Kamis, 07 Agustus 2008

'Kasihsayang' Bukan 'Belaskasihan'

KITA sepakat bahwa program penanggulangan kemiskinan tidak boleh hanya charity semata, namun selanjutnya harus diikuti dengan langkah pemberdayaan dalam penanganan kemiskinan guna memperkuat keberfungsian sosial seseorang. Disini kami menenkankan bahwa ‘dari belas kasihan menjadi kasih sayang’. Maka upaya untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya ekonomi Indonesia serta mengurangi kemiskinan –dalam kerangka Ekonomi Pancasila- adalah “Bersama Membangun Bangsa”. Bekerjasama dengan BUMN dan swasta maka kita perlu mengoptimalkan CSR atau corporate social responsibility dalam upaya mengembalikan pusat ekonomi kepada rakyat: pembangunan dari-oleh-untuk Rakyat di Daerah. Lebih tepatnya Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan. Mengutip laporan dari Bappenas dalam “Inventarisasi Program-program penanggulangan Kemiskinan” tahun 2002- menyatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan program selama ini yaitu banyak pengkategorian yang sebenarnya berbeda dengan tujuan penanggulangan kemiskinan. Seperti kelompok sasaran yang tidak ke usia produktif (15-55 tahun), adanya program yang bersifat pemberian bantuan (charity, karitatif), dan tumpangtindihnya program lintas sektor lintas regional. Kondisi yang dinginkan adalah paradigma pemberdayaan yang menjadi ‘ruh’ penanggulangan kemiskinan, kemudian terkikisnya ego sektoral, dan koordinasi yang rapi lintas sektor dan lintas regional. Sehingga tidak saatnya lagi kita hanya ‘memberi’ kepada orang miskin, tapi harus kita berdayakan. Beri mereka kepercayaan untuk mengelola modal dalam rangka mengembangkan usaha. Beri kesempatan untuk berkompetisi di pasar, dan bergaul dengan indah bersama perbankan. Perlakukan mereka secara sama dalam kesempatan berusaha.█ TULISAN ini merupakan rangkuman dari makalah yang dapat diunduh di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/revitalisasi-makna-pemberdayaan-sosial.html

Bebas Nilaikah SEP

SISTEM Ekonomi Pancasila atau SEP tidak bebas nilai. Bahkan sistem nilai (value system) inilah yang akan mempengaruhi tindakan dari para pelaku ekonomi. Sistem yang dikembangkan semestinya bertolak dari ideologi yang dianut, dalam hal ini adalah ideologi Pancasila. Sistem itulah elan vital dari manusia berperilaku. Ideologi Pancasila masih terus berkembang sesuai dengan dinamika pertumbuhan masyarakat, namun kelima sila secara utuh harus dijadikan leitstar (bintang pengarahan), ke jurusan mana sistem nilai nanti akan dikembangkan. Dalam Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan yang merupakan pokok bagi kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan "hak menguasai" ini perlu dijaga supaya sistem yang berkembang tidak menjurus ke arah etatisme. Oleh karena itu, "hak menguasai oleh negara" harus dilihat dalam konteks pelaksanaan hak dan kewajiban negara sebagai; (1) pemilik; (2) pengatur; (3) perencana; (4) pelaksana; dan (5) pengawas. Ramuan kelima pokok ini dengan bobot yang berlainan dapat menempatkan negara dalam kedudukannya untuk menguasai lingkungan alam, sehingga "hak menguasai" bisa dilakukan baik dengan memiliki sumberdaya alam, maupun tidak memiliki sumberdaya alam, namun mewujudkan hak menguasai itu melalui jalur pengaturan, perencanaan, dan pengawasan. ▀ SELENGKAPNYA di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/sistem-ekonomi-pancasila.html

