan pada tahun 2008 sebanyak 1,5 juta KK sangat miskin menjadi targetnya.

3. Peran Departemen Sosial
SAAT ini kita menghadapi daerah yang lebih dari 43 persen kabupaten/kota atau 190 kabupaten/kota dari 440 kabupaten/ kota di Indonesia masuk dalam kategori daerah tertinggal. Sebagian besar, sekitar 63 persen, di antaranya ada di kawasan timur Indonesia, sebanyak 28 persen di Sumatera, dan hanya 8 persen yang berada di Pulau Jawa dan Bali. Itu berarti 67 persen atau 120 kabupaten dari 180 kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia adalah daerah tertinggal.
Penanggulangan kemiskinan di era global ditenggarai keberadaan komitmen bersama seluruh dunia untuk mengatasinya. Kondisi kemiskinan membuat daya saing nasional Indonesia melemah terhadap dunia internasional. Daya saing Indonesia yang melemah mengakibatkan turunnya citra bangsa. Oleh karenya pembangunan sebagai upaya untuk penanggulangan kemiskinan harus mampu mengangkat harkat martabat bangsa.
Indonesia telah memulai upaya menurunkan kemiskinan semenjak tahun 70-an melalui kebijakan pembangunan reguler sektoral dan regional. Namun hingga saat ini ternyata belum mampu menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan. Sepertinya kita perlu memulai sesuatu yang baru sehingga semakin mempercepat upaya pengurangan penduduk miskin. Barangkali kita memerlukan upaya reinventing terhadap pembangunan –lebih tepatnya reinventing pembangunan kesejahteraan sosial. Di Departemen Sosial terdapat 5 (lima) arah Reinventing dalam hal kelembagaan dan program dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial seperti yang telah dinyatakan oleh Menteri Sosial pada bulan Februari 2006, yaitu: pertama Reorientasi, kedua Restrukturisasi, ketiga Aliansi, keempat Implementasi, dan kelima Monitoring-Evaluasi.
Kelima strategi tersebut berusaha diwujudkan oleh jajaran Depsos –baik di tingkat Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, dan 3 (tiga) Direktorat Jenderal serta Badan Pendidikan dan Penelitian. Ketiga direktorat mewakili upaya dalam penanggulangan kemiskinan –yakni mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin, dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penambahan produktifitas.
Kedua upaya di atas diarahkan kepada kelompok sasaran 15-60 tahun dengan meningkatkan produktifitas masyarakat terutama ditujukan kepada kelompok miskin usia produktif (15-60 tahun) sebagai tugas Ditjen Pemberdayaan Sosial. Sedangkan pengurangan beban pengeluaran ditujukan kepada usia belum-produktif (di bawah 15 tahun) sebagai tugas Ditjen Pelayanan Rehabilitasi Sosial, dan pasca-produktif (di atas 60 tahun) sebagai tugas Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial. Diperlukan aliansi untuk meningkatkan koordinasi, kolaborasi dan jejaring kerja di intern Depsos. Dalam hal ini Ditjen Pemberdayaan Sosial, Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial serta Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial bertindak sebagai ujung tombaknya. Difasilitasi oleh Sekretariat Jenderal serta diawasi kinerja dan akuntablitasnya oleh Inspektorat Jenderal. Kemudian dievaluasi, dinilai dampaknya serta dimonitor keberhasilan kinerjanya oleh Badan Pendidikan dan Penelitian, yang mendapatkan saran masukan dari Staf Ahli.
Sedangkan Pemberdayaan Sosial meliputi pemberdayaan fakir miskin, pemberdayaan keluarga, pemberdayaan kelembagaan sosial masyarakat, pemberdayaan komunitas adat terpencil, serta program kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.
Pemberdayaan dapat dilakukan dengan menggali kemampuan sasaran pelayanan, mendayagunakan potensi dan sumber yang tersedia di masyarakat dengan memberikan pelatihan ketrampilan, pendampingan dan bimbingan sosial serta pengembangan usaha ekonomi produktif dan usaha kesejahteraan sosial. Semakin lama semakin disadari bahwa program penanggulangan kemiskinan tidak boleh hanya charity semata, namun selanjutnya harus diikuti dengan langkah pemberdayaan dalam penanganan kemiskinan guna memperkuat keberfungsian sosial seseorang. Disini kami menekankan bahwa ‘dari belas kasihan menjadi kasih sayang’.
Slogan yang ditekankan dalam aspek pemberdayaan sosial adalah “Kerja Untung Tabung” atau Kutabung. Bahwa bekerja akan mendatangkan keuntungan (profit) yang kemudian disimpan (saving) untuk kehidupan mendatang. Dengan Kutabung akan memunculkan warga yang mandiri. Hal ini relevan dengan slogan triple track Kabinet Indonesia yaitu employment, income, dan growth. Dengan semangat triple-track tersebut maka Pemerintah mempunyai target untuk mengurangi pengangguran, penanggulangan kemiskinan, dan memacu pertumbuhan.

4. Penutup
RASANYA akan terlalu ambisius dan berlebihan kalau menyatakan bahwa PKH bertujuan utama pada keadilan gender. Tetapi setidaknya dapat dilihat aura pemberdayaan pada perempuan yang berimbas pada kesetaraan gender di program tersebut. PKH merupakan perbaikan dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan relatif PKH lebih berperspektif gender dibandingkan BLT. PKH memiliki syarat bahwa kelompok sasaran berupa rumah tangga miskin (RTM) mempunyai anak usia sekolah, bukan hanya individu yang berdiri sendiri dan dikelompokkan dalam usia produktif.
Dalam skema yang lebih besar, PKH merupakan bagian integratif dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau disingkat PNPM. Dalam PNPM kita mengenal PPK dan P2KP yang sasarannya adalah poorest of the poor. Kemudian kita kenal juga Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial atau BLPS yang sasarannya adalah economically active poor atau miskin produktif. Selayaknyalah kita menempatkan makna keadilan gender dalam perspektif yang lebih luas: program pemberdayaan masyarakat. Kita sangat berharap pada peran pendamping –yang di dalam program BLPS disebut dengan Manager Sosial Kecamatan atau Maskot- untuk menyuarakan aspek keadilan dan kesetaraan. Pelatihan bagi para pendamping menyangkut pula aspek emotional spiritual quotient sehingga hakekat kemanusiaan tidak dilupakan. “Surga ada ditelapak kaki ibu” merupakan salahsatu semboyan yang ditekankan pada para pendamping tersebut. Mereka mempunyai tugas untuk ‘mengingatkan’, ya kita hanya mengingatkan, karena masyarakat miskinlah pelaku utama pemberdayaan sosial.
Sehingga logika antara masyarakat miskin sebagai individu dalam berbangsa dan bernegara adalah bukan Negara yang membentuk individu tetapi sebaliknya individu-individulah yang membentuk Negara. Negara dibentuk oleh keinginan warga-warga yang mandiri, bukan negara yang menghasilkan warga negara –tetapi sebaliknya. Urutannya adalah sebagai berikut: pribadi-pribadi miskin nantinya terentaskan dan menjadi mandiri, maka akan muncul kebutuhan untuk membentuk jaringan organisasi sosial, untuk memfasilitasi dan menjaga harmonisasi kebutuhan produksi dan konsumsi banyak orang. Dalam aras kebutuhan ekonomi, terbentuk organisasi yang bernama koperasi. Sedangkan urusan sosial, maka mereka akan membentuk kerukunan dari rukun tetangga, rukun warga, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara.◄ MAKALAH ini pernah disampaikan pada acara pada “Temu Nasional Prestasi Perempuan Indonesia” di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2007 dengan judul "Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pengembangan “Program Keluarga Harapan”"

Berdayakan Petani or Beri Subsidi

Jakarta, Kompas- RENCANA pemerintah untuk mencabut subsidi pupuk dan mengalihkannya ke bentuk subsidi lain tidak mudah dilakukan. Pencabutan subsidi itu akan berdampak pada kenaikan harga pupuk sehingga akan memberatkan petani. Untuk itu, perlu dilakukan kajian yang mendalam agar kebijakan yang dipilih tidak memberatkan petani. Apa pun kebijakan yang dipilih, prioritas produsen pupuk hendaknya mendahulukan kebutuhan di dalam negeri. Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Benny Wahyudi mengungkapkan hal itu di sela- sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Selasa (31/8). Dikatakan, pihaknya masih mengkaji berbagai hal terkait dengan subsidi pupuk, termasuk dugaan subsidi yang tidak sampai sasaran. Benny mengatakan hal itu menanggapi keluhan petani soal tak efektifnya kebijakan subsidi pupuk serta rencana pemerintah untuk mengganti subsidi pupuk dengan subsidi pembelian gabah, seperti diungkapkan Deputi Menko Perekonomian Dipo Alam, pekan lalu. "Kita masih membicarakan hal itu, persoalan ini tidak mudah. Semua harus dikaji," kata Benny. Ia menyebutkan, salah satu dampak pencabutan adalah harga pupuk akan naik, menyesuaikan harga internasional. Bila ini terjadi, akan memberatkan petani. Pengkajian lainnya yang harus dilakukan adalah soal aturan ekspor pupuk dan juga harga eceran. Bila subsidi dicabut, harus dipikirkan kebijakan cadangan yang bisa menolong petani. Misalnya, penetapan harga penjualan pupuk agar harga pupuk tidak melonjak. Untuk itu, harus dihitung ongkos produksi dan marjin yang diterima oleh pabrik pupuk. Benny sendiri mengatakan, hingga sekarang belum ada rencana pencabutan subsidi pupuk, termasuk pengalihannya. Ia mengatakan, apa pun yang terjadi, kebutuhan pupuk dalam negeri tetap menjadi prioritas. Hingga saat ini produsen pupuk tidak boleh menjual pupuk sama dengan harga internasional.

TIDAK BERDAYAKAN. Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Gunawan Sumodiningrat berpendapat, subsidi untuk pupuk maupun subsidi untuk pembelian gabah pada dasarnya sama, tidak memberdayakan petani. "Kebijakan subsidi sekarang ini tidak pas. Subsidi seharusnya bukan barang, tetapi keberdayaan petani," katanya.

Dijelaskan, subsidi seharusnya diberikan langsung kepada petani untuk memberdayakan petani, yaitu dengan pendampingan sejak mulai dari proses produksi, pengelolaan hasil, pemasaran, hingga pengelolaan keuangannya. "Sekarang itu yang tidak ada sehingga petani tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya saingnya," ujarnya.

Gunawan menegaskan tidak perlu risau bahwa dengan dihapusnya subsidi pupuk, maka produksi padi akan menurun. Pupuk bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi. Bila petani mendapat pendampingan, dan mendapat informasi yang luas sehingga mengetahui alternatif yang ada untuk meningkatkan produksi, maka ketergantungan pada pupuk akan dapat dihilangkan.

"Untuk meningkatkan produksi, bukan hanya pupuk, ada banyak cara, mulai dari benih, pengolahan lahan, irigasi, sampai pada pascaproduksi. Di negara maju, pupuk kimia tidak lagi digunakan. Kenapa kita di Indonesia tidak pernah mengampanyekannya kepada petani, padahal potensi pupuk organik kita besar. Selain itu, harga beras dengan pupuk organik tiga kali lipatnya. Yang teriak soal kelangkaan pupuk selama ini bukan petani, tetapi pedagang," ungkapnya.

Di sisi lain, lanjut Gunawan, subsidi pembelian gabah hanya akan menguntungkan pedagang. "Selama petani kita posisi tawar-menawarnya tetap seperti sekarang, subsidi pembelian gabah hanya akan menguntungkan pedagang," ujarnya.

