Minggu, 03 Agustus 2008

CSR Forum on August 26th, 2008

Corporate Social Responsibility (CSR) is a term that has in recent years increasingly
entered into the language of business. It is a term that means many different things to different people, be they businessmen themselves, civil society, academia or public in general. It is a term that is itself subject to variation. To some it is corporate responsibility, to others private voluntary initiatives, to yet others corporate social opportunity. However, no matter what it is called the fundamentals remain the same: they are voluntary positive initiatives by business that look to go beyond legal compliance in a diverse range of social, economic and environmental areas. Corporate social responsibility is not new. Business has long recognized its role along side others in contributing to the development of the communities in which it operates.

The credo “Kerja Untung Tabung” (employment, income, groth) or Kutabung mention that everybody must be aware that aging is not scary if people are prepared for it. Propare when they are young, so they can enjoy when groeing old. The problem is that people are not prepared economically, spiritually, socially, etc. for aging. Facilitators are very important for reminding people of what they should do to prepare themselves. That is a little bit of failure of the system in Indonesia. Governments must be consistent in their approach. Another country like Japan and Thailand are following the correct path in terms of creating a comprehensive and integrated social welfare and health system. I highlighted the need for strong leadership to implement change. Change is a must, and it take place within the communities and from there it flows upward. Compare with the other country, Indonesian experience but that Indonesia has faced more failure than success. So it need the importance of cooperation on the levels of international, national, regional, community.

The number of elderly people in Indonesia may be higher than the total population of some other countries. Indonesia has a lack of capacity, and so must focus more on preventing people from becoming poor when they are elderly. We ever suggested that in this regard, collaboration with other countries to address the various issues raised in the session would be important. We need to send retired senior managers to Indonesia to improve the management of small and medium-sized enterprises. The big countries such as Indonesia have limited capacity to finance such activities. There are also limitations on activities to raise awareness, a lack of trained personnel, a lack of infrastructure for training, and a lack of a system for monitoring and assessment of activities because there is no properly structured data bank available.

Finally, CSR is a business-led response to the business environment. Given the speed of change and uncertainties that exist in the marketplace, business needs the flexibility to respond quickly to market shifts. The voluntary nature of CSR and the vast range of often very innovative responses available to business mean that that responsiveness can be retained and that the social progress to which CSR contributes can continue to develop.
The corporate policies on CSR have been automatically integrated in the corporate management system, written in policies on both annual and long term program. Actually on the recent years after the spirit of “working together to reduce poverty” there’s a growing awareness of the need to address the problem of youth employment in Indonesia –both to provide decent work opportunites for young people and to allow Indonesia to get the full benefit in its economic and social development of their contribution. The time to combat poverty has arrived, sure that hard work lies a head. We have to commit to ending poverty. The first step is commitment to the task: focus to halving poverty by 2015 and struggle to ending poverty by 2025. Better that we did not wait for the rich and powerfull to come to rescue. The poor cannot wait.

Hence, CSR emerges as a responsibility way of the corporation to maintain its beneficence and reduce the negative impacts. The negative impact could be exist resulted from the efforts to build the beneficence values. This objective will not be achieved without a synergetic cooperation between the corporation, community and government. CSR will be successful if the corporation’s plan of CSR conducted by the triple bottom line concept which be implemented by revolutionary change in corporate attitudes in positioning the corporation amid the community and government. Thus, there must be cooperation between corporations, government and community. Starting from this point Good Corporate Governance (GCG) can be achieved. Absolutely, the collaboration between CSR, Triple Bottom Line and GCG can reduce the number of the poor.█ Selengkapnya di This article is presented in CSR Forum, at Jakarta, 26th of August 2008 in Jakarta try to copy, paste, then enter Profesor GUNAWAN SUMODININGRAT, M.Ec., Ph.D, is the Director General of Social Empowerment, Department of Social Affairs Republic of Indonesia