Lagi: Ekonomi Pancasila

SISTEM Ekonomi Pancasila secara umum dapat diartikan yang memadukan ideologi-konstitusional (Pancasila dan UUD 1945) bangsa Indonesia dengan Sistem Ekonomi Campuran (Sistem Ekonomi Pasar Terkelola) yang diwujudkan melalui kerangka demokrasi ekonomi serta dijabarkan dalam langkah-langkah ekonomi yang memihak dan memberdayakan seluruh lapisan masyarakat, yang ditujukan untuk mewujudkan tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Ciri-ciri Sistem Ekonomi Pancasila adalah pertama, peranan negara beserta aparatur ekonomi negara adalah penting, tetapi tidak dominan agar dicegah tumbuhnya sistem etatisme (serba negara). Peranan swasta adalah penting, tetapi juga tidak dominan agar dicegah tumbuhnya free fight liberalism. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, usaha negara dan swasta tumbuh berdampingan dengan perimbangan tanpa dominasi berlebihan satu terhadap yang lain. Dalam konsep demokrasi ekonomi dan politik, hubungan politik dan ekonomi tidak vertikal, tetapi paralel horisontal.▀ SELENGKAPNYA di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/sistem-ekonomi-pancasila.html

Negara Maju dan Terbelakang

PERBEDAAN utama antara Bangsa yang telah maju dan yang masih miskin adalah pada sikap/ perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan. Terdapat beberapa prinsip kehidupan yaitu sebagai berikut (1) Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari, (2) Kejujuran dan integritas, (3) Bertanggungjawab, (4) Hormat pada aturan & hukum masyarakat, (5) Hormat pada hak orang/warga lain, (6) Cinta pada pekerjaan, (7) Berusaha keras untuk menabung & investasi, (8) Mau bekerja keras, (9) Tepat waktu, (10) Tidak menyalahkan orang lain. Di negara terbelakang/miskin /berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut. Kita terbelakang/lemah/miskin karena perilaku kita yang kurang atau tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat, ekonomi, dan negara..... ▀ NEXT on http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/aparat-dan-pemberdayaan-masyarakat.html

Faktor Pemengaruh Proses Pemberdayaan

URAIAN dari literatur pemberdayaan masyarakat sering menekankan adanya 2 (dua) faktor utama yang berpengaruh pada proses pemberdayaan, yaitu pertama adalah diri dan kedua adalah lingkungan. Diri dalam konteks pemberdayaan masyarakat adalah mencakup keluarga –yaitu keluarga yang menjadi peserta proses pemberdayaan. Sedangkan lingkungan (external) dalam proses tersebut mencakup pihak-pihak dan kondisi yang berada di luar keluarga atau lingkungan. Proses pembangunan yang alamiah hanya bisa terjadi jika asumsi-asumsi pembangunan dapat dipenuhi, yaitu kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity, equal access, level playing field), dan masing-masing pelaku bertindak rasional (efficient). Akan tetapi dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut sangat sulit untuk dipenuhi. Pasar seringkali tidak mampu memanfaatkan tenaga kerja dan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak mampu berada pada kondisi full employment. Kemudian tingkat kemampuan dan produktifitas pelaku ekonomi sangatlah beragam. Kondisi di atas diperburuk oleh kenyataan bahwa tidak setiap pelaku ekonomi mendasarkan setiap perilaku pasarnya atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan efisien. Dalam kondisi demikian pasar atau ekonom telah terdistrosi... ◄SELANJUTNYA silakan membaca di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/07/pemberdayaan-menuju-keluarga-mandiri.html

Sarasehan Kepahlawanan, Kesetiakawanan, dan Pemerkayaan

PADA bulan-bulan November dan Desember ini Departemen Sosial –tepatnya di Ditjen Pemberdayaan Sosial- akan mengadakan serangkaian kegiatan. Dimulai dari Hari Pahlawan sepekan lagi, kemudian penyelenggaraan East Asia Ministerial Forum on Families di Bali tanggal 17 November 2008, dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional pada tanggal 20 Desember di Istora Senayan. Untuk mewarnai kegiatan tersebut kami mengundang Tim Pemerkayaan Keluarga sebagai bagian dari Gerakan Nasional Kesejahteraan Sosial.