Pemberdayaan petani, melalui pendampingan disertai dengan terbukanya akses petani pada perbankan, akan meningkatkan daya saing petani. "Kalau petani kita tahu berbagai alternatif, punya informasi pasar yang baik, dan punya akses kepada lembaga keuangan, maka dia akan punya daya saing. Bahkan bisa membuat proyeksi," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Gunawan, yang harus dilakukan adalah memberikan subsidi itu langsung kepada petani dan memberikan pendampingan. "Jangan lagi subsidi melalui harga atau barang, itu hanya menguntungkan pihak lain dan tetap membuat petani tergantung," ujarnya.

Executive Director Partnership for Governance Reform in Indonesia HS Dillon mengatakan, jika pemerintah memang ingin membantu petani, kebijakan yang dihasilkan seharusnya lebih difokuskan pada bagaimana caranya petani bisa mendapatkan sarana produksi pertanian (saprodi) dengan harga terjangkau seperti dialami petani di negara lain, misalnya Thailand dan Vietnam.

"Sudah lama saya katakan upaya subsidi (pupuk) tidak tepat jika diberikan melalui industri pupuk. Justru inefisiensi terbesar terjadi di sana. Pabrik pupuk itu setiap kali ada permainan, mereka selalu menjual ke pihak luar selain petani," ujarnya. Hal itu dilakukan karena pabrik pupuk justru akan menganggap jauh lebih menguntungkan jika pupuk dijual ke pihak lain daripada ke petani. Dengan demikian, subsidi yang diberikan selama ini dinilai justru tidak menolong petani.

"Sebetulnya yang sekarang diberikan ke petani itu bukan subsidi. Saya lebih setuju untuk menyebutnya sebagai koreksi (pemerintah) terhadap apa yang disebut dengan ekonomi biaya tinggi," kata Dillon. Walau tidak sepenuhnya menyalahkan kebijakan pemerintah terkait subsidi pupuk, Dillon menilai pemerintah perlu menyusun seperangkat sistem insentif sehingga petani dan buruh tani dapat terus terangsang untuk meningkatkan produksi.

Ia juga meminta Departemen Pertanian kembali pada fungsinya semula, yang lebih berhubungan dengan riset penelitian serta kegiatan penyuluhan. Dengan begitu, pemerintah seharusnya membebaskan para petani menentukan sendiri apa yang akan mereka lakukan. "Tugas pemerintah cukup menyediakan apa yang mereka butuhkan. Bayangkan saja, selama ini setiap kali akan menanam, petani kesulitan mendapatkan benih yang baik," ujar Dillon. (mar/ely/DWA)(*)WAWANCARA ini pernah dimuat di Kompas pada hari Rabu 01 September 2004 dengan judul "Rencana Pencabutan Subsidi Pupuk Perlu Dikaji Mendalam"

Penanggulangan Kemiskinan Berwawasan Kebangsaan

KETIKA ditanya apakah permasalahan bangsa pada saat ini yang paling mendera. Sertamerta orang akan menjawab,''Kemiskinan." Sesudahnya kemudian berbicara problematika perikehidupan yang lain. Sebenarnya, kemiskinan dihadapi penduduk semua negara di dunia dengan intensitas berbeda-beda. Ekonom sering menyebut bahwa economic growth is necessary but not sufficient.

Ternyata pertumbuhan tidak langsung mampu menurunkan jumlah penduduk miskin apabila tidak diikuti perbaikan kapabilitas sumber daya manusia. Akumulasi dana masyarakat yang besar tidak berkontribusi nyata bagi penanggulangan kemiskinan jika tidak didistribusikan ke sektor riil, khususnya mendukung usaha gurem dan mikro, yang orang sering menyebutnya dengan ekonomi rakyat.

Kondisi kesenjangan di antara sumber daya dan kebutuhan masyarakat yang melahirkan kemiskinan merupakan fenomena market failure yang memerlukan campur tangan pemerintah. Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan bagian dari tugas administrasi pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan publik.

Segenap potensi perlu digerakkan agar tercipta sinergi dalam pengentasan kemiskinan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Meski memiliki sumber daya yang melimpah, namun human development index (HDI) Indonesia yang menempati urutan 108 (medium human development) dari 177 negara, jauh di bawah negara-negara lain yang memiliki sumber daya lebih rendah.

Kondisi Kemiskinan. Kondisi kesejahteraan penduduk miskin sangat rentan terhadap gejolak dan perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Ketidakberdayaan penduduk miskin kerap diperburuk dengan intervensi yang tidak tepat sasaran, misalnya dalam bentuk subsidi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan.

Jumlah penduduk miskin sejak 1970-an menurun hingga pertengahan 1990-an, kemudian meningkat akibat krisis multidimensi hingga akhir 1990-an dan kembali menurun hingga 2005. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin akibat kejadian bencana alam, meskipun kembali menurun pada 2007 menjadi 37,2 juta orang (BPS). Jumlah rumah tangga miskin pada 2006 sebanyak 19,3 juta kepala keluarga (Pusdatin Depsos).

Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Papua, Irian Jaya Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo; sedangkan jumlah terbanyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Garis Kemiskinan pada 2006 adalah pendapatan Rp158.051 per kapita per bulan yang merupakan rata-rata perkotaan Rp179.144 per kapita per bulan dan perdesaan Rp135.896 per kapita per bulan.

Mayoritas penduduk Indonesia berada dekat dengan garis kemiskinan, sehingga rentan jatuh miskin apabila terjadi peningkatan inflasi atau gejolak sosial dan ekonomi. Tahun 2006, sekitar 80% kepala rumah tangga miskin berpendidikan SD atau tidak tamat SD dan 9,8% kepala rumah tangga miskin tidak bekerja.

Pada 2004, Indonesia menempati urutan ke-41 dari 177 negara dalam hal HPI dengan nilai 18,5% (UNDP). Pada periode 1990-2004, persentase penduduk miskin di bawah garis kemiskinan USD1 per hari adalah 7,5% dan di bawah USD2 per hari sebanyak 52,4% dari total penduduk Indonesia.

Upaya Penanggulangan Kemiskinan. Keterbatasan sumber daya menyebabkan pemerintah tidak dapat menangani semua aspek penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan publik sehingga membutuhkan kontribusi komponen masyarakat. Berbagai upaya telah ditempuh dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendekatan sektoral maupun regional yang menghabiskan anggaran cukup besar.

Tren belanja pemerintah pusat maupun daerah yang meningkat pesat tidak diikuti perbaikan indikator pembangunan secara memadai. Penelitian Akyuwen (2008) menyebut bahwa dalam 23 tahun (1985-2007) belanja pemerintah pusat meningkat rata- rata 101,9% per tahun, sedangkan belanja pemerintah daerah meningkat rata-rata 216,5% per tahun.

Anggaran penanggulangan kemiskinan meningkat dari Rp18 triliun pada 2004 menjadi Rp81 triliun pada 2008, atau meningkat rata-rata 70% per tahun. Peningkatan anggaran tidak sejalan dengan pengurangan jumlah penduduk miskin, sehingga terdapat indikasi belanja pemerintah untuk mengurangi kemiskinan kurang efektif.

Presiden telah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk menciptakan sinergi pemanfaatan sumber daya pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dengan mengharmonisasi sekitar 53 program yang disertai dengan pendampingan dan penyediaan dana stimulan.

Apa yang disebut ekonomi rakyat merupakan sasaran utama pemberdayaan,agar pelakunya dapat bekerja, mendapatkan keuntungan, kemudian menabung untuk hari depan. Kerja, untung, dan tabung.

Wawasan Kebangsaan. Beberapa hari lagi kita akan memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, adalah relevan bila kita pertanyakan, "Sudahkah kita bangkit dari keterpurukan di lembah kemiskinan ini?" Satu hal yang inheren dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah spirit untuk maju.

Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri sehingga pendekatan kita selain secara intelektual, yaitu intervensi ekonomi, kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Dalam kedua hal tersebut, paradigma yang ditawarkan adalah wawasan kebangsaan.

Wawasan kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lain.

Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa. Memberikan semangat wawasan kebangsaan kepada pelaku ekonomi rakyat berarti memberikan kesadaran bahwa kita harus bersama untuk maju. Pelatihan bersemangat kebangsaan pada awalnya layak untuk diberikan kepada aparat pemerintah, para pendamping program penanggulangan kemiskinan, manajer sosial kecamatan, hingga dunia usaha.

Wawasan kebangsaan akan menyadarkan warga negara terhadap pentingnya arti kehidupan bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan bangsa. Pada saat saya bergabung dalam kepanitiaan untuk pelatihan emotional spiritual quotient pada 13-15 Maret 2008 di Gedung PLN, Jakarta, semangat mencapai Indonesia Emas tersebut begitu menggelora.

Hadir pada saat itu Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, mantan Menteri Kehakiman Utoyo Usman, dan beberapa tokoh nasional lain. Kami merasakan kerinduan akan panduan berbangsa dan bernegara setelah ''dihentikannya" P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Banyak forum lain dan tokoh juga menegaskan bahwa kembali ke Pancasila merupakan kunci kebangkitan bangsa.

Menurut Menteri Adhyaksa, bangsa Indonesia kini mulai kehilangan hikmah dan kebijaksanaan. Sedangkan Pak Utoyo menyatakan bahwa kita perlu alternatif program atau pelatihan dalam memandu warga negara agar mencintai bangsa dan berperikehidupan yang santun dengan sesama- dalam kerangka NKRI. Akhirnya,wawasan kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global.

Perjuangan mengurangi kemiskinan tak akan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Semangat ke-aku-an, atau ke-kami-an,yang mengutamakan daerah demi daerah, suku demi suku tanpa tekad bersatu sebagai satu bangsa yang secara berbareng bergerak, akan tetap kalah dengan laju kemiskinan itu sendiri.Menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat, merupakan agenda utama wawasan kebangsaan. (*)TULISAN ini pernah dimuat di koran Seputar Indonesia pada hari Kamis, 24 April 2008 dengan judul "Kemiskinan dan Kebangsaan"

Dari Lokakarya ke Dialog Publik

PERTAMA lokakarya di Jogja. Bertempat di Yogyakarta, Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 15 Januari 2007. Atas undangan panitia saya mendapatkan kesempatan untuk menyajikan paparan berjudul ”Persoalan Kemiskinan dan Politik Biaya Tinggi: Perspektif Ekonomi”. Beberapa pembicara membawa perspektif berbeda misalnya Prof Irwan Abdullah dalam dimensi budaya.

Lokakarya ini cukup menarik karena berusaha membahas beberapa hal persoalan bangsa diantaranya adalah pertama Semakin perlunya peningkatan terhadap pemaknaan kerakyatan dan kebangsaan dalam menyelesaikan kemiskinan, terutama dikaitkan dengan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional (1928-2008) dan 80 tahun Sumpah Pemuda (1928-2008) pada tahun ini. Kedua desentralisasi yang memungkinkan penyebaran kekuasaan justru berlawanan arah dengan fenomena pemusatan distribusi ekonomi –dengan tolok ukur PDRB atau Produk Domestik Bruto- di wilayah Jawa. Sehingga daerah kaya sumberdaya alam, seperti Kalimantan dan Papua justru mengalami fenomena ”paradox of plenty” atau kemiskinan di tengah kelimpahan. Ketiga kemiskinan dan ketimpangan pada saat ini berada dalam konteks perkembangan praktik demokrasi –pasca Reformasi- yang diwarnai oleh politik biaya tinggi. Situasi semacam itu mengharuskan kita untuk mengkaji kembali keseluruhan tatanan sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang justru memperkokoh proses pemiskinan seperti: besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan berbagai proses eletoral di tingkat nasional pun lokal, pembiayaan politik yang tinggi dalam proses kandidasi dan selanjutnya dalam proses kompetisi politik untuk merebut jabatan politik. Keempat Universitas Gadjah Mada akan memfasilitasi berbagai perguruan tinggi untuk mewujudkan Tridharma Perguruan Tinggi yang memiliki kepedulian mendalam pada persoalan kemiskinan dan ketimpangan serta penumbuhan demokrasi yang murah dan berkualitas.