Budaya Jawa dan Integrasi Nasional

I. Dalam kepustakaan tentang Indonesia, kita menemukan amat banyak kritisi terhadap budaya Jawa dalam peran negatifnya dalam pembangunan bangsa, mulai Karl D. Jackson, Richard Robison, William Liddle, Michael Vatikiotis, hingga Adam Scwartz, bahkan ada juga ilmuwan Indonesia yang mengritisi budaya Jawa –yang tidak etis saya sebut namanya di dalam forum ini. Kritik-krtitik tersebut dapat saya sarikan lima hal. Pertama, budaya Jawa dinilai mempunyai tradisi kekerabatan yang tinggi yang memberikan peluang atau potensi bagi tumbuhnya penyakit nepotisme, yang berkenaan dengan kolusi dan korupsi ada di ujungnya. Birokrasi dengan watak budaya Jawa adalah birokrasi yang mempunyai kualitas profesional yang rendah. Kedua, budaya Jawa mempunyai karakter sentralistik yang bertentangan dengan faham demokrasi yang melandaskan diri kepada partisipasi dan desentralisasi. Ketiga, budaya Jawa terlalu lamban, apatis, serba mementingkan harmoni dan keselaran, dan tidak berorientasi ke depan sehingga bertentangan dengan hukum pembangunan yaitu progresivisme. Robert N. Bellah menulis tentang Religi Tokugawa dan David McClelland menulis The Achieving Society, yang isinya sama-sama mengatakan hanya bangsa-bangsa yang memiliki budaya yang berorientasi kepada kemajuan dan prestasi yang menjadi bangsa-bangsa maju. Budaya Jawa diklaim sebaliknya. Keempat, budaya Jawa di dalam dirinya mengandaikan bahwa budaya lain berada di bawah budayanya, antara lain ditunjukkan dengan istilah ora nJawani, durung Jawa, bagi mereka yang dinilai kurang “beradab”. Hampir-hampir semacam konsep “kafir” di dalam pemahaman agama. Kelima, budaya Jawa menghasilkan kepemimpinan yang terbiasa berkomunikasi dengan budaya-budaya simbol (kiasan) daripada komunikasi yang terbuka, sehingga mempunyai potensi menciptakan communication bottleneck di berbagai tingkat. Seperti kita ketahui, kemampatan komunikasi merupakan bagian-bagian awal yang mengkontribusikan pembentukan proses disintegrasi. Saya memulai dengan membuka kembali permasalahan-permasalahan ini untuk memulai diskusi tentang budaya Jawa dan Integrasi Nasional. Secara khusus yang amngangkat isu integrasi nasional sebagai isu sentral kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dan di masa depan. Ada dua pertanyaan besar, apakah isu ini masih relevan dibicarakan di tengah kritisi yang berjalan dan mengena kepada budaya Jawa, khususnya dalam kehidupan bersama tersebut? Pertanyaan ini menjadi penting karena bagi Indonesia, bagaimanapun Jawa adalah sentral. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi di jaman Majapahit (abad 14), Belanda (abad 17-20), Inggris (abad 19), maupun Jepang (abad 20). Kondisi faktualnya adalah:
1. Jawa merupakan kawasan berpenduduk paling padat, namun
2. Jawa merupakan kawasan paling maju, dengan konsekuensi
3. Jawa merupakan kawasan paling makmur

Kondisi ini sedemikian kontras, hingga kerajaan-kerajaan di Indonesia masa lalu dan para penjajah biasanya hanya membagi Nusantara menjadi Jawa dan Luar Jawa, di mana Jawa menjadi sentral dan luar Jawa menjadi periferal.

Jawa pasca kemerdekaan hingga hari ini tetap menjadi sentrum dari Indonesia. Pergolakan politik di luar Jawa tidak banyak berpengaruh bagi perubahan politik nasional dibanding pergolakan kecil di Jawa. Kondisi ini diperkuat dengan kebijakan sentralistik yang merupakan turunan dari kebijakan politik “Negara Kesatuan” yang dengan sengaja dipilih oleh para pendiri bangsa. Orde Baru dengan paradigmanya yang sentralistik dengan UU 5/1974 tentang Pemerintahan di daerah mengukuhkan kondisi sentralistik ini.

Pembangunan Indonesia pun di sana-sini mendapatkan kritikan sebagai “Jawanisasi”. Salah satu contoh kebijakan yang pernah diidentikkan dengan Jawanisasi adalah Transmigrasi, terutama karena bentuknya memang mengirim warga Jawa pindah ke luar Jawa.

Pada tahun 1998 model pemerintahan sentralistik yang ditengarai amat diwarnai budaya politik Jawa mengalami krisis yang akut yang berakibat macetnya pemerintahan dengan khaos dan kemerosotan pembangunan yang tidak tanggung-tanggung. Barangkali, melihat kondisi ini, pemerintanan transisi yang dipimpin Wakil Presiden Habibie –yang diangkat menjadi Presiden setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri sesuai dengan aturan di dalam Konstitusi— menyusun UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang bertujuan untuk mendesentralisasikan pemerintahan. Sebuah konsep yang berhadapan diametral dengan budaya Jawa yang disitir di atas.