Sarasehan yang diselenggarakan pada tanggal 04 November 2008 ini mengundang 300 peserta terdiri dari kementerian lembaga, perbankan, dunia usaha, dan organisasi sosial seperti Karang Taruna dan Tagana. Tujuan dari acara ini adalah Tersosialisasikannya agenda kegiatan Ditjen Pemberdayaan Sosial pada bulan November-Desember 2008 meliputi Hari Pahlawan (10 November), EAMFF (17 November), dan HKSN (20 Desember). Kemudian kedua adanya saran dan masukan untuk melestarikan nilai-nilai kepahlawanan dan kesetiakawanan dalam keluarga. Sedang ketiga adalah keberlanjutan kegiatan dalam rangka pemaknaan wawasan kebangsaan.

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia, nomor: 82/ HUK/2005 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial” mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemberdayaan sosial. Sedangkan fungsinya adalah pertama Penyiapan perumusan kebijakan Departemen di bidang pemberdayaan sosial, kedua Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan sosial, ketiga Penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang pemberdayaan sosial, keempat Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pemberdayaan sosial, kelima Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial menangani Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ditjen Pemberdayaan Sosial dikoordinasi oleh Sekretariat Ditjen yang mempunyai tugas memberikan pelayanan administrasi di lingkungan Direktorat Jenderal. Direktorat di bawah Ditjen Pemberdayaan Sosial yang menangani PSKS terdiri dari Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, Direktorat Pemberdayaan Keluarga, dan Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Sedangkan direktorat yang menangani PMKS terdiri dari Direktorat Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat, serta Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial.

Saudara-saudara sekalian,
Mengembalikan peran keluarga sebagai subyek pembangunan merupakan kompromi antara peran negara dan keterlibatan masyarakat dewasa ini. Negara dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat mempunyai aspirasi tersendiri dalam mengembangkan individu dan mencintai bangsa dan negara. Individu-individu penyusun negara dan bangsa semuanya secara serempak berpengaruh secara signifikan. Individu berkumpul dalam keluarga, keluarga membentuk masyarakat, kemudian berjenjang ke tingkat RT, RW, Kelurahan, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, Negara, dan antar Negara.

Makna “Strong family strong nation”, dan ”Keluargaku adalah Martabatkau”, sebuah pesan moral yang sarat dengan makna keniscayaan yang patut menjadi pegangan bagi setiap insan yang mendambakan keharmonisan keluarga. banyak keluarga yang belum menyadari bahwa lingkungan sosial di luar keluarga saling terkait karena keluarga berada di tengah-tengah lingkungan sosialnya yang kemudian berkembang menjadi pemahaman kesejahteraan sosial keluarga dari beragam perspektif seperti persepsi keluarga sebagai penyebab masalah, korban dan sekaligus sumber pemecahan/penanganan masalah keluarga. Strategi penanganan keluarga yang diterapkan adalah melalui pemberian stimulan dengan tujuan untuk meningkatkan usaha pengembangan kemandirian keluarga. Lingkungan sosial keluarga merupakan entry point bagi terbangunnya proses sosial bagi anggota keluarga dalam menjalankan fungsi dan peran sosialnya. Kenyataannya ini perlu dimaknai bahwa menempatkan peran strategis keluarga dalam lingkungan sosial ini merupakan suatu kelaziman untuk mencegah dan mengatasi "ketidakberfungsian sosial " keluarga.
HKSN dari Masa ke Masa
HKSN atau Kari Kesetiakawanan Sosial Nasional sempat terhenti seremonialnya pada era reformasi. Kemudian dihidupkan lagi pada tahun 2006. Pada peringatan HKSN tahun 2006 di Solo Presiden menyatakan bahwa musuh kita yang terkini adalah kemiskinan. Ketika HKSN tahun 2007 di Medan –yang saatnya bertepatan dengan perayaan Idul Adha saat itu- beliau menyatakan bahwa sikap berkorban atau sifat untuk berbagi demi kepentingan bangsa perlu semakin kita kedepankan. Dari kedua acara HKSN tersebut Presiden selalu menekankan mengenai bagaimana kesetiakawanan sosial jangan sekadar menjadi wacana. Masyarakat dan dunia usaha harus mampu mewujudkan kesetiakawanan sosial dalam tindakan nyata agar permasalahan bangsa seperti kemiskinan dan pengangguran cepat teratasi. Presiden sempat mengistilahkan dengan “membangun ekonomi berdasarkan kesetiakawanan sosial”.
Sambutan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial pada Sarasehan “Hari Pahlawan, Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional, dan Pemerkayaan Keluarga” pada tanggal 04 November 2008 di Gedung Aneka Bakti, Departemen Sosial, Jakarta