Dalam kesempatan itu pula materi yang saya presentasikan mengenai konsep pembangunan nasional yang membahas 3 (tiga) hal yaitu logika ekonomi bahwa supply creates its own demand. Paradigma penawaran dan permintaan ini relevan dengan pepatah ”Siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang bekerja keras akan tetap eksis dalam kompetisi. Kemudian teori perubahan struktural, yang isinya perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Diperlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan teknologi dan pembangunan sumber daya manusia. Contoh empiris dalam pengimplementasian konsep pembangunan ini adalah ”Kerja Untung Tabung” yang merupakan lanjutan dari slogan triple track Kabinet Indonesia Bersatu: employment, income, growth.
Dalam kerangka Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan atau TKPK, di Depsos telah eksis Project Management Unit untuk membantu perumusan data by name by address yang mencakup kriteria kemiskinan pada akar rumput. Pada kongres Pembangunan Manusia Indonesia, BULOG memuji akurasi data BNBA dari Depsos ini. Kemudian mengenai pendamping, terdapat Manajer Sosial Kecamatan atau Maskot sebagai pendamping masyarakat miskin yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sebagai kelompok masyarakat. KUBE adalah himpunan dari keluarga yang tergolong fakir miskin yang dibentuk, tumbuh, dan berkembang, atas dasar prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan yang lain, dan tinggal dalam satuan wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama.
Usaha produktif yang dimaksud adalah usaha yang dapat memberikan nilai tambah (value creation, dan value added) dan meningkatkan pendapatan bagi pengusaha skala mikro, kecil dan menengah.
Koordinasi dalam hal penanggulangan kemiskinan sangat diperlukan. Berbagai program yang dilaksanakan beberapa institusi pemerintah memerlukan kordinasi agar tercipta sinergitas untuk mencapai tujuan. Adapun fungsi dari lembaga koordinasi tersebut adalah untuk mencegah timbulnya tumpang tindih, benturan dan kekakuan dalam aktivitas dan gerak institusi-institusi pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Keberlanjutan program dan informasi antara Project Management Unit, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Office Management of President, dan Management Cockpit, dalam membuat Pedoman Umum, Juklak, dan Juknis
Selanjutnya kita berbicara mengenai “Law Enforcement” prinsipnya adalah pentingnya semua orang mematuhi hukum guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut dengan istilah social order and public safety. Peran pemerintah sangat besar karena model penegakan hukum yang ini bersifat top down, dilakukan oleh negara terhadap masyarakat. Optinmalkan kembali P5D atau Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah yang dilakukan melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan atau Musrenbang dengan tujuan utama monitoring evaluasi (moneva).

--

KEDUA dialog publik di Kebon Sirih. Pada kesempatan lain yaitu tanggal 17 Januari 2008 saya menghadiri Dialog Publik yang diselenggarakan oleh Katalis di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta. Temanya adalah ”Pencapaian Millenium Development Goals (MDG)”. Di samping saya ada Dr Abdul Salam (Direksi di Bank BRI), Dr Fadil dari lembaga penelitian Indef, dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yaitu Abdul Hakam Naja.

Fadhil Hasan mengamati mengenai data BPS yang menyebutkan bahwa gap atau kesenjangan semakin besar –meski pertumbuhan beranjak naik. Pak Salam mengenai perlunya penanggulangan kemiskinan melalui lembaga keuangan mikro untuk mempercepat pencapaian MDG. Sedangkan Abdul Hakam Naja mengenai Pemberdayaan Sosial dan Pencapaian MDGs.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah atau RKP 2008, beberapa tantangan pokok yang dihadapi pada tahun 2008 adalah sebagai berikut. Pertama, mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menetapkan sasaran ekonomi makro tahun 2008 adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen dan laju inflasi sebesar 6,0 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tersebut, pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin diharapkan akan turun menjadi sebesar 9,0 persen dan 16,8 persen pada tahun 2008. Untuk membiayai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen, dibutuhkan investasi sebesar Rp 1.296,1 triliun. Dalam RKP disebutkan bahwa dorongan akan diberikan pada peningkatan investasi yang masih lambat dan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang masih lemah dalam tahun-tahun sebelumnya.
Kedua, mempercepat pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Diharapkan pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi 9,0 persen dan 16,8 persen pada tahun 2008. Kemudian ketiga, menjaga stabilitas ekonomi potensi gejolak moneter internasional yang terkait dengan melebarnya kesenjangan global, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, menurunnya harga-harga komoditi nonmigas dunia, dan tingginya likuiditas ekonomi dunia dapat mempengaruhi ketidakseimbangan eksternal, ketahanan fiskal, dan stabilitas moneter di dalam negeri.

Saat deklarasi MDGs diluncurkan, tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. MDG merupakan resolusi United Nations (PBB) yang diadopsi pada pertemuan pleno ke-8 Millenium Summit. Kesepakatan MDG's ditandatangani oleh 192 negara anggota PBB dalam rangka pencapaian goals pada tahun 2015.

Naja dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa dalam dunia politik internasional MDG's terlahir dalam situasi ketimpangan hubungan antar negara yang dijalin melalu organisasi donor internasional seperti CGI, ADB, IMF, dan lainnya. Ketimpangan hubungan mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan politik antara negara maju dan berkembang. MDG's lahir lewat sebuah resolusi yang tidak hanya dalam tataran konsep yang dipaksakan oleh PBB, tetapi karena kebutuhan masyarakat di banyak negara yang masih dilanda kemiskinan dan kelaparan.
Naja mengutip pendapat Jeffrey D. Sachs (2005) yang menyatakan kesalahan dari organisasi donor internasional pada paradigma pembangunan ekonomi yang disandarkan pada ukuran-ukuran development economics yang mengutamakan indikator growth daripada ukuran yang didasarkan atas clinical economics seperti iklim, demografi, kesehatan, tingkat pendidikan, kematian ibu dan anak dli. Paradigma pembangunan seperti ini tidak banyak menolong tetapi justru kemudiari menciptakan ketergantungan negara-negara miskin pada negara kaya atau lembaga donor internasional. Disampiag itu paradigma. pembagungan yang menitikberatkan pada growth juga menimbulkan masalah-masalah sosial pada negara penerima bantuan organisasi donor, dan hal ini juga yang terjadi pada negara kita.
Indonesia yang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, selama ini telah menjadi donor dari lembaga keuangan internasional yang diharapkan dapat membantu untuk keluar dari keterpurukan sosial dan ekonomi. Tapi kasus seperti di Afrika Selatan, Polandia, dan India terjadi pada Indonesia. Ekonomi tidak membaik, justru mengakibatkan beban negara akan permasalahan sosial kemasyarakatan yang semakin meningkat.

Laporan "A Future Within Reach" maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2007 menempatkan Indonesia termasuk di jajaran negara-negara yang mundur dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs). Indonesia bahkan berada dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina. Indonesia memperoleh skor negatif, baik dalam indeks kemajuan maupun dalam status terakhirnya. Dari 23 indikator dalam tujuh sasaran MDGs, enam di antaranya masuk ke dalam kriteria mundur yaitu; garis kemiskinan nasional, kekurangan gizi, kerusakan hutan, emisi karbon dioksida (CO2), air bersih di perkotaan dan sanitasi di pedesaan. Bila dicermati, negara-negara yang termasuk pada kategori itu mengalami stagnasi karena tarik-menarik kepentingan politik terus berlangsung sehingga menghambat bahkan merusak upaya-upaya perbaikan pembangunan. Kemunduran terjadi karena situasi itu ditambah oleh bencana alam mau pun bencana yang disebabkan ulah manusia. Melihat indikator yang ada, menurut saya, Indonesia tampaknya on the right track dengan pencapaian selama ini.

Walaubagaimanapun, jelas kita perlu bekerja keras agar perkembangan pencapaian MDGs Indonesia tersebut mampu diakselerasi lebih optimal –minimal tetap terjaga indikator perbaikannya. Maka upaya untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya ekonomi Indonesia serta mengurangi kemiskinan –dalam rangka mencapai target MDGs- adalah “Bersama Membangun Bangsa”. Kita optimalkan segenap komponen untuk maju. Salahsatunya kita optimalkan kerjasama dengan BUMN dan swasta dengan CSR atau corporate social responsibility dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dalam upaya mengembalikan pusat ekonomi kepada rakyat: pembangunan dari-oleh-untuk Rakyat di Daerah. █DIMUAT di kolom "Renungan" Majalah Komite pada edisi akhir Januari 2008. Majalah KOMITE adalah majalah yang diterbitkan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Lagi: Subsidi for Petani

MENURUT Stiglitz (1988), alasan pemihakan pemerintah terhadap satu golongan adalah adanya kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar didefinisikan sebagai munculnya masalah-masalah pembangunan akibat tidak terpenuhinya asumsi-asumsi pembangunan yang ada. Asumsi-asumsi tersebut antara lain kesamaan informasi serta kemampuan dan akses pada sumber daya ekonomi. Dalam konteks inilah upaya pemihakan pemerintah terhadap petani-terutama petani padi-selama ini dimaksudkan untuk mengoreksi kegagalan pasar yang terjadi, yang mengakibatkan terpuruknya nasib petani.

Berbagai kebijakan, strategi, program, dan proyek pembangunan telah dijalankan pemerintah untuk mengangkat nasib petani agar mereka mampu menjadi pelaku ekonomi yang dapat bersaing di pasar. Berbagai subsidi yang telah diberikan pemerintah kepada petani diharapkan dapat menempatkan posisi petani dalam mekanisme pasar yang wajar. Namun, intervensi pemerintah tersebut dapat berubah menjadi kegagalan pemerintah yang semakin memperparah kondisi petani apabila tidak dilakukan secara tepat. Dalam konteks inilah diperlukan kebijakan yang tepat, penentuan sasaran yang tepat, dan kelompok sasaran yang tepat.

BENTUK SUBSIDI DI MASA LALU. Berbagai subsidi telah diberikan pemerintah kepada petani padi selama ini. Pada masa Orde Baru berbagai subsidi tersebut bermuara pada tercapainya swasembada beras, yang pada gilirannya diharapkan mampu menciptakan ketahanan pangan secara nasional. Namun, keberhasilan tersebut ternyata secara ekonomis berdampak ganda. Pertama, terjadinya subsidi kepada masyarakat perkotaan dalam bentuk harga beras murah yang berlangsung lama dan kedua, pada saat yang bersamaan nilai tukar produk petani padi cenderung merosot sebagai akibat dari kebijakan untuk mengamankan ketersediaan produksi beras pada tingkat harga yang murah.

Subsidi harga beras untuk masyarakat perkotaan secara politis sangat diperlukan untuk mencari legitimasi dan dukungan politik massa perkotaan terhadap pemerintah. Hal itu mengingat pemerintah berhasil menyediakan beras murah yang merupakan salah satu kebutuhan pokok utama masyarakat luas. Di sisi lain, kebijakan itu akhirnya justru menempatkan petani dan usaha pertanian padi hanya sebagai alat untuk mengamankan politik penyediaan pangan yang murah, bukan sebagai layaknya usaha ekonomi produktif yang komersial.

Secara finansial, kebijakan itu berimplikasi pada penyediaan anggaran pemerintah (APBN) yang sangat besar, terutama untuk menyediakan berbagai subsidi yang diperlukan petani padi. Subsidi itu antara lain dalam bentuk kredit murah, benih, pupuk, sarana produksi padi, pembangunan infrastruktur jaringan irigasi, dan penyediaan pendamping atau penyuluh pertanian.