Pertanyaan kini adalah, apakah menjadi relevan mendiskusikan peran budaya Jawa dalam membangun integrasi nasional. Karena isu ini juga mengedepankan dua hal pokok. Pertama, implementasi UU 22/1999 yang bersifat desentralistik, yang ditengarai tidak dijiwai oleh budaya Jawa, justru berpotensi menciptakan disintegrasi nasional dan menyebabkan banyak kemacetan administrasi pembangunan di berbagai tingkat –khususnya dalam konteks pusat-daerah. Adalah kurang bijaksana membawa diskusi ke ranah ini, karena dapat berkembang ke isu apakah kita harus memilih budaya politik Jawa atau bukan Jawa. Karena itu, hal pertama yang akan dikaji kemudian adalah MAKNA dari integrasi nasional itu sendiri, baru kemudian dipertautkan dengan karakter budaya yang memberikan dukungan secara efektif kepadanya. Kedua, istilah “budaya Jawa” pun mendapatkan tantangan yang besar. Pertama, Jawa sendiri terdiri dari berbagai budaya yang tidak bisa dikatakan “sub budaya”, mengingat masing-masing memiliki perbedaan yang tidak bersifat berjenjang. Kita tidak bisa mengatakan bahwa budaya Jawa adalah di Solo dan Yogja, sementara budaya Jawa Barat (Sunda, dan Banten) dan di Jawa Timur Surabaya, Banyuwangi, Malang) adalah sub budaya. Tidak ada hirarki struktural seperti itu. Belum lagi ditambah dengan budaya Jakarta yang berlokasi di Jawa yang telah masuk ke dalam budaya megapolitan seperti halnya Singapura, Sidney, New York, Hongkong, Tokyo, dan lain-lain. Saya kira, pada dua pondasi ini saya akan berbicara tentang budaya Jawa dan integrasi nasional.
II. Pada tahun 2001, Keluarga Alumni Gadjah Mada menyelenggarakan Munas di Balikpapan dengan membawa sebuah tema bersama yang dipandang krusial, yaitu integrasi nasional. Kesimpulannya adalah bahwa tantangan terkini bagi negara-bangsa Indonesia adalah memperkokoh persatuan bangsa. Isu ini menjadi ujung permasalahan kebangsaan tatkala para pemimpin bangsa ini tidak berhasil melakukan upaya pemulihan kehidupan politik, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai akibat dari krisis di tahun 1997. Fakta ini menjebak bangsa Indonesia dalam suasana psiko-sosial yang tidak menguntungkan untuk hidup bersama dalam sebuah kesatuan kebangsaan. Dalam lima tahun terakhir ini, bangsa Indonesia diselimuti oleh sifat-sifat negatif dalam kehidupan bersama, yaitu kecurangan, kebodohan, kemiskinan, kecurigaan, kekerasan, kesewenang-wenangan, dan ketidak adilan. Masing-masing memerlukan “obat”, yaitu kejujuran yang ditopang oleh lembaga hukum dan penegakan hukum, kepandaian dan kemandirian yang ditopang oleh lembaga pendidikan, kesejahteraan yang ditopang oleh berjalannya lembaga-lembaga ekonomi rakyat, saling percaya yang ditopang oleh transparansi dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, kedamaian yang didukung oleh penegakan rasa aman oleh aparat negara bermitra dengan masyarakat, kearifan yang ditopang oleh pranata-pranata sosial yang berjalan dengan normal, dan kesetaraan yang didukung oleh tata kehidupan dan kelembagaan yang demokratis. Pemecahan dan penopang tersebut merupakan basis dari upaya perkokohan integrasi bangsa.

Apakah integrasi bangsa? Sebuah pertanyaan sederhana tetapi mendasar, yang terus-terang juga “lupa” kita garis-bawahi. Seperti hanya setiap diskusi tentang integrasi nasional, biasanya kita langsung masuk –dan kemudian terjebak— di dalam pemahaman-pemahaman teknis seperti persatuan, kesatuan, keamanan, dan seterusnya. Integrasi sederhananya adalah sebuah penggabungan atau peleburan beberapa kesatuan menjadi satu kesatuan di dalam sebuah tatanan yang harmoni. Integrasi bukanlah penaklukan. Integrasi bukanlah merjer. Dan integrasi bukanlah sebuah konsep militeristik.

Setiap bangsa pada dasarnya adalah sebuah kesatuan yang majemuk. Amerika Serikat dan Indonesia adalah contoh yang paling khas. Keduanya memiliki kesatuan-kesatuan bangsa yang berlainan sama sekali, namun karena sepakat hidup bersama, maka dibentuklah kesatuan dalam kemajemukan. Ini adalah kuncinya. Tidak heran jika dua negara ini mempunyai slogan yang sama “berbeda-beda namun tetap satu”.

Kesatuan adalah kata kunci integrasi nasional. Kesatuan dalamn hidup berbangsa dan benegara. Kesatuan bukanlah penyeragaman. Inilah kesalahan di masa lalu. Kita menganggap bahwa kesatuan adalah penyeragaman sehingga integrasi nasional kita bentuk sebagai sebuah uniformitas rakyat Indonesia. Hasilnya adalah kita justru mempermiskin sumberdaya manusia nasional dengan ujungnya adalah krisis. Integrasi nasional bukan juga berupa integralisasi atau negara yang integralistik, yang dengan serakah mengakuisisi setiap potensi dan kekuatan dari rakyatnya. Kesatuan bukan pula ada di dalam satu wadah tetapi saling tidak mendukung seperti yang kita alami hari ini. Nampak nyata, perjalanan bangsa Indonesia hari ini masih “jalan di tempat” karena satu sama lain tidak ikhlas untuk menjalankan tugas masing-masing, dan di sisi lain diperburuk dengan gagalnya masing-masing bekerja secara optimal di tempat kerjanya. Kritisi ini bahkan dapat dikenakan kepada negara, baik legislatifnya, eksekutifnya, yudikatifnya, bahkan akuntatifnya.