Saudara-saudara sekalian,
Kabinet Indonresia Bersatu telah menetapkan triple track untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan, yaitu dengan employment, income, dan growth. Dalam khasanah ekonomika pembangunan, ketiganya merupakan solusi untuk mengantar masyarakat agar bertransformasi struktural. Misalnya pendapat Harrod-Domar yang membahas 2 (dua) tahap perkembangan masyarakat yaitu dari tradisional ke modern (underdevelopment ke developed communities). Chennery yang berpendapat 3 (tiga) tahapan dari pertanian, industri, lalu ke jasa. Kemudian Rostow yang berasumsi 5 (lima) tahapan yaitu tradisional, pra-kondisi lepas landas, lepas landas, tahap konsumsi tinggi, dan masyarakat yang matang.

Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Depsos mengadaptasi hal ini dengan slogan “Kerja Untung Tabung” atau Kutabung. Bahwa bekerja akan mendatangkan keuntungan (profit) yang kemudian disimpan (saving) untuk kehidupan mendatang. Dengan Kutabung akan memunculkan warga yang mandiri, dan pastinya menjadi sejahtera. Hal ini relevan dengan slogan triple track Kabinet Indonesia yaitu employment, income, dan growth. Dengan semangat triple-track tersebut maka Pemerintah mempunyai target untuk mengurangi pengangguran, penanggulangan kemiskinan, dan memacu pertumbuhan.
.....◄Diringkas dari Sambutan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial pada Sarasehan “Hari Pahlawan, Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional, dan Pemerkayaan Keluarga” pada tanggal 04 November 2008 di Gedung Aneka Bakti, Departemen Sosial, JakartaBaca juga di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/menyiasati-anggaran-yg-terbatas.html

Berawal dari Keluarga

MENJELANG akhir tahun kami di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial akan disibukkan dengan acara Hari Pahlawan tanggal 10 November, dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) tanggal 20 Desember. Tahun ini ditambah satu kegiatan yang melibatkan 16 kementerian sosial negara-negara ASEAN plus Australia, China, dan Jepang yang akan hadir untuk membahas masalah-masalah sosial di Bali, 17-19 Desember 2008 dalam acara East Asia Ministerial Forum on Families (EAMFF). Acara sosialisasi mengenai kegiatan-kegiatan tersebut diselenggarakan pada hari Selasa tanggal 04 November 2008 dengan mengambil tema “Kesetiakawanan dan kepahlawanan berawal dari keluarga (Solidarity and Heroism begin from home)”. Tema Renungan edisi kali ini beranjak dari tema sarasehan tersebut. Pembaca yang budiman, kondisi berbangsa dan bernegara sekarang ini dirasakan kondusif dengan nuansa demokratis yang telah berhasil dijaga keberlanjutannya oleh segenap komponen bangsa. Tetapi pada sisi lain suasana global merupakan tantangan bagi bangsa dan negara untuk mengatasi ancaman dan gangguan yang mungkin timbul. Beberapa bulan ini situasi ekonomi dunia baru dilanda keadaan mencemaskan yang terutama menerpa negara-negara maju.