Dengan pola subsidi itu, secara substansial kebijakan pemerintah, baik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani maupun dalam upaya mempertahankan ketahanan pangan, tak dapat berlangsung secara sistemik dan berkelanjutan. Hal itu mengingat biaya ekonomis yang ditanggung pemerintah teramat besar-yang tercermin dari beban anggaran untuk kebutuhan subsidi setiap tahunnya. Adapun biaya ekonomis yang ditanggung petani terletak pada adanya disinsentif dalam produksi sebagai akibat rendahnya harga beras. Satu-satunya keuntungan ekonomis hanya dinikmati oleh masyarakat nonpetani, terutama di wilayah perkotaan, yang selalu dimanjakan dengan murahnya harga beras.

Kebijakan subsidi yang tidak tepat itu diperparah dengan belum tersusunnya regulasi yang memihak dan melindungi petani dan usaha pertanian padi. Belum ada aturan tentang land reform, proteksi terhadap alih guna lahan sawah, insentif fiskal untuk kegiatan usaha pertanian, dan pengaturan tata niaga yang memihak petani.

Dalam konteks administratif, berbagai bias, distorsi, dan disorientasi yang terjadi dalam implementasi program atau proyek pemerintah berdampak negatif pada inefisiensi dan efektivitas kebijakan serta strategi pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan. Akumulasi dari berbagai faktor itu merupakan penyebab dari tidak signifikannya korelasi antara investasi yang telah dilakukan pemerintah dan kemajuan ekonomis yang terjadi dalam usaha pertanian pangan, khususnya beras. Masih tingginya tingkat kemiskinan, yang dibarengi dengan masih rendahnya kualitas sumber daya masyarakat petani di wilayah pedesaan, merupakan indikator makro yang tidak bisa dimungkiri untuk menjelaskan adanya kekeliruan itu.

GEGABAH. Polemik antara subsidi pupuk dan subsidi gabah akhir-akhir ini merupakan cerminan dari kurang tepatnya kebijakan subsidi pemerintah dalam pembangunan pertanian kita. Subsidi pupuk yang bertujuan menurunkan beban salah satu komponen biaya produksi dalam praktiknya justru menimbulkan kelangkaan dan memicu tingginya harga pupuk.

Hal itu bisa ditelusuri dari sisi produksi, yakni murahnya biaya produksi pupuk kimia karena adanya subsidi gas dari pemerintah kepada pabrik pupuk. Kondisi ini cenderung menghasilkan moral hazard di kalangan pabrikan. Biaya produksi yang murah ini secara teknis menurunkan harga pupuk domestik secara relatif dibandingkan dengan harga pupuk di negara-negara lain. Disparitas harga inilah yang mendorong terjadinya penjualan pupuk ke luar negeri sehingga secara ironis insentif itu justru lebih banyak dinikmati oleh produsen yang melakukan penjualan pupuk ke luar negeri.

Dari sisi distribusi, pengawasan dan pengendalian tata niaga serta distribusi pupuk yang tak optimal mengakibatkan semakin panjangnya rantai distribusi. Hal ini secara ekonomis menghasilkan keuntungan yang berlebihan di tingkat distributor. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pengaturan wilayah distribusi pupuk yang tak mempertimbangkan kebutuhan petani terhadap jenis-jenis pupuk tertentu dari pabrik pupuk tertentu. Sulitnya perubahan konsumsi jenis pupuk dan pergeseran fanatisme petani terhadap jenis pupuk itu merupakan moral hazard bagi distributor untuk mempermainkan pasokan pupuk. Implikasinya harga pupuk jenis tertentu di tingkat petani naik.

USULAN SUBSIDI GABAH. Usulan untuk mengubah subsidi pupuk menjadi subsidi gabah secara ekonomis juga kurang tepat. Implementasi subsidi terhadap harga gabah secara institusional memerlukan lembaga yang berperan sebagai buffer stock melalui kebijakan pengaturan floor price dan ceiling price yang efektif. Peran tersebut secara historis pernah dijalankan Bulog selama Orde Baru. Dengan berubahnya status Bulog sebagai BUMN dalam bentuk Perum, orientasi Bulog saat ini adalah lebih pada penciptaan keuntungan dari operasionalisasi usahanya. Oleh sebab itu, dibutuhkan badan baru yang mampu mengemban misi pelaksanaan kebijakan subsidi tersebut secara efektif dan mampu "menjinakkan" para spekulan di pasar.

Secara finansial, subsidi harga gabah membutuhkan ketersediaan anggaran yang besar. Dalam kondisi keterbatasan anggaran dan diterapkannya kebijakan kesinambungan fiskal oleh Menteri Keuangan, dana subsidi harga gabah akan menjadi masalah tersendiri.

Secara ekonomis, subsidi harga gabah juga tidak memupuk kemandirian ekonomi para petani. Seharusnya petani diberi kebebasan dan ditingkatkan kapasitasnya untuk mengatur harga melalui pengaturan stok gabah dalam bentuk revitalisasi lembaga lumbung padi yang selama ini cenderung dimarjinalkan keberadaannya.

FORMAT SUBSIDI YANG TEPAT. Fokus pembangunan pertanian ke depan harus diarahkan kepada pembangunan manusia yang terlibat langsung dalam usaha pertanian, yaitu petani itu sendiri. Pembangunan petani dilakukan melalui strategi pemberdayaan dan pengembangan masyarakat dengan memfokuskan kepada peningkatan kapasitas yang didukung bantuan teknis dan pendampingan yang tepat, proporsional, dan profesional.

Oleh karena itu, format subsidi ke depan harus diarahkan langsung kepada petani. Konsekuensinya, subsidi yang dikeluarkan pemerintah harus diorientasikan untuk meningkatkan kapasitas petani agar mereka mampu menjalankan usaha secara komersial dan berkelanjutan. Peningkatan kapasitas petani melalui bantuan teknis dan pendampingan bertujuan membantu petani dalam mengenali masalah dan potensi yang ada agar mereka dapat membuat prediksi usaha pertanian yang tepat sesuai dengan dinamika bisnis dalam jangka panjang. Untuk itu dibutuhkan subsidi pemerintah dalam menyediakan dan merevitalisasi tenaga pendamping atau penyuluh pertanian yang profesional. Revitalisasi dan efektifkan operasionalisasi balai pendidikan dan pelatihan serta balai penelitian pertanian.

Dengan demikian, pertanian bukan lagi diaksentuasikan sebagai way of life yang dijalani secara sambilan, informal, dan subsisten, serta sarat dengan beban-beban mitos kultural, tetapi lebih diartikulasikan sebagai kegiatan usaha ekonomi produktif yang harus dikelola secara modern, profesional, dan berorientasi keuntungan. Petani sendiri harus dipersepsikan sebagai subyek pembangunan dan disiapkan secara aktif menjadi seorang pengusaha. Pada akhirnya mereka mampu mentransformasikan usaha pertanian menjadi salah satu sektor bisnis yang menguntungkan sehingga layak bank.

Namun, penyuluhan, pendidikan, pelatihan, dan penelitian semata tidaklah cukup. Upaya itu harus didukung beberapa strategi lain. Pertama, transformasi usaha pertanian ke dalam sistem agrobisnis. Sistem agrobisnis yang akan mengubah pola usaha pertanian secara keseluruhan, baik dari aspek produksi, pembiayaan, pengolahan, maupun pemasaran hasil pertanian. Dalam konteks petani padi, sistem agrobisnis akan mampu meningkatkan produktivitas, sekaligus kualitas produk beras dan mampu menciptakan diversifikasi usaha pertanian yang lebih menguntungkan secara komersial. Pada akhirnya akan mengubah petani individual menjadi petani komunal yang terintegrasi ke dalam kluster ekonomi yang lebih besar dan kuat.

Kedua adalah arus utama anggaran pemerintah (budget mainstreaming) dalam mendukung usaha pertanian. Keterbatasan anggaran memaksa pemerintah fokus pada pembiayaan yang sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya, yakni pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pertanian serta peningkatan kualitas sumber daya manusia pertanian. Ketiga, kerangka regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas.

Keempat, perlindungan, pelestarian dan revitalisasi kearifan lokal dan kelembagaan lokal di tingkat petani apabila bernilai positif akan sangat bermanfaat, seperti lumbung desa dan lumbung pitih nagari.

Kelima, penguatan peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan petani. Pemerintah daerah yang memiliki posisi paling dekat dengan petani mempunyai peran penting dalam memantapkan seluruh proses transformasi perilaku petani. Perubahan "mitos" pertanian sebagai way of life harus mengarah pada terbentuknya etos kerja petani yang tinggi dalam menjalankan usaha pertaniannya. Pemerintah daerah juga berperan untuk menanamkan pemahaman bahwa pertanian adalah sumber kesejahteraan petani yang harus dikelola secara profesional dan berdaya saing tinggi. (*)TULISAN ini pernah menjadi kolom utama Kompas di bagian headline dengan judul "Subsidi untuk Petani Padi Mencari Format yang Tepat" pada hari Senin, 06 September 2004

Antara MDG dan Pembukaan UUD '45

DALAM rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000 telah mendeklarasikan Millennium Development Goals atau MDGs. Dalam deklarasi tersebut, diharapkan seluruh negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.

Untuk mengawal maupun mengevaluasi program yang telah dilakukan para anggota PBB dalam mencapai MDGs, pada September 2005 akan diadakan pertemuan tingkat tinggi yang diberi nama Millennium Summits di Markas Besar PBB, New York, AS. Untuk mempersiapkan pertemuan tersebut, pekan ini (3-5 Agustus) di Jakarta diadakan pertemuan tingkat menteri dari 41 negara kawasan Asia Pasifik.

Pertemuan ini penting, bukan sekadar menyusun program-program yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan MDGs, melainkan karena beberapa bulan sebelumnya kepala negara/pemerintahan dari negara-negara kaya yang tergabung dalam G7 lebih memprioritaskan upaya penghapusan kemiskinan di kawasan Afrika.

Padahal, perlu dipahami bahwa kemiskinan tidak hanya merupakan permasalahan Afrika. Kawasan Asia Pasifik sendiri masih berkutat dengan problematika yang sama. Negara Asia Pasifik akan bertanya mengapa hanya Afrika yang jadi prioritas, padahal di Asia Pasifik juga masih perlu perhatian dunia untuk upaya penanggulangan kemiskinan.

BENCANA TSUNAMI. Pemerintah Indonesia hampir dikatakan berhasil mengatasi kemiskinan. Selama tahun 1976-1996jumlah penduduk miskin turun drastis. Tahun 1976, jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta jiwa atau 40,1 persen dari jumlah penduduk. Tahun 1996 turun menjadi 22,5 juta atau sekitar 11,3 persen. Namun, krisis ekonomi yang terjadi mulai pertengahan tahun 1997 seakan menistakan usaha dan program yang dijalankan pemerintah. Jumlah penduduk miskin meningkat hingga 49,5 juta atau 24,2 persen dari total penduduk akibat banyaknya perusahaan/sentra ekonomi yang menghentikan kegiatan ekonominya sehingga menimbulkan angka pengangguran yang besar.

Saat deklarasi MDGs diluncurkan, tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Tahun 2001, jumlah penduduk miskin turun meski tidak signifikan, mencapai 37,1 juta dari total penduduk. Sementara tahun 2004 angka penduduk miskin kembali turun menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen.

Indonesia berkepentingan dengan keberhasilan MDGs. Kebetulan, delapan nilai dasar dari MDGs sudah menjadi amanat konstitusi negara UUD 1945. Nilai dasar 1-2 MDGs tersebut masing-masing berbunyi: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar bagi semua, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 yang berbunyi: mewujudkan kesejahteraan umum dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Nilai dasar ke 3-6: mendorong kesetaraan gender, menurunkan angka kematian bayi dan meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, sesuai dengan pembukaan UUD 45 yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia. Sementara nilai dasar ke 7-8 melestarikan lingkungan, mengembangkan kemitraan global, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 yang berbunyi ”menjaga dan melaksanakan ketertiban dunia”.