Integrasi nasional adalah hidup bersama dan saling mendukung dalam sebuah kebersamaan, itu saja! Tetapi, yang “itu saja” pun sering tidak difahami. Di sini kita akan menegaskan kembali makna integrasi nasional. Integrasi nasional pernah saya lontarkan pada masa sebelum krisis sebagai Indonesia Incorporated , yakni Republik Indonesia yang memiliki komponen-komponen yang berbeda-beda, yaitu:
1. komponen negara (atau sering disebut sebagai “pemerintah”)
2. komponen bisnis (yang dalam UUD 1945 dibagi menjadi BUMN/D, swasta, dan koperasi)
3. komponen nirlaba (LSM, ORNOP, asosiasi, agamawan, budaya dsb)
Ketiga komponen ini dapat diibaratkan meja dengan kaki tiga. Sebuah kekuatan yang terkuat di dalam kepercayaan Timur: segitiga. the picture couldn included
Di sini, ijinkan saya mendefinisikan integrasi nasional sebagai sebuah kesepakatan dari setiap komponen bangsa untuk menjadi bagian dari sebuah sistem yang bernama Republik Indonesia, masing-masing beroperasi pada core competence masing-masing dan memberikan the best contribution, dan saling mendukung dalam membentuk Indonesia yang berdaya saing global. Definisi ini memberikan tugas yang berat kepada setiap komponen bangsa, yaitu untuk memahami posisi masing-masing dan peran yang dilakoninya –tidak iri atas pekerjaan atau kepercayaan yang diemban oleh (saudaranya) yang lain; memberikan yang terbaik untuk kebaikan bersama –tidak untuk kebaikan pribadi atau kelompok; pengorbanan yang lebih besar kepada bangsa daripada pribadi atau golongan.
Di sisi lain, integrasi juga memberikan warna tetap adanya keberagaman, karena integrasi bukanlah uniformisasi. Kemajemukan harus dipandang sebagai sebuah kekayaan dan bukan hambatan; tujuan dari integrasi adalah menjadikan Indonesia sebagai wadah hidup bersama yang nyaman bagi seluruh warga Indonesia dan warga dunia yang ingin berada di Indonesia; integrasi adalah bagian inti dari tujuan membangun masyarakat yang dewasa, atau yang di barat disebut sebagai civil society dengan civic culturenya.
Jika integrasi nasional seperti ini, lantas budaya apa yang dibutuhkan untuk mendukungnya? Benarkah budaya Jawa mampu memberikan dukungannya? Ini adalah agenda kita berikutnya.
III. Apakah budaya itu? Saya tidak hendak ber”kapita-selekta” di sini dengan menyebutkan berbagai definisi budaya. Pemahaman pokok yang perlu kita fahami adalah bahwa budaya adalah cara kita berperilaku untuk dapat hidup, baaik dalam konteks mempertahankan maupun mengembangkan hidup. Ini adalah pemahaman yang paling luas, sehingga budaya pun dapat mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi, etika, manajemen, bahkan agama. Dalam pemahaman yang lebih operasional, maka budaya tidak lain adalah sistem nilai bersama yang dianut oleh masyarakat.
Bagaimana dengan budaya Jawa. Pada prinsipnya para ahli kebudayaan, baik dari luar Indonesia, seperti Niels Mulder, Clifford Geertz, Ben Anderson, William Liddle, maupun yang ada di dalam negeri seperti Franz Magnis-Suseno (beliau juga berasal dari Jerman), Mochtar Lubis, Koetjaraningrat, sampai Sri Sultan Hamengkubuwono X, mempunyai kesamaan dalam memandang budaya Jawa. Sebuah kondisi yang sama di dalam kelompok yang mengkritisi budaya Jawa di atas. Beberapa kesamaan pandangan yang dapat kita tarik sebagai intisari budaya Jawa adalah:
1. budaya Jawa mendasarkan diri kepada harmoni. Biasanya disebutkan bahwa budaya Jawa adalah anti kepada konflik karena budaya Jawa mempunyai ideal bahwa dunia ini harus ditata secara harmoni, baik antara jagat cilik (jiwa) maupun jagad gedhe (komunitas, masyarakat). Berbagai cara untuk menjaga harmoni, kecuali mengijinkan konflik.
2. budaya Jawa dalam konteks modern lebih sesuai dengan paradigma struktural-fungsional dengan mengandaikan bahwa setiap orang mempunyai tempat masing-masing dan ia harus berperilaku sesuai dengan tempat keberadaannya tersebut.
3. budaya Jawa menghargai hal-hal yang bersifat transendental, baik yang disebut sebagai kebatinan, kejawen, mistisisme Jawa, atau istilah sejenisnya. Sifat transendental ini dilatarbelakangi dari keyakinan bahwa hidup selalu kepadaNya –Tuhan Yang Maha Kuasa. Nilai ini bertentangan dengan nilai sekular yang dibawa oleh budaya Barat, khususnya yang tidak menghargai Ketuhanan seperti Komunisme.

Pada hemat saya, tiga nilai budaya Jawa yang paling umum. Namun, kembali lagi saya mempertanyakan, Jawa yang mana? Dari pengamatan saya, ternyata para ahli kebudayaan tersebut melihat “Jawa” ini sebagai “Jawa Tengah”, khususnya “Solo” dan “Yogjakarta”, itu pun dengan konteks “Jawa yang diidealkan” atau “Jawa yang diangankan”.