Selain ekonomi, kondisi sosial budaya menjadi perihal yang juga patut diperhatikan. Dalam aspek ekonomi Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyiapkan strategi dan aksi menghadapi krisis dunia yang sepertinya telah menjadi siklus dasawarsa. Sedangkan aspek sosial-budaya dijaga oleh kementerian/ lembaga di bawah koordinasi Menko Kesra. Di tengah krisis dunia, program pemberdayaan yang diarahkan kepada sektor riil –seperti program dalam naungan Depsos yaitu Program Keluarga Harapan, Bantuan Langsung Tunai, serta Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial- diharapkan menjadi jaring pengaman sosial untuk katup-katup ekonomi rakyat agar tetap bergerak, dalam koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM.

Mungkin akan menjadi perihal yang ambisius dan berlebihan kalau Pemerintah menyatakan mampu meng-cover 220 juta rakyatnya agar memiliki ketahanan dalam menghadapi gejolak lingkungan –baik negara maupun dunia- tanpa kecuali. Pemerintah memiliki keterbatasan finansial, manajerial, dan organisasional. Tetapi setidaknya terdapat upaya-upaya untuk menyadarkan rakyat mengenai situasi dan kondisi kebangsaan dan global saat ini. Pemerintah mengembalikan perannya sebagai fasilitator sementara masyarakat adalah aktor dalam pembangunan. Semuanya dalam kerangka kerjasama dengan akademisi, dunia usaha, baik swasta, maupun perbankan. Pemerintah mengingatkan masyarakat yang berkelompok dalam keluarga untuk memiliki kesadaran komunal yang akan ditularkan kepada anak-anaknya secara individual, hal itu mungkin akan lebih mendasar dan mengena dikaatkan peran Pemerintah dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam hal pemberdayaan keluarga Depsos memiliki tenaga pendamping seperti Lembaga Ketahanan Keluarga atau LK3, kemudian Karang Taruna, Petugas Sosial Kecamatan, Pekerja Sosial Masyarakat, dan Manager Sosial Kecamatan/ Kota. Peran para pendamping ini adalah “mengingatkan” kepada para anggota keluarga bahwa mereka mempunyai potensi untuk memajukan bangsa dan negara, dan agar memiliki unsur ketahanan dalam menghadapi tantangan dari luar.
Kepahlawanan tidak hanya berhenti pada aras sejarah. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan, atau minimal mewarisi makna kepahlawanan dalam diri kita. Sifat-sifat itu adalah kejujuran, keberanian, kerelaan berkorban, mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan golongan atau bahkan individu. Sifat-sifat tersebut perlu selalu kita sosialisasikan terutama karena tahun depan kita menghadapi Pemilihan Umum 2009. Saat kita terbagi dalam partai, saat itulah suasana kebatinan wawasan kebangsaan kita diuji, kepentingan manakah yang kita dahulukan. Secara lebih jauh, bila kita dihadapkan pada globalisasi terutama budaya dan ekonomi, maka kesetiakawanan kita juga diuji. Kesetiakawanan harus selalu kita gelorakan baik kepada diri sendiri, kepada lingkungan atau alam sekitar, kepada ibu pertiwi, kepada orang tua kita, dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari katagori waktu, terminologi “kepahlawanan”, “kesetiakawan”, dan “keluarga” dapat ditenggarai aspek kesejarahannya. Nilai kepahlawanan adalah masa lalu. Kesetiakawanan adalah saat ini. Keluarga adalah masa depan. Masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah misteri, masa sekarang adalah karunia. Bagaimana menurunkan nilai-nilai kepahlawanan yang masa lalu, untuk menjadi sikap setiakawan pada masa kini, dan diwariskan kepada keluarga kita sebagai aset masa depan.
Mengembalikan peran keluarga sebagai tempat pembelajaran akan menjadi relevan karena eksistensi Keluarga sebagai unit terkecil dalam sebuah negara. Kalau baik kehidupan keluarganya, seharusnya baik pula negara tersebut. Kalau kita amati akhir-akhir ini, kekerasan kemudian tawuran, dan sederetan peristiwa yang membuat hati kita miris, adalah berawal dari keluarga. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh cinta kasih dan penuh penghargaan, tentu berbeda perkembangannya setelah dewasa. Pada saat sarasehan tersebut pak Soerya Poetranto menyebutkan hasil penelitian bahwa anak-anak yang sukses dalam pendidikan –katakan dalam level master- hampir dipastikan berasal dari keluarga yang memang memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya di masa depan. Ketika menghadiri undangan menjadi pembicara di sebuah acara perenungan nilai-nilai Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober, saya menyatakan bahwa keberhasilan generasi masa depan adalah ketika bertanggungjawab dalam menyatakan, ”Siap Berkeluarga”. Dengan menyatakan kesiapan maka akan muncul pula regenerasi masa depan yang siap –demi menyongsong citacita yang lebih baik.
Pada peringatan HKSN tahun 2006 Presiden menyatakan bahwa musuh kita yang terkini adalah kemiskinan. Ketika HKSN tahun 2007 –yang saatnya bertepatan dengan perayaan Idul Adha saat itu- beliau menyatakan bahwa sikap berkorban atau sifat untuk berbagi demi kepentingan bangsa perlu semakin kita kedepankan. Dari kedua acara HKSN tersebut Presiden selalu menekankan mengenai bagaimana kesetiakawanan sosial jangan sekadar menjadi wacana. Masyarakat dan dunia usaha harus mampu mewujudkan kesetiakawanan sosial dalam tindakan nyata agar permasalahan bangsa seperti kemiskinan dan pengangguran cepat teratasi. Presiden sempat mengistilahkan dengan “membangun ekonomi berdasarkan kesetiakawanan sosial”.█ ◄Dimuat di rubrik Renungan di Majalah Komite pada bulan November 2008 edisi awal