Bencana alam yang datang bertubi-tubi mulai dari gempa bumi di Alor, NTT, Papua, hingga bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) pada akhir tahun 2004 merenggut sekitar 220.000 jiwa dan meluluhlantakkan sebagian NAD disusul gempa bumi di Nias dan daerah-daerah lainnya, mengakibatkan angka penduduk miskin terus bertambah hingga 54 juta jiwa (Kompas, 1/8).

Kondisi infrastruktur, terutama jalan dan gedung sekolah, yang sebagian besar rusak serta harga minyak mentah dunia yang mencapai 62 dollar AS per barel menambah berat beban pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun, upaya mengurangi penduduk miskin tidak boleh berhenti. Upaya mengurangi penduduk miskin sama halnya dengan mempertahankan kedaulatan negara. Banyaknya penduduk miskin menyebabkan kualitas sumber daya manusia rakyat Indonesia jadi turun.

PEMBERDAYAAN EKONOMI. Banyaknya penduduk miskin salah satunya disebabkan banyaknya jumlah penduduk usia produktif yang menganggur/ tidak bekerja, baik secara terbuka maupun semi pengangguran. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Biro Pusat Statistik (BPS), Bappenas menggambarkan sekaligus memprediksikan terjadinya tren peningkatan pengangguran terbuka dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. Hal ini berakibat pada pertambahan penduduk miskin.

Salah satu jalan keluar mengurangi kemiskinan adalah menciptakan lapangan kerja dan membuka akses-akses ekonomi/memberdayakan ekonomi masyarakat miskin usia produktif. Bagi orang miskin sendiri, mereka lebih suka mendapatkan akses ekonomi atau lapangan pekerjaan daripada subsidi beras miskin. Menciptakan lapangan pekerjaan bukan hanya mengandalkan investor asing membuka pabrik atau membuka toko. Juga tidak harus mengandalkan utang luar negeri yang dapat makin memiskinkan rakyat. Melainkan, dengan lebih memberdayakan potensi ekonomi setiap orang, termasuk orang miskin.

Apabila penduduk miskin itu sebelumnya berprofesi sebagai buruh tani, dia perlu diberikan akses untuk menjual hasil panennya dengan nilai yang lebih baik. Karena itu, perlu dibuka jalur distribusi/ pemasaran hasil tani ke konsumen dalam skala besar (sistem inti-plasma) dan tidak menggunakan sistem konsinyasi yang terlalu lama. Sebaliknya, apabila orang miskin itu bergerak dalam sektor perdagangan informal, berilah dia tempat berjualan yang layak dan tidak melanggar hukum. Apabila orang miskin tersebut belum mempunyai keahlian, harus diberikan pelatihan kewirausahaan di balai latihan kerja yang selama ini sudah banyak berdiri, namun berhenti beroperasi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal tahun 2005 telah mencanangkan Tahun Keuangan Mikro Internasional (TKMI) sekaligus mendorong pihak perbankan lebih banyak menyalurkan kredit kepada sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM). UMKM merupakan sektor usaha yang banyak dilakukan kelompok masyarakat ekonomi menengah bawah termasuk di dalamnya adalah masyarakat miskin yang bergerak di sektor informal. Perkembangan UMKM di Indonesia selama ini telah menunjukkan tren yang mengesankan dan memberikan kontribusi penting dalam menyerap tenaga kerja. Tahun 2003, UMKM mampu menyerap 79 juta tenaga kerja.

Pihak perbankan sendiri saat ini baru menyalurkan sebagian kecil kreditnya ke UMKM. Mereka lebih suka menyalurkan kreditnya ke sektor konsumtif dan korporasi. Selain karena waktu pengembalian modalnya yang cepat juga karena adanya agunan. Pihak perbankan, terutama pengelolanya, tidak mau disalahkan/mengambil risiko karena pinjaman yang disalurkan ke UMKM macet. Meskipun pada kenyataannya tunggakan kredit macet ke UMKM jauh lebih kecil dibandingkan dengan kredit macet yang dilakukan korporasi atau para konglomerat.

PERLUASAN PROGRAM KB. Inti dari penanggulangan kemiskinan adalah penciptaan lapangan kerja yang luas. Juga jangan sampai terlupa untuk mengendalikan jumlah penduduk agar jangan sampai tumbuh generasi miskin baru. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk meliputi perluasan jangkauan pelayanan keluarga berencana (KB) bagi keluarga miskin.

Mengurangi jumlah penduduk miskin memang tak semudah membalikkan telapak tangan atau tidak semudah mengadakan diskusi atau seminar tentang kemiskinan. Perlu kerja keras dan kebersamaan semua pihak.█ ARTIKEL ini pernah dimuat di halaman Opini pada harian Kompas tahun 2005 tepatnya hari Sabtu tanggal 06 Agustus -dengan judul 'MDGs dan Indonesia'.

Menemukan Kembali 'Rakyat' dalam Perekonomian Kita

RAKYAT biasanya mudah sekali didefinisikan dalam konteks politis, namun sangat susah diterjemahkan secara ekonomis. Dalam politik kenegaraan rakyat ditempatkan secara terhormat dalam definisi “kedaulatan rakyat” yang selanjutnya diaksentuasikan lebih tegas secara operasional sebagai “dari, oleh dan untuk rakyat”. Perwujudan politisnya kemudian adalah sistem demokrasi dimana didalamnya terdapat partisipasi politik rakyat secara aktif dalam segenap proses pengambilan keputusan. Paling tidak kita telah melahirkan dua jenis demokrasi yaitu demokrasi terpimpin (orde lama) dan demokrasi pancasila (orde baru), terlepas apakah kedua sistem itu demokratis atau tidak.
Sementara, secara ekonomis sampai saat ini definisi keterlibatan rakyat dalam keseluruhan konstelasi perekonomian masih relatif kabur dan seringkali menjadi perdebatan akademis yang tak kunjung usai. Pengertian ekonomi kerakyatan yang secara gamblang dan lugas telah dieksplorasi oleh para founding fathers kita - yang lantas dilegitimasikan kedalam konstitusi negara - ternyata masih belum mampu melahirkan sistem perekonomian yang dapat dioperasionalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Reformasi dan krisis ekonomi akhirnya menjadi “berkah” sekaligus “pelajaran” yang berharga bagi kita untuk menemukan kembali definisi rakyat yang sesungguhnya dalam kedua konteks diatas. Reformasi akhirnya melahirkan demokratisasi politik, sedangkan krisis ekonomi pada gilirannya membukakan mata kita betapa selama ini sebagian besar “rakyat” termarginalisasi bahkan tereliminasi dalam sistem dan praktik ekonomi kita.



Berkaitan dengan upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan, masalah dan tantangan pokok pembangunan nasional yang perlu ditanggulangi adalah rendahnya kesejahteraan rakyat yang secara ekonomis tercermin dari adanya akumulasi beberapa faktor seperti rendahnya tingkat pendapatan, tingginya tingkat dan luasnya cakupan pengangguran, tingginya biaya hidup, dan masih sulitnya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sementara itu, beberapa masalah dan tantangan pokok perekonoman nasional yang perlu diantisipasi berkaitan dengan upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi.

Secara operasional, pemberdayaan ekonomi kerakyatan harus ditempatkan dan dikerangka kedalam konstelasi pembangunan dan perekonomian nasional sehingga dengan demikian upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan merupakan salah satu alternatif solusi untuk pemecahan masalah pokok pembangunan dan perekonomian nasional yang bersifat sistemik dan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembangunan dan perekonomian nasional itu sendiri.

Kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi nasional yang mampu memberi ruang dan mendorong upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan haruslah memiliki visi, misi, kebijakan dan strategi, dan sistem dan praktik ekonomi yang jelas, tepat dan mampu diwujudkan secara operasional. Selanjutnya, upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan dalam tataran praksis haruslah diterjemahkan dan diartikulasikan kedalam sistem ekonomi kerakyatan. Manifestasi sistem ekonomi kerakyatan ini secara operasional adalah pemberdayaan bagi segenap pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dengan keberpihakan kepada koperasi sebagai sokoguru perekonomian bangsa Indonesia.

Secara sistemik, kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi nasional memiliki visi untuk mewujudkan peningkatan pendapatan masyarakat yang secara ekonomis menjadi anggota koperasi dan pengusaha mikro, kecil dan menengah hingga mencapai diatas rata-rata pendapatan per kapita nasional. Untuk mewujudkan visi tersebut, misi yang akan diemban adalah bersifat riil dan terfokus, yaitu mewujudkan peningkatan produksi dan peningkatan jasa. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan misi tersebut maka dibutuhkan kebijakan dan strategi yang tepat, yaitu pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan kapasitas usaha, dan pengembangan infrastruktur. Akhirnya, keseluruhan upaya untuk mewujudkan visi, misi, kebijakan dan strategi tersebut haruslah dikerangka kedalam konsep dasar berupa sinkronisasi dan integrasi dari sistem ekonomi kerakyatan, sistem ekonomi swasta, dan sistem ekonomi kemitraan secara utuh. TULISAN ini dipersiapkan untuk kolom 'Renungan' di majalah/ buletin Sekretariat Wapres, sekitar pertengahan tahun 2005