Pada hemat saya, sebenarnya ketiga nilai tersebut ada pada semua budaya “yang ada” di Jawa, khususnya nilai yang ketiga. Bahkan, menurut saya, dimiliki oleh setiap budaya di Nusantara ini, Mulai dari Aceh sampai ke Papua (dulu Irian Jaya) tidak ada satu pun suku bangsa yang tidak memiliki kepercayaan ketuhanan. Karena itulah kita memiliki sila pertama Pancasila yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Nilai kedua ada pada sebagian besar kebudaya di Jawa. Sementara nilai pertama ada di Jawa di pedalaman, khususnya di Jawa Tengah. Jawa pesisir lebih banyak membuka diri kepada konflik sebagai salah satu mekanisme menciptakan harmoni.

Dari sini saya sebenarnya menghadirkan sebuah kebingungan baru bagi Anda, jadi apa yang dimaksud sebenarnya dengan budaya Jawa dan seperti apa bentuknya? Jika kita menggabungkan nilai negatif (neptis, lamban, sentralistik, inklusif, dan samar) dan nilai positif (harmoni, kesesuaian tempat, dan transendensi) di atas, apakah sudah dapat mewakili budaya Jawa, terutama Jawa Kontemporer? Ya, dan tidak. Tergantung di mana perspektif, posisi, dan kepentingan Anda. Seorang Jawa Timur tidak akan serta-merta menerima proposisi karakter budaya yang Mataram-sentris (Solo-Yogjakarta), demikian pula warga Solo dan Yogjakarta tidak akan begitu saja menerima proposisi karaker nilai kejawaan yang diwakili oleh budaya Sunda ataupun Jawa pesisir. Karena itu, ijinkan saya untuk keluar dari perbincangan yang sentimental ini dan masuk ke pembicaraan yang menjangkau ke depan, yaitu merumuskan karakter budaya Jawa seperti apa yang diperlukan dalam rangka mendukung integrasi nasional yang kita harapkan.

Pertama, budaya Jawa yang mengedepankan toleransi sebagai arah menuju harmoni –bukanlagi sekedar “anti-konflik”. Budaya Jawa adalah budaya yang paling memberi tempat bagi perbedaan dan menerima perbedaan tersebut sebagai kekayaan yang harus dipupuk bersama. Yogjakarta adalah salah satu pusatnya Jawa yang membuktikan sebagai “Ibu” yang menerima setiap anak bangsa Indonesia dan dunia untuk belajar memahami dunia di Yogjakarta. Budaya toleransi adalah budaya yang sangat dibutuhkan bukan saja untuk menerima kemajemukan, namun juga bagi demokrasi yang dewasa. Demokrasi bukanlah masalah pemilihan umum, trias politika, dan seterusnya saja. Hakikat demokrasi adalah bagaimana kita toleran dengan perbedaan pendapat dan berusaha mengharmonikan perbedaan tersebut, syukur tidak dengan saling mengalahkan. Untuk itu kita mengakui bahwa kita mengedepankan musyawarah tetapi tidak menutup voting.

Kedua, budaya Jawa yang memberi pemahaman bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempat masing-masing dan bekerja sesuai dengan tempat itu, namun pemahaman “tempat” bukanlah pemahaman mati, melainkan relattif. Lembaga bisnis ya menjalankan misi bisnis, jangan main politik. Lembaga pemerintahan yang menjalankan misi pemerintahan, jangan berbisnis dengan kekuasaan. Lembaga nirlaba ya menjalankan misi pemberdayaan masyarakat, jangan kemudian menjadi penjual negara kepada negara lain. Stick to the mission. Pemenang pemilu ya seharusnya menjadi Presiden. Yang kalah tidak usah menyabot, karena toh dalam pemilu mendatang bisa mengalahkan pemenang sebelumnya. Namun juga harus dijaga, kalau sudah menjadi pemerintah atau pemegang kekuasaan, jangan kemudian memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan untuk mempertahankan kekuasaan selama-lamanya. Jika demikian, maka bangsa kita tetap terpuruk di lubang yang sama. Sama seperti hari ini, kita memerangi KKN dengan cara ber-KKN. Kita memerangi kekerasan dengan cara kekerasan. Hasilnya adalah spiral KKN dan spiral kekerasan.

Ketiga, budaya Jawa adalah budaya yang transendental. Saya kira kita semua sepakat bahwa keberadaan kita sebagai bangsa dan masih diijinkan tetap sebagai Republik Indonesia hari ini adalah karena kita diberi ijin oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Uni Soviet yang lebih kokoh dibanding Indonesia telah rontok. Rusia yang terdepriasi mata uangnya sampai 20% sampai hari ini masih kesulitan untuk mempertahankan momentum pemulihan. Indonesia yang mengalami depresiasi sampai 80% sampai hari ini masing kuat dan mempunyai momentum pemulihan yang bergerak menaik.

Keempat, budaya Jawa adalah budaya yang mengedepankan harmoni. Meski nilai ini juga disebut dalam nilai pertama, namun perlu saya sebutkan secara khusus karena tidak ada satu negara pun yang menghendaki negaranya hidup dalam disharmoni. Harmoni adalah inti dari integrasi nasional. Karena itu, sebelum kita mencapai integrasi nasional, satu hal yang harus kita capai adalah mencapai harmoni bersama.