Revitalisasi Makna "Pemberdayaan Sosial"

PEMBERDAYAAN sosial yang diorganisasikan di Departemen Sosial meliputi pemberdayaan fakir miskin, pemberdayaan keluarga, pemberdayaan kelembagaan sosial masyarakat, pemberdayaan komunitas adat terpencil, serta program kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial. Pemberdayaan mengandung makna adanya partisipasi seluruh sasaran pelayanan dan komunitas sekitarnya serta masyarakat umumnya; adanya pendelegasian wewenang kepada daerah dalam menyusun rencana, melaksanakan dan mengendalikan program pembangunan kesejahteraan sosial; adanya peningkatan kemampuan sasaran pelayanan; serta aktualisasi peran-peran kelembagaan sosial masyarakat dan swasta dalam mengkoordinasikan pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial bersama-sama pemerintah. Strategi pemberdayaan dipergunakan dalam pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial karena tersedianya potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang belum didayagunakan secara optimal. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan menggali kemampuan sasaran pelayanan, mendayagunakan potensi dan sumber yang tersedia di masyarakat dengan memberikan pelatihan ketrampilan, pendampingan dan bimbingan sosial serta pengembangan usaha ekonomi produktif dan usaha kesejahteraan sosial. Semakin lama semakin disadari bahwa program penanggulangan kemiskinan tidak boleh hanya charity semata, namun selanjutnya harus diikuti dengan langkah pemberdayaan dalam penanganan kemiskinan guna memperkuat keberfungsian sosial seseorang. Disini kami menenkankan bahwa ‘dari belas kasihan menjadi kasih sayang’. Maka upaya untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya ekonomi Indonesia serta mengurangi kemiskinan –dalam kerangka Ekonomi Pancasila- adalah “Bersama Membangun Bangsa”. Bekerjasama dengan BUMN dan swasta maka kita perlu mengoptimalkan CSR atau corporate social responsibility dalam upaya mengembalikan pusat ekonomi kepada rakyat: pembangunan dari-oleh-untuk Rakyat di Daerah. Lebih tepatnya Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan. Strateginya adalah pemberdayaan masyarakat, langkahnya melalui Kutabung. Mari bekerja, raih keuntungan, dan sisihkan untuk menabung –demi masa depan yang lebih baik.
Kondisi pada saat ini –seperti yang dikutip dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui laporannya “Inventarisasi Program-program penanggulangan Kemiskinan” tahun 2002- menyatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan program selama ini yaitu banyak pengkategorian yang sebenarnya berbeda dengan tujuan penanggulangan kemiskinan. Seperti kelompok sasaran yang tidak ke usia produktif (15-55 tahun), adanya program yang bersifat pemberian bantuan (charity, karitatif), dan tumpangtindihnya program lintas sektor lintas regional. Kondisi yang dinginkan adalah paradigma pemberdayaan yang menjadi ‘ruh’ penanggulangan kemiskinan, kemudian terkikisnya ego sektoral, dan koordinasi yang rapi lintas sektor dan lintas regional. Sehingga tidak saatnya lagi kita hanya ‘memberi’ kepada orang miskin, tapi harus kita berdayakan. Beri mereka kepercayaan untuk mengelola modal dalam rangka mengembangkan usaha. Beri kesempatan untuk berkompetisi di pasar, dan bergaul dengan indah bersama perbankan. Perlakukan mereka secara sama dalam kesempatan berusaha.█ TULISAN ini merupakan rangkuman dari makalah yang disampaikan dalam rangka Seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Korda DIY, di Ruang Seminar FE UAJY, Jalan Babarsari, Yogyakarta, bulan November 2007