Pancasila dan Pahlawan

PADA hari Sabtu tanggal 02 Juni 2007 kami mendapat kesempatan berharga untuk mendampingi Menteri Sosial menghadiri undangan Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Acaranya adalah peringatan 100 tahun gugurnya pahlawan nasional Raja Si Singamangaraja XII. Bapak Bachtiar Chamsyah selaku Mensos menjadi keynote speaker pada acara tersebut. Dua hari sebelumnya –tanggal 31 Mei 2007- di Yogyakarta diselenggarakan acara Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni. Acara di Yogyakarta diisi dengan kegiatan Orasi Pancasila dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, kemudian diakhiri dengan pergelaran wayang kulit “Werkudoro Maneges” yang kurang lebih berarti: Sang Bima (Werkudoro) yang Tegas –atau berupaya menegaskan sesuatu secara lebih mendalam.
Saudara pembaca yang budiman, ada kata-kata bijak yang menyatakan bahwa ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa-jasa para pahlawannya”. Pernyataan tersebut menurut Mensos mengandung nilai yang cukup tinggi untuk dimaknai, dicermati, dihayati, dan dipahami oleh kita semua. Tetapi ironisnya pada masa sekarang ini kita rasakan penghargaan terhadap jasa-jasa pahlawan makin luntur. Kita dan generasi muda perlu diingatkan kembali arti penting dan makna Pahlawan yang sarat nilai sejarah. Kita harus sadar, semua yang ada dan pembangunan bisa berjalan berkat tetesan darah para pejuang. Bangsa Indonesia tidak akan maju dan mempunyai character building jika tak mampu menghargai pengorbanan para pahlawan.
Mereka yang disebut “pahlawan” adalah seseorang warga negara yang telah berjasa besar dan luar biasa kepada bangsa dan negara, rela berkorban dan berjuang tanpa pamrih. Dikatakan pahlawan karena mereka merupakan sosok panutan yang telah melahirkan nilai-nilai keteladanan yang luhur dan semangat kepahlawanan (heroisme) yang pada jamannya mewarnai sikap dan perilaku kehidupannya dalam memperjuangkan nasib bangsa dan negara ini. Jumlah pahlawan nasional sampai dengan tahun 2006 kemarin adalah sejumlah 137 orang –menurut catatan Direktorat Kepahlawanan Keperintisan Kesetiakawanan Sosial di Ditjen Pemberdayaan Sosial. Dari sejumlah pahlawan itu jangan melupakan “pahlawan tanpa tanda jasa” atau bapak/ibu Guru kita yang jumlahnya mencapai 3 juta orang di Indonesia.
Seminar nasional di Humbang Hasundutan tersebut mengambil tema ”Menatap Sisingamaraja XII di Panggung Sejarah: Mewarisi Etos Perjuangan Sisingamaraja XII bagi Indonesia Abad XXI”. Menurut hemat kami makna “Mewarisi Etos” berarti fokusnya pada ‘etos’, bukan ‘mitos’. Mewarisi Etos berarti meneladani jiwa dan semangat perubahan, bukan mitos yang bersifat klenik atau misteri.
Mewarisi etos sangat relevan terutama dikaitkan peristiwa kebangsaan akhir-akhir ini ketika kita masih berada dalam suasana peringatan Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei yang lalu. Peringatan Kebangkitan Nasional merupakan perode awal tumbuhnya rasa nasionalisme dikalangan rakyat Indonesia yang pada saat itu masih bersifat kedaerahan dan belum menjadi semangat yang berwawasan kebangsaan.
Menghargai jasa pahlawan berarti kita tidak melupakan sejarah. Ada kata-kata hikmah bahwa ”masa lalu adalah sejarah, masa depan itu misteri, masa kini adalah karunia”. Dengan sejarah mari kita mensyukuri hari ini, dan merencanakan masa depan.
Pertanyaannya, bagaimana kita merencanakan ke depan dan berefleksi dengan hal-hal yang telah kita lakukan? Kita perlu kembali ke Pancasila. Peradaban dan kebudayaan tidak bisa lepas dari proses pendidikan untuk memanusiakan manusia dalam kerangka keindonesiaan yang kita miliki.
Oleh karenanya, peradaban seharusnya didesain oleh nilai-nilai kehidupan yang bernas untuk membangkitkan kembali keterpurukan bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru, sehingga harus terus-menerus disegarkan dan dihidupkan agar Pancasila tetap menjadi "ideologi kehidupan" dalam menjawab tantangan masa depan. Dengan landasan Pancasila pendidikan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral dan etika yang bersumber pada ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Sikap budaya Indonesia yang sama dalam semua kebudayaan Indonesia adalah bahwa manusia Indonesia menegakkan harmoni dalam hubungannya dengan alam semesta dan masyarakat. Harmoni atau keselarasan itulah yang tergambar dalam Pancasila berupa
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sikap budaya harmonis itu banyak persamaannya dengan sikap dan budaya berbagai bangsa di Asia –sehingga kita sebut budaya Timur. Namun, sikap budaya itu berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap budaya dunia Barat yang sejak Renaissance di abad ke-15 mengambil sikap budaya yang menaklukkan alam (to conquer nature). Sisingamangaraja menolak invasi Belanda dalam hal ini, karena tidak sesuai dengan harmoni.
Jika sikap budaya Harmoni memandang kebersamaan atau masyarakat sebagai pilar kehidupan, maka sikap budaya Barat menganggap individu manusia sebagai nilai utama. Itu sebabnya dunia Barat menghasilkan individualisme dan liberalisme, diikuti materialisme yang bermuara pada imperialisme dan kolonialisme. Maka perayaan untuk memperingati sumbangsih Raja Si Singamangaraja berarti mengembalikan memori kita kepada jasa pahlawan, selain itu mengingatkan akan jasa-jasa pahlawan dan para pendiri Bangsa, yaitu melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen
---
PADA saat memberikan orasi ilmiah di UGM, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa Pancasila mulai tererosi dari jiwa bangsa. Pada era reformasi kata Pancasila sudah jarang terdengar, padahal di masa lalu selalu diucapkan oleh siapapun dan seakan sakti. Orang Indonesia pada ’sungkan’ untuk menyebut Pancasila. Bahkan hal ini kejadian pada saat saya memberi kuliah untuk mahasiswa tingkat magister di UPN Yogyakarta sepekan sebelumnya, ketika saya menyatakan bahwa kunci keberhasilan adalah Indonesia untuk keluar dari belenggu krisis ini adalah ’kembali kepada Pancasila’. Ada mahasiswa yang berkomentar bahwa ternyata yang terjadi adalah manusia-manusia yang mengaku Pancasilais menjadi monoloyalitas –dan itulah kesalahan fatalnya begitu kata mahasiswa tersebut. Menanggapi hal tersebut saya nyatakan bahwa memang Pancasila mengajarkan monoloyalitas, tetapi monoloyalitas yang tepat yaitu kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang telah dicontohkan oleh para pahlawan kita yang mengorbankan jiwa dan raga untuk loyal kepada tanah air. Bukan kepada individu. NKRI adalah harga amati.█ DIMUAT di majalah Komite pada bulan Juni 2007

Perlindungan Sosial

BADAN Pendidikan dan Penelitian (Badiklit) Departemen Sosial pada hari Selasa, 03 Oktober 2006 menyelenggarakan seminar bertajuk Analisis Kebijakan Perlindungan Sosial (perspektif Ketahanan Sosial Masyarakat) di Jakarta. Pada sesi pertama, saya beserta Dr Edi Suharto (Ketua program pascasarjana Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung) menjadi pembicara yang membahas tentang “Kebijakan Perlindungan Sosial terhadap Kelompok Rentan dan Kurang Beruntung”.
Di bagian pembukaannya, Kepala Badiklit, Dr Marzuki, memaparkan bahwa aspek perlindungan sosial sangat ditekankan di APBN beberapa negara persemakmuran –terlihat dari besarannya yang mencapai 57%. Dengan demikian perlindungan sosial di negara-negara tersebut mampu mencapai batasan usia dari 0 (nol) tahun sampai ketika manusia tersebut meninggal. Sedangkan pembicara pertama Dr Edi mengetengahkan wacana bahwa aspek perlindungan sosial semakin memprihatinkan dewasa ini. Beliau mencontohkan apa yang terjadi beberapa pekan yang lalu saat Sumirah (35) seorang pemulung melahirkan anaknya di bawah pohon. Seorang pembaca kemudian menulis keprihatian akan nasib Sumirah tersebut di surat pembaca Kompas tanggal 29 September 2006 dengan menyatakan “Negara tidak bisa lepas tanggung jawab sebab setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Mestinya jika pemerintah bisa menegakkan keadilan sosial, kemiskinan akan semakin berkurang”.
Apakah Negara memang demikian memprihatinkan perhatiannya dalam memberikan perlindungan sosial? Apakah ini berarti bahwa sejak kemerdekaannya lebih dari 60 tahun lalu pembangunan Indonesia tidak mengalami kemajuan? Jawaban yang lebih arif adalah kita perlu membandingkannya dengan Negara lain. Perlu diakui bahwa beberapa indikator sosial, politik dan ekonomi Indonesia menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Namun kemajuan tersebut tidak berarti apabila dibandingkan kemajuan yang lebih dahsyat dari negara lain.
Hanya masalahnya, negara lain maju lebih cepat. Ekonom dari Amerika Serikat, penasihat Sekjen PBB Koffi Anand, Professor Jeffry Sach menyatakan bahwa pada tahun 1984, angka ekspor Indonesia adalah USD 4 miliar, sementara ekspor China baru mencapai USD 3 miliar. Tetapi, 20 tahun kemudian di tahun 2004, ekspor RRC telah mencapai USD 700 miliar, sedangkan ekspor Indonesia baru mencapai sekitar USD 70 miliar.
Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam luar biasa dan keunggulan komparatif lainnya yang begitu potensial, ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia –baik Asia maupun kawasan ASEAN sekalipun- seharusnya menyadarkan kita bahwa pastilah ada sesuatu yang salah dalam pendekatan pembangunan dan pengelolaan negara ini.
**
Satu hal yang perlu juga diperhatikan apabila kita menuntut pemenuhan Negara adalah apakah Negara mampu mengelola segenap potensinya untuk menyediakan segala permintaan rakyatnya. Kemudian kedua apakah masyarakat memang benar-benar tidak mampu untuk menyediakan perlindungan sosial bagi dirinya sendiri.
Disinilah konsep pemenuhan hak dasar perlu untuk direnungkan kembali. Bagi saya yang lebih relevan barangkali adalah basic needs development –pemenuhan kebutuhan dasar. Pemenuhan kebutuhan dasar berbasis pendekatan untuk penyediaan kebutuhan minimum bagi penduduk yang tergolong miskin. Kebutuhan minimum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hanya pangan-pakaian-papan saja, melainkan juga kemudahan akses pada pelayanan air bersih, sanitasi, transport, kesehatan, dan pendidikan. Antara ’kebutuhan’ dan ’hak’ memiliki cakupan yang berbeda –terminologi hak relatif cenderung untuk tidak tak terbatas.
Solusinya untuk mengatasi kesenjangan –antara kebutuhan masyarakat untuk perlindungan sosial yang tergolong banyak, sementara anggaran Pemerintah yang sedikit- menuntut kecerdasan pemerintah untuk lebih responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Caranya? Bersama kita harus bisa. Pemerintah perlu mengajak sektor swasta maupun masyarakat, juga LSM, yang bertujuan untuk melindungi kelompok rentan terhadap resiko-resiko penghidupan (livelihood) dan meningkatkan status dan hak sosial kelompok-kelompok yang terpinggirkan di dalam suatu masyarakat
Pemerintah perlu melibatkan seluruh unsur stakeholder termasuk kalangan usahawan, perbankan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai representasi stakeholder lainnya. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi maka peranan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) menjadi sangat strategis.
Strateginya adalah pemberdayaan masyarakat. Pada usia dini, sang anak harus disediakan pelayanan kesehatan dan pendidikannya agar mempunyai etos kerja kelak ketika dia dewasa. Pada usia dewasa dan saat bekerja (masa usia produktif, 15-55 tahun) manusia tersebut harus mengoptimalkan segenap potensinya untuk mencari uang, meraih profit, dan menabung –apabila perlu didampingi oleh para penyuluh atau petugas lapangan. Menabung di sini diharapkan mengandung pengertian sebagai berikut;
1. Tabungan untuk memenuhi hidup sehari-hari, 2. Tabungan untuk modal usaha, 3. Tabungan untuk jaminan sosial jangka pendek, menengah dan hari tua, 4.Tabungan untuk membantu sesamanya dalam bentuk sumbangan, bayar zakat, infaq, dan sodaqoh (ZIS), dan 5). Tabungan untuk bela negara yakni membayar pajak
Apabila kelima hal tersebut dapat diterapkan, berarti individu tersebut benar-benar telah memberdayakan dirinya dan ’terbebas’ dari bantuan Negara/ Pemerintah. Tidak hanya itu saja, bahkan orang tersebut dapat membantu orang lain, even membantu Negara dalam hal ini. Semua jadi bahagia –layaknya komentar versi Singapura English, “I am happy, you happy, same-same laahhh”.
**
Tema yang diajukan panitia pada saat itu mengenai “Kebijakan Perlindungan Sosial terhadap Kelompok Rentan dan Kurang Beruntung”, setidaknya memiliki 3 (tiga) kata kunci, yakni pertama perlindungan sosial, kedua kelompok rentan, dan ketiga kurang beruntung. Perlindungan sosial dalam hal ini adalah kebijakan yang diarahkan kepada kelompok usia pasca produktif (di atas 55 tahun) berupa jaminan sosial dalam rangka pengurangan beban hidup. Bentuk perlindungan sosial yang lestari adalah tabungan hari tua yang memang telah dikumpulkan semenjak dia muda, sedangkan yang temporer dapat berupa uang pensiun ataupun asuransi kesehatan. Perlindungan sosial ini berbeda dengan pelayanan dasar dan penanggulangan kemiskinan, apabila dilihat dari kelompok sasarannya.
Penanggulangan kemiskinan ditujukan kepada kelompok usia produktif (15-55 tahun) berupa pemberian modal usaha agar bekerja, kemudian mendapatkan keuntungan, dan mampu menabung. Pelayanan dasar ditujukan kepada kelompok usia belum produktif (0-15 tahun) berupa fasilitas pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya siapa yang dimaksud kelompok rentan? Kelompok rentan adalah mereka yang mempunyai pendapatan di sekitar garis kemiskinan. Mereka sangat rentan untuk dapat jatuh dalam katagori miskin. Menurut BPS, Garis Kemiskinan pada tahun 2006 adalah Rp 175.324,00 per kapita per bulan (untuk kota) dan Rp 131.256,00 per kapita per bulan (untuk desa).
Berikutnya adalah kelompok kurang beruntung, dalam hal ini kita mengenal fakir miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Kelompok fakir adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Kelompok miskin adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Mereka yang disebut PMKS diantaranya adalah gelandangan, pengemis, bekas narapidana terlantar, anak jalanan, penyandang cacat terlantar, lansia terlantar, tuna susila, dan komunitas adat terpencil.
Upaya penanggulangan kemiskinan selayaknya diarahkan kepada membangkitkan semangat orang untuk bekerja, dan memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Dengan adanya pelatihan kepada masyarakat miskin maka akan membangkitkan cipta, rasa, karsa, dalam rangka menumbuhkan jati diri bangsa melalui pengembangan sektor usaha produktif.
Penanggulangan kemiskinan diharapkan dapat membangkitkan kebersamaan melalui: nilai-nilai kepahlawanan (anti ketidakadilan), nilai-nilai kebersamaan melalui gotongroyong, dan menumbuhkan nilai-nilai semangat wawasan kebangsaan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhloi. Amien. TULISAN ini pernah dimuat di kolom Renungan majalah KOMITE bulan Oktober 2006