IV. Budaya Jawa bukanlah budaya yang terbaik dibanding budaya-budaya di Nusantara lain. Namun Budaya Jawa mempunyai tugas terberat untuk menjadi pendukung utama integrasi nasional hari ini dan di masa depan, karena Jawa sudah terlanjur menjadi sentrum dari Indonesia hari ini atau Nusantara di masa lalu. Ini adalah kondisi faktual.

Di masa lalu budaya Jawa menjalankan peran ini namun tidak dengan mengembangkan diri sesuai dengan tantangan integrasi nasional, melainkan lebih melayani kepada keyakinan atas kebenaran sebuah paradigma tertentu –dan kita tidak akan mengulanginya lagi di masa mendatang. Karena itu, tantangan besar bagi budaya Jawa adalah merevitalisasi diri untuk menyesuaikan diri sebagai komponen penyokong utama integrasi nasional Indonesia.

Saya pun berharap, apa yang saya definisikan sebagai “budaya Jawa” akan berhenti di sini dan kemudian dikapitalisasi sebagai budaya indonesia karena sesungguhnya setiap budaya di Indonesia memiliki nilai-nilai tersebut, meski tidak seeksplisit dan sejelas pada budaya Jawa. Dengan demikian, kelak tidak akan lagi muncul perdebatan sia-sia tentang asal-muasal krisis bangsa karena dominasi budaya dari suku A atau suku B. Hari ini diskusi kita harusnya sudah masuk ke ranah bahwa kita adalah Suku Indonesia dengan Budaya Suku Indonesia pula! Bukankah pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda-pemuda kita sudah berikrar mendirikan Suku Indonesia, sebuah semangat yang tidak boleh kita abaikan hari ini dan di masa depan. Diskusi-diskusi tentang budaya yang mendukung integrasi nasional Indonesia akan lebih banyak mengarah kepada budaya Indonesia, dan dengan pasti meninggalkan budaya suatu suku tertentu. Amerika Serikat adalah bangsa dengan bersuku-suku, namun hari ini mereka menang karena mereka berhasil menjadi satu suku Suku Amerika Serikat dengan Budaya Amerika Serikat. Barangkali ini contoh dari negara adidaya yang baik untuk kita teladani tanpa harus menjadi rendah diri, tanpa harus menjadi orang Amerika, tanpa harus mengalami Americanization maupun Westernization. Yang kita perlukan adalah Indonesianization.
***
Relung-relung pemikiran tahun 2002 .n.n.

Buku "Indonesia Pecah"

MEMBACA buku berjudul “Indonesia Pecah” memang memacu adrenalin kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan apa yang telah kita lakukan dan bagaimana nanti –dalam konteks keindonesiaan yang kita miliki. Penulisnya berlogika lurus-lurus bahwa sudah merupakan suratan Tuhan Yang Maha Kuasa, setiap 70 tahun berjalan, suatu kerajaan atau negara kebanyakan terjadi perpecahan. Hal tersebut mungkin juga berlaku di Indonesia demikian kata Direktur Utama The World Peace Committe/Komite Perdamaian Dunia, Djuyoto Suntani, dalam peluncuran bukunya. Memang, akhir-akhir ini ancaman perpecahan NKRI tersebut tampak nyata. Saya masih mencari tahu bagaimana dan mengapa rakyat Indonesia dulu dapat bersatu. Padahal kita lihat banyak perbedaan, diantara suku-suku yang ada. Perbedaan itu dapat disatukan, lantaran adanya Pancasila, diantara sila Pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa, yang dibingkai dalam lambang Burung Garuda, yakni Bhineka Tunggal Eka. Atas nama Tuhan Yang Maha Esa, kita dapat disatukan, melalui simbol Pancasila. Oleh karena itu saya mendorong pemerintah sebaiknya melakukan kaji ulang untuk menerapkan Pedoman Pengamalan Penghayatan Pancasila (P4). Jika dulu cara penyampaiannya menggunakan model indoktrinasi, saat ini perlu diubah melalui diskusi dan membuka wacana luas, dengan substansi Pancasila masih diperlukan untuk mempererat NKRI. Pada dasarnya Indonesia ini mudah akan terjadi perpecahan, jika generasi penerus tidak menyadari adanya pihak asing yang ingin membuat Indonesia tidak kuat. Buku berjudul “Indonesia Pecah” yang terdiri atas 172 halaman termasuk foto-foto itu memang menarik untuk dibaca karena sedikitnya ada tujuh penyebab Indonesia terncam pecah, seperti, siklus sejarah tujuh abad, atau 70 tahun. Kemudian tidak adanya figur atau tokoh pemersatu yang berperan menjadi Bapak Seluruh Bangsa, pertengkaran sesama anak bangsa yang terus terjadi, upata stategis dari konspoirasi global, dan adanya nama Indonesia yang bukan asli dari Nusantara. Semua itu perlu diteliti lebih lanjut, apakah ada relevansinya dengan kejadian saat ini dimana banyak daerah ingin memisahkannya.
Selengkapnya di Selengkapnya di http://imbalo.wordpress.com/2008/01/07/indonesia-menjadi-17-negara-bagian-kenapa-tidak/ try to click