Employment, Income, Growth

NEGARA (baca: Pemerintah) tidak dapat bekerja sendiri dalam menyelesaikan seluruh permasalahan berbangsa dan bernegara. Penanggulangan kemiskinan bukan hanya merupakan monopoli pemerintah dengan berbagai departemen sektoralnya, namun kemiskinan merupakan permasalahan multidimensi yang menjadi tanggung jawab seluruh unsur bangsa Indonesia. Pemerintah tidak akan mampu menjadi pemain tunggal dalam menanggulangi kemiskinan, karena memiliki berbagai keterbatasan, baik dalam aspek manajemen, organisasi, maupun keuangan. Penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan secara menyeluruh (lintas sektor dan lintas regional) dengan melibatkan forum lintas pelaku. Sementara itu, arah penanggulangan kemiskinan ditujukan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan.
Penanggulangan kemiskinan menjadi kunci untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah telah menetapkan triple track untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan, yaitu dengan employment, income, dan growth. Dalam khasanah ekonomika pembangunan, ketiganya merupakan solusi untuk mengantar masyarakat agar bertransformasi struktural. Misalnya pendapat Harrod-Domar yang membahas 2 (dua) tahap perkembangan masyarakat yaitu dari tradisional ke modern (underdevelopment ke developed communities). Chennery yang berpendapat 3 (tiga) tahapan dari pertanian, industri, lalu ke jasa. Kemudian Rostow yang berasumsi 5 (lima) tahapan yaitu tradisional, pra-kondisi lepas landas, lepas landas, tahap konsumsi tinggi, dan masyarakat yang matang. Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Depsos mengadaptasi hal ini dengan slogan “Kerja Untung Tabung” atau Kutabung. Bahwa bekerja akan mendatangkan keuntungan (profit) yang kemudian disimpan (saving) untuk kehidupan mendatang. Dengan Kutabung akan memunculkan warga yang mandiri, dan pastinya menjadi sejahtera. Hal ini relevan dengan slogan triple track Kabinet Indonesia yaitu employment, income, dan growth. Dengan semangat triple-track tersebut maka Pemerintah mempunyai target untuk mengurangi pengangguran, penanggulangan kemiskinan, dan memacu pertumbuhan.