Problematika Sosial

BERGULIRNYA reformasi dan demokratisasi ternyata diiringi oleh semakin munculnya berbagai permasalahan sosial. Meskipun dapat dikatakan bukan merupakan bagian sebab-akibat, tetapi satuhal yang mempersamakannya adalah waktu yang berbarengan. Pada era pemerintahan terdahulu, permasalahan sosial tidak mengemuka seperti sekarang –dengan ketidakdemokrasian birokrasi menjadi ciri khas rejimnya. Tetapi sekarang…. Permasalahan bermunculan dari mulai problematika ‘bikinan’ manusia (curanmor, pembunuhan, perusakan massa yang tidak puas hasil Pilkada, pencurian: dari skala kecil sampai ke korupsi), kemudian permasalahan yang merupakan takdir dari-Nya (bencana alam: tsunami, banjir, gunung meletus) sampai ke permasalahan yang batasnya tipis antara buatan manusia atau suratan takdir (lumpur panas). Beberapa pihak kemudian menyatakan bahwa demokrasi yang kita jalani tampaknya melelahkan. Demokrasi perlu untuk lebih diefektifkan dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.
Pemerintah tentunya perlu menyikapi hal ini dengan perubahan paradigma –salahsatunya dalam hal pelayanan publik. Seperti misalnya Departemen Sosial yang bertekad untuk melakukan reinventing pembangunan kesejahteraan sosial dalam dalam format revitalisasi paradigmatik ke arah growth with redistribution dengan meletakkan people centered development yang bertumpu pada:
Pertama, perubahan ideologi kesejahteraan sosial dari welfare state ke arah welfare society –yaitu dengan memberikan proporsi lebih besar kepada seluruh komponen masyarakat lokal dan internasional serta dunia usaha dalam penanggulangan permasalahan sosial. Kedua, rekonstruksi kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial dari residual ke arah kebijakan publik yang menegaskan kembali bahwa kesejahteraan sosial menjadi hak dan tanggung jawab bersama bagi setiap warga negara (social welfare for all). Ketiga, rekonstruksi model pendekatan pembangunan kesejahteraan sosial yang semula mengutamakan pelayanan sosial menjadi pemberdayaan. Keempat, menguatnya good governance dengan menyandingkan unsur pemeerintah, masyarakat, dan dunia usaha sebagai sistem jejaring dalam pendekatan pembangunan. Kelima, meletakkan values based approach dan research based approach dalam setiap rancangan kebijakan. Data menjadi kunci dalam hal ini, misalnya dalam penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan agar tepat sasaran (by name by address).
Kelima konsep tersebut tentuya masih bertaraf paradigmatik yang masih diperlukan langkah yang bersifat sistemik untuk pemecahan persoalan-persoalan bangsa. Beberapa daerah seperti Solok, Sragen, dan Jembrana mengaplikasikan sistem pelayanan satu atap sebagai praktiknya. Kemudian ada juga provinsi Gorontalo dengan membuat efisiensi dan efektifitas dalam pemberian reward pegawai. Diperlukan kreatifitas aparatur pemerintah untuk meminimumkan permasalahan sosial yang mungkin timbul dari birokrasi.
Pada tahun ini di Departemen Sosial telah diujicobakan program Surat Kuasa Pengguna Anggaran (SKPA). Dengan program ini maka Depsos memberikan kewenangan kepada Dinas Sosial di daerah (tepatnya di 44 kabupaten/ kota) untuk menggunakan anggaran yang telah diperbantukan dari pemerintah Pusat kepada Daerah. Tujuan utamanya adalah pemberdayaan kepada masyarakat miskin yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE) agar dapat bekerja, mendapatkan untung, dan mampu menabung. Selain itu, Departemen Sosial menyambut gembira akan adanya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat –yang mengambil PPK dan P2KP sebagai best practice. Dengan mengemukanya konsep pemberdayaan maka mekanisme bantuan yang karitatif kepada masyarakat miskin tentunya akan semakin dihindari.
***
Tahun 2006 akan segera beralih menjadi tahun 2007. Berganti tahun, di tahun yang baru yang semoga tidak terdengar lagi permasalahan bangsa akibat ulah dari segelintir orang. Kemungkinan ada bencana mungkin menjadi keniscayaan bagi siapapun yang hidup di dunia ini. Tapi effort kita adalah optimalisasi penanggulangan bencana, dari mulai sistem peringatan dini, sampai ke penanganan para korban. Bertubitubinya bencana selayaknya membuat kita lebih dewasa. Dewasa dan optimis melihat masa depan. Dari RAPBN 2007 tersirat optimisme akan tahun yang lebih baik: pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 6,3%, dan turunnya SBI 3 bulan menjadi 8,5%. Semoga menjadi awal mula tahun emas bangsa, jayalah Negeriku, Indonesia bangkit! gunawansumo@yahoo.com. TULISAN ini pernah dimuat di Majalah Komite bulan Desember 2006 dengan judul "PROBLEMATIKA SOSIAL DAN UPAYA PEMECAHANNYA".

Sang Waktu

Wal asri innal insaana lafi khusr illalladziina amanu wa amilus shaalihati watawa shaubil haqqi wa tawa shaubis shobr (Demi waktu sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh. Mereka yang saling mewasiatkan kebenaran dan kesabaran).

Pada Ramadan hari ke-16 kami diberi kesempatan untuk menyampaikan kuliah tujuh menit (kultum) di Masjid Al-hikmah, Departemen Sosial. Pada waktu itu Surat Wal Asri di atas yang kami jadikan tema utama, ditambah dengan Laha maksabat wa’alaiha mak tasabat dari QS Al Baqarah ayat 286. Nuansa puasa semestinya membuat kita sadar bahwa puasa tidak selayaknya membuat kita menjadi lemah lunglai. Dalam menjalankan puasa kita harus tetap semangat, tetap beraktifitas seperti biasanya, jangan hanya diisi aktifitas tidur saja. Memang ada hadist mengatakan,”Tidurnya orang berpuasa itu ibadah” tetapi tafsirnya yang lebih tepat adalah: tidurnya saja dimasukkan ibadah, apalagi momen ketika tidak tidur –misalnya untuk bekerja yang positif- tentunya akan mendatangkan pahala ibadah yang lebih banyak (merujuk pendapat Hj. Tuty Alawiyah). Dalam hal ini saya jadi teringat lagu yang dipopulerkan Wali Songo mengenai “Sluku-sluku Batok” pada kalimat terakhirnya terungkap yen urip goleka dhuwit alias kalau hidup carilah uang. Lagu yang sederhana tetapi dalam maknanya: kita harus bekerja selagi hayat masih dikandung badan. Kalau kita hanya tidur sewaktu puasa, maka kita telah membuang waktu begitu saja.

Puasa juga selayaknya membuat kita musti banyak bersyukur, bahwa selama ini kita hidup dalam kecukupan. Cukup makan, cukup minum, cukup bersenang-senang. Tetapi di bulan ramadhan ini dibatasi agar kita sadar bahwa ada segolongan masyarakat yang tidak bisa memenuhi ’cukup makan, cukup minum, cukup bersenang-senang’ tersebut. Maka harus kita sisihkan kecukupan kita untuk masyarakat yang lemah tersebut. Selama ini kecukupuan kita tersebut kita tabung, maka tabungan itu harus disisihkan, tabungan tidak boleh menumpuk terlalu banyak, harus disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Puasa menggambarkan kita untuk ’mantab’ (makan tabungan) yaitu bekal di saat sahur untuk bertahan sehari penuh puasa. Tabungan kita setidaknya harus dipergunakan untuk:
1. konsumsi hidup seharihari untuk diri sendiri dan keluarga
2. modal usaha untuk masa depan
3. jaminan hari tua untuk anak-cucu
4. zakat infak shadakah untuk amal jariyah
5. pajak untuk Negara
Tabungan itulah yang merupakan konsep dari Prof. Muhammad Yunus untuk meraih Nobel Perdamaian tahun 2006 –agar masyarakat miskin dapat meminjam uang di bank kemudian bekerja dan menyisihkan pendapatannya untuk menabung. Melalui pemikiran banking for the poor maka dimunculkan grameen bank project di desa-desa. Kegiatan Prof. Yunus merupakan bagian dari amal shaleh kepada rakyat miskin, dengan memberi kabar kebenaran (dalam hal ini trust) kepada mereka, dan kesadaran dalam mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan memberi pekerjaan kepada golongan masyarakat miskin, maka pikiran untuk masa depan akan lebih diperhatikan. Selama ini terdapat paradoks: orang kaya bertambah kaya, orang miskin bertambah anak. Dengan kata lain orang kaya cenderung anaknya sedikit (hanya 3 atau 2, bahkan 1), sebaliknya orang miskin kebanyakan beranak pinak dalam jumlah besar. Dengan mereka bekerja maka akan lebih memperhatikan kondisi keuangan di masa nanti, masa depan diri-sendiri, dan generasi mendatang.

Kembali kepada isitilah mantab alias makan tabungan, maka kalau ada sinyalemen yang menyatakan bahwa ’orang pensiun itu kerjanya mantab’–selayaknya orang tersebut malah bangga. Karena apa yang dinikmati saat tua adalah buah dari jerih payak di usia muda.

Sebagai penutup, ada cerita hikmah yang merupakan sharing dari pak Eman –tokoh Corporate Forum for Community Development- ketika mengisi acara CSR yang diselenggarakan Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 09 September 2006 lalu. Ceritanya begini, seorang pria memiliki 4 (empat) orang istri. Istri pertamanya orang yang rajin beramal dan berderma tetapi tidak cantik lagi karena sudah sangat tua, istri kedua kaya tetapi galak, istri ketiga pandai dan penyayang tetapi pelit, dan istri keempat paling cantik dan muda tetapi boros. Suatu waktu sang pria ini sakit parah dan hampir sekarat, lalu dia menanyai satu persatu istrinya siapakah yang mau ikut dirinya menemani ke alam baka. Istri ke dua, ketiga, dan keempat menolak, hanya istri pertama yang bersedia. Hikmah dari cerita tadi adalah ketika kita mati yang namanya kekayaan, kepandaian, dan kecantikan, itu tidak dibawa ke alam baka. Hanya amalan (disimbolkan oleh istri pertama yang rajin berderma) yang akan membimbing kita menuju surga-Nya. Wal ashr –demi saat ashar. Mengapa ashar? Karena hal itu merupakan peringatan bahwa kita akan mendekati maghrib (masa tua) kita. Kita harus banyak beramal untuk bekal di masa tua tersebut. Laaha maksabat wa’alaiha mak tasabat –siapa yang menanam akan menuai hasilnya.