Pendampingan Usaha Gurem

PADA hari Jumat Legi tanggal 01 Agustus 2008 saya menghadiri acara pelatihan untuk calon Micro Mandiri Manager di training center Bank Mandiri, bertempat di daerah Tanah Abang, Jakarta. Waktu itu kami menyampaikan makalah mengenai “Pendampingan Program Penanggulangan Kemiskinan Berwawasan Kebangsaan”. Saya awali paparan dengan kondisi kemiskinan di Indonesia. Saat ini lebih daripada 43 persen kabupaten/kotamadya atau 190 kabupaten/kotamadya dari 440 kabupaten/ kotamadya di Indonesia masuk dalam kategori daerah tertinggal. Bagian terbesar, sekitar 63 persen, berada di kawasan timur Indonesia, 28 persen di Sumatera, dan 8 persen di Pulau Jawa dan Bali. Itu berarti 67 persen atau 120 kabupaten dari 180 kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia merupakan daerah tertinggal.
Menurut BPS, pada 2007 terdapat 37,17 juta jiwa penduduk miskin atau 16,58 persen penduduk Indonesia. Bila kita taksir ke atas, angka 16,58 persen atau 17% adalah mendekati 20%. Berarti dari 5 orang Indonesia, 1 diantaranya adalah miskin. Lalu bagaimana 4 (empat) orang lain? Mestinya mereka bersama-sama mengentaskan satu orang yang miskin. Selama ini kita kenal “SOS” atau satu orang satu, seandainya satu orang Indonesia membantu satu orang lain –yang notabene miskin- maka selesai sudah kemiskinan di Indonesia. Waktu itu saya mengajak para hadirin untuk memulai dari diri sendiri di forum yang mulia tersebut. Makalah yang saya sampaikan juga berintikan upaya untuk merumuskan peran sebagai maicro mandiri manager untuk berbareng bergerak dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Akumulasi dana masyarakat yang besar dan terkumpul di bank tidak akan berkontribusi nyata bagi penanggulangan kemiskinan, jika tidak didistribusikan ke sektor riil. Khususnya mendukung usaha gurem dan mikro atau UGM, yang orang sering menyebutnya dengan ekonomi rakyat. Kelompok usia produktif (15-55 tahun) sebagai sasaran utama penanggulangan kemiskinan kemudian berkelompok menjadi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), atau malahan ke level yang lebih rendah, yaitu usaha gurem dan mikro (UGM).
Sebagai usaha gurem mereka memerlukan modal untuk mengembangkan usahanya. Pemerintah melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung menyediakan skema "kredit program" yang lebih bersifat subsidi "dana hibah bergulir" untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bergerak di usaha mikro. Kredit program itu ternyata kurang efektif. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain, pertama, dibutuhkan dana pemerintah yang sangat besar untuk menyediakan subsidi dana hibah bergulir tersebut sehingga setiap tahun akan memberatkan keuangan negara melalui APBN.
Kedua, implementasi kredit program ternyata tidak terlalu berhasil terutama berkaitan dengan tingkat kemacetan kredit dan semakin menipisnya dana hibah bergulir sebagai akibat rendahnya akuntabilitas di tingkat masyarakat (moral hazard) yang disebabkan persepsi yang keliru bahwa dana tersebut milik masyarakat yang tidak perlu dipertanggungjawabkan ke pemerintah. Ketiga, kredit program cenderung tidak mendorong penerapan dan pengembangan sistem dan mekanisme pembiayaan yang benar dan proporsional, yaitu melalui lembaga perbankan/lembaga keuangan bukan bank.
Maka UMKM kita dorong untuk berhubungan dengan perbankan, seperti skema program Kredit Untuk Rakyat yang disosialisasikan gencar saat ini. Upaya pemerintah tersebut semestinya ditindaklanjuti dengan mindset pelayanan dari pihak bank. Selama ini UMKM, terutama usaha mikro, sangat sulit memenuhi kriteria 5-C, yaitu character (moral), condition of economy (produktivitas), capacity to repay (kemampuan membayar), capital (semangat kerja/berusaha), dan collateral (agunan tambahan) yang diterapkan perbankan dalam penyaluran kredit. Selama ini, UMKM, terutama usaha mikro dan bahkan gurem, kesulitan memenuhi kriteria collateral.
Untuk menjembatani kesenjangan persepsi antara pemerintah dengan UMKM dan bahkan dengan bank, beberapa program pemerintah menyediakan para pendamping. Seperti misalnya Penyuluh Pertanian Lapangan, Petugas Lapangan Keluarga Berencana, Pekerja Sosial Kecamatan, dan sebagainya. Pada tahun 2003 Bank Indonesia bersama Komite Penanggulangan Kemiskinan di Kementerian Koordinator Bidang Kesra menginisiasi keberadaan Konsultan Keuangan Mitra Bank atau KKMB. KKMB merupakan pendamping/konsultan untuk menghubungkan UMKM dan bank, UMKM dan pasar, serta exit program. Micro Mandiri Manager dapat berperan sebagai KKMB dalam hal ini. Di Depsos semenjak tahun 2007 diperkenalkan Manager Sosial Kecamatan atau Maskot sebagai up grading terhadap Pekerja Sosial Kecamatan.
Para Pendamping, KKMB, dan MMM perlu menyadari kondisi sosiologis masyarakat miskin. Mereka eksis dalam keberagaman kondisi dan potensi, yang ditandai adanya kesenjangan antarmanusia, antargolongan, dan antarwilayah, maka pemberdayaan masyarakat melalui peran segenap komponen pembangunan melalui pendampingan sangat diperlukan. Maka KUR atau skema kredit lainnya apabila ingin memberdayakan masyarakat miskin secara optimal maka fokusnya adalah sektor pertanian di perdesaan.
Senior kami, Profesor Boediono, sering menyatakan dalam hal ini adalah terfokusnya program ke kantong-kantong kemiskinan atau poverty enclave. Bahkan lanjut beliau keberhasilan demokrasi ditentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu. Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi. Tanpa kelompok pembaharu, proses transformasi akan berisiko mandek atau keluar dari jalur yang kita inginkan. Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM dan lain-lain, bahkan MMM.
Sekali lagi, Pendamping merupakan bagian dari upaya menanggulangi kemiskinan. Pendamping akan menyemangati masyarakat agar mandiri. Masyarakat miskin tidak boleh terlalu tergantung pada pemerintah. Dia harus diberdayakan, memiliki kemampuan, dan mulai berkenalan dengan pasar. Inti dari penanggulangan kemiskinan adalah penciptaan lapangan kerja yang luas█ PERNAH dimuat di rubrik Renungan pada edisi Agustus dwimingguan kedua, tahun 2008