Wal ashr –demi saat ashar. Mengapa ashar? Karena hal itu merupakan peringatan bahwa kita akan mendekati maghrib (masa tua) kita. Kita harus banyak beramal untuk bekal di masa tua tersebut. Sekian, kalau ada kebenaran dalam ucapan saya maka datangnya pasti dari Allah SWT, kalau ada kesalahan itu datangnya dari diri saya sendiri.█ Pernah dimuat di kolom Renungan pada majalah Komite bulan Oktober 2006

Individu, Masyarakat, Bangsa dan Negara

TUJUAN berbangsa dan bernegara dimulai dari tujuan kita hidup. Tujuannya adalah bagaimana memenuhi kesejahteraan –melalui kesempatan kerja, dan akhirnya menghasilkan pendapatan. Dari tujuan hidup ini dituangkan kepada cita-cita bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945yang muaranya adalah dari aspek dalam negeri dan aspek luar negeri. Dari aspek dalam negeri adalah mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melindungi warganya (menciptakan rasa aman). Rasa aman tersebut secara ekonomi, sosial, dan politik. Baru setelah ketiga hal tersebut terpenuhi, maka kita jaga aspek ketertiban dunia. Ketertiban dunia akan tercipta kalau kebersamaan antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing terwujud.
Sebelum menjaga tertib dunia kita harus menjaga ketertiban dalam negeri sendiri. Ketertiban dalam negeri adalah apabila masyarakatnya merasa terlindungi. Terlindungi berarti kebutuhan lahir dan batin terpenuhi. Oleh karena itu dari tujuan hidup menjadi tujuan berbangsa yang kemudian dituangkan dalam peratuan perundangan. Tujuan berbagsa dituangkan dalam Pembukaan UUD 45, yang kemudian dilaksanakannya dalam peraturan perundangan yang operasional, ada UU Perencanaan (UU no 5 tahun 2005), UU Keuangan Negara dan UU Otonomi Daerah. Selain itu ada juga UU sektor-sektor riil seperti Pekerjaan Umum, Pertanian, Koperasi, dan Perbankan.
Pada masa lalu, strategi ditentukan oleh pemikiran zero sum game. Dalam waktu yang sama selalu terdapat situasi dimana jika suatu pihak berhasil maka keberhasilannya atau kemenangannya itu karena ada pihak lain yang gagal atau mengalami kekalahan. Situasi demikian menimbulkan rantai keterbelakangan tanpa akhir sehingga lebih lanjut menyebabkan ketidakadilan yang akut. Negara berkembang dan negara miskin senantiasa miskin. Penduduknya bergelimang kesengsaraan. Situasi ini harus diubah. Sehingga suatui konsep win-win solution perlu diterjemahkan dalam aksi nyata agar tatanan dunia lebih adil dan mampu lebih mempersembahkan kesejahteraan bagi penduduk miskin baik yang berada di negara miskin, negara berkembang, maupun di negara maju sekalipun. Aplikasi konsep win-win solution ini sudah lama digagas oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu mulai dari konsep demokrasi-nya Socrates hingga konsep The Third Way-nya Giddens. Di Amerika Serikat, win-win solution antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian social security services, di Jerman diaplikasikan dalam bentuk sistem pasar sosial. Indonesia pada masa sekarang mencoba menerapkan subsidi langsung tunai (SLT) yang tentunya membutuhkan penyempurnaan ke depan –misalnya melalui pendampingan untuk pemberdayaan si miskin.
Keberhasilan berbangsa dan bernegara juga ditentukan oleh pemimpinnya. Tentunya pemimpin yang cerdas secara emosional, intelektual, dan spiritual. Intinya bahwa pemimpin harus merasa bukanlah jabatan melainkan tugas dan kewajiban. Hari ini kita cenderung melihat pemimpin semata-mata sebagai jabatan. Dengan melihat kepemimpinan sebagai sebuah jabatan, kita akan cenderung menggantungkan seluruh beban dan kewajiban kepada pemimpin. Sekarang bayangkan sebuah tim sepak bola. Jika seluruh anggota tim menggantungkan beban sepenuhnya kepada sang Kapten, dan tidak berbuat apa-apa, dapat dipastikan kesebelasan tersebut pasti kalah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus melihat diri sebagai sebuah tim. Di dalam sebuah tim yang baik, semua orang harus mampu menjadi pemimpin di tempatnya masing-masing, dan secara efektif saling menggantikan posisi jika tantangan kepada tim tersebut berganti.
Semua menjadi pemimpin bukan berarti semua harus menjadi Presiden atau semua menjadi Menteri. Di Indonesia, paling tidak kita memiliki tiga anggota, pemerintah (sektor publik), badan-badan usaha (sektor bisnis), dan nirlaba. Masing-masing harus menjadi pemimpin di tempatnya masing-masing dan mengontribusikan keunggulan kepemimpinan kita kepada tim. Dengan demikian, bertanggung jawab akan apa yang kita kerjakan. Namun, pemimpin bukan sekadar pemimpin. Ia juga harus menjadi guru bagi setiap mereka yang dipimpinnya. Seorang guru bukan mengajar dengan kata-kata, namun tindakan. Ada tiga hal yang perlu dimiliki pemimpin—keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Itulah yang harus diajarkan melalui teladan dan dilakukan secara terus-menerus.• █ Tulisan ini pernah dimuat di kolom RENUNGAN pada majalah Komite bulan November 2005

Aspek Pembangunan Ekonomi dan Kemiskinan

PADA bulan Januari 2005 ini saya diundang oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk membahas kaitan antara pembangunan ekonomi dan kemiskinan. Meski saya berhalangan hadir, tetapi makalah yang telah saya persiapkan tetap dikirim pada acara tersebut. Mengenai tema ”pembangunan ekonomi dan kemiskinan” tentunya kaitannya sangat erat. Namun jangan sampai melupakan satu aspek lagi: pembangunan sosial.
Dalam salah satu buku (Alm) Prof Mubyarto tentang ’Membangun Sistem Ekonomi” diungkap pernyataan ekonomi Bank Dunia yang bernama Nancy Birdsall pada tahun 1993 yang menyatakan ”...investment in people, in human and social development, have among the highest economic returns of all possible spending directed to long term economic development” artinya: pembangunan sosial adalah pembangunan ekonomi. Bahwa ternyata investasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang biasanya masuk katagori pembangunan sosial, dalam waktu relatif singkat mempunyai dampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada perkembangannya, makna pembangunan dan kemiskinan semakin meluas.
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2004-2009 pendekatan kemiskinan memakai perspektif hak dasar (right based approach). Pada periode ini upaya komprehensif, yaitu pemaduan antara aspek sosial dengan ekonomi dan politik tampak dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. RPJMN menyebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekolompok orang dalam menjalani kehidupan secara martabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik baik bagi perempuan maupun laki-laki.

1. Hakikat Pembangunan
ROH pembangunan adalah penanggulangan kemiskinan, demikian yang pernah dikatakan oleh –misalnya- seorang ekonom Michael P. Todaro dalam bukunya Economic Development (2003, halaman 195 tentang Poverty, Inequality, and Development). Para founding fathers telah sadar mengenai hal itu. Sehingga dalam Pembukaan UUD 1945 termuat tujuan berbangsa bernegara yaitu mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi warganya, dan ikut menjaga ketertiban dunia. Salahsatu bagian dari mewujudkan kesejahteraan umum adalah penanggulangan kemiskinan, selain dari pengurangan kesenjangan, serta penurunan tingkat pengangguran.
Terminologi pembangunan sendiri menurut beberapa kalangan dibagi menjadi pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan ekonomi dipahami sebagai investasi dalam infrastruktur, pembukaan usaha (perdagangan dan industri), dan perluasan akses pasar. Dapat pula dipahami bahwa pembangunan ekonomi dilakukan melalui pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Keberpihakan tersebut diwujudkan melalui keterlibatan semua unsur masyarakat seperti lembaga keuangan atau perbankan, dunia usaha, LSM, dan juga perguruan tinggi dalam pendampingan kepada masyarakat (KKMB). Keberpihakan ini akan membawa pembangunan berjalan secara mandiri dan berkelanjutan berlandaskan pada mekanisme pasar yang berkeadilan sosial (friendly market mechanism). Sedangkan pembangunan sosial adalah bagaimana pembangunan mampu mewujudkan pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan budaya. Pendidikan berupa beasiswa, pendidikan dasar gratis, dan pengalokasikan APBN sebesar 20% kepada pendidikan. Kesehatan adalah penyelenggaraan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan tanpa diskriminasi. Budaya adalah etos kerja masyarakat yang membuat bangsa maju dan mandiri.
Dengan demikian, pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses alamiah (natural) yang berjalan secara berkesinambungan untuk mewujudkan cita-cita bernegara yaitu mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera dan merata. Kata multidimensional disini menandakan pembangunan tidak hanya mencakup aspek ekonomi, namun juga politik dan sosial budaya.

2. Strategi, Kebijakan, dan Program Penanggulangan Kemiskinan
SETIAP perencanaan pembangunan yang diarahkan pada penanggulangan kemiskinan paling tidak harus memuat unsur-unsur pokok sebagai berikut. Pertama, strategi dasar yang merupakan acuan dari seluruh upaya penanggulangan kemiskinan; kedua, kerangka rencana makro yang memuat berbagai besaran sebagai sasaran yang harus dicapai; ketiga, perkiraan sumber-sumber pembangunan terutama sumber pembiayaan; keempat, kerangka dan perangkat kebijaksanaan berupa program pembangunan yang secara konsisten diarahkan pada penanggulangan kemiskinan.
Dengan berjalannya waktu, masyarakat makin menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang diupayakan melalui berbagai program tidak dapat dengan sendirinya dapat menyelesaikan permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi. Diperlukan suatu strategi atau arah baru dari kebijaksanaan pembangunan yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan. Strategi itu pada dasarnya mempunyai tiga arah. Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Dan ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat.
Strategi pembangunan seperti itu perlu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Perubahan struktur yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah yaitu yang menghasilkan akan menikmati. Begitu pula sebaliknya, yang menikmati adalah yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya penanggulangan kemiskinan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.

3. Penutup
UNTUK mengatasi kemiskinan, kunci utamanya terletak pada masyarakat miskin itu sendiri. Masyarakat harus mandiri dan memahami semangat ”siapa yang menanam, dia akan menuai hasilnya” (Jawa: ”sapa sing nandur bakal ngunduh”). Prinsip tersebut dapat diperluas menjadi ”siapa yang bekerja harus menikmati, siapa yang ingin menikmati harus bekerja”. Bekerja merupakan jawaban untuk penanggulangan kemiskinan.
Namun seringkali karena asumsi-asumsi pasar tidak berlaku (unemployment, unequal productivity, not efficient) maka struktur ekonomi dapat merubah hukum sebab akibat menjadi ”yang menanam tetapi tidak memetik hasilnya”. Disinilah penting dan strategisnya peran intervensi pemerintah sebagai wasit dalam kompetisi antarpelaku ekonomi sehingga pada akhirnya akan terwujud iklim persaingan usaha yang sehat, adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Itu adalah pembangunan ekonomi. Dalam konteks pembangunan sosial, pembangunan harus mewujudkan pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Bukankah, social development is economic developmentTulisan ini pernah dimuat di Majalah Komite bulan Februari 2005