Perencanaan dari Pusat ke Daerah

PADA hari Selasa pagi tanggal 22 Juli 2008 di sebuah kesempatan saya bertemu dengan Gubernur Gorontalo, Dr. Fadel Muhammad. Pak Fadel masih seperti yang dulu dengan pembicaraan yang sangat bersemangat mengenai otonomi daerah. Beliau mendapatkan doktor dari Universitas Gadjah Mada pada pertengahan 2007. sebagai penyegar memori kita, dalam disertasinya beliau menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja pemerintah. Faktor yang mempengaruhi kinerja pemerintah ada empat yakni kapasitas manajemen kewirausahaan, budaya organisasi, lingkungan makro dan endowment daerah. Kesemuanya menuntut untuk segera dilakukannya pembenahan atau reinventing local government. Hasil disertasinya menyimpulkan bahwa ternyata faktor lingkungan makro atau pemerintah pusat tidak berpengaruh secara signigikan terhadap terhadap manajemen maupun kinerja daerah. Pemerintah daerah di era otonomi ini harus berani bikin inovasi, bikin terobosan. Dulu saat akan mengembangkan pelabuhan di Gorontalo untuk mengekspor jagung, keinginan tersebut ditolak oleh pusat dengan alasan seandainya Gorontalo memiliki pelabuhan –dan daerah tersebut tak punya pendapatan- maka pusat tidak akan memberi uang. Dengan kewenangan yang penuh dan mendapat persetujuan DPRD, Pemprov Gorontalo lantas mengalokasikan dana dari APBD untuk membangun pelabuhan. Setelah pelabuhan ada, perekonomian Gorontalo justru maju.

Demikian pula pengembangan pelabuhan udara yang oleh pusat diminta untuk dilebarkan, namun justru diperpanjang landasannya. Contoh lain adalah kasus ekspor sapi. Gorontalo sempat mengekspor sapi ke Malaysia, yang mendapat surat teguran dari Menteri Perdagangan. Hal yang sama juga terjadi ketika mengekspor jagung ke Filipina sementara Jakarta masih mengimpor jagung. Padahal secara ekonomis lebih menguntungkan mengekspor ke sana. Kita perlu daerah melakukan inovasi dan terobosan supaya maju. Majunya daerah juga tak lepas dari perubahan mindset (cara berpikir) para birokrat; dari pola pikir birokratik menjadi pola pikir enterpreuner. Budaya di birokratik yang ada adalah loyal, bung Fadel mengubah pegawai di Gorontalo menjadi pekerja yang harus inovatif, bekerja teamwork dan untuk kesejahteraan rakyat serta harus bekerja agar rakyat percaya pada mereka dan bekerja lebih cepat lagi.

Kalau saya melihat hal tersebut bukan sebagai pertentangan antara pusat dengan daerah, akan tetapi tantangan yang harus dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat. Pusat memang harus melihat lokalitas di daerah ketika sebuah kegiatan akan di selenggarakan. Akan tetapi muaranya adalah perencanaan yang memang harus mengindahkan kemajemukan daerah, dan semangat untuk kebersamaan. Pembaca sekalian, pola pembangunan yang kita sepakati telah memasukkan mindsetvisi dan misi Presiden/ Wakil sebagai rujukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, diturunkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah, dan selanjutnya ke Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga. Kementerian dan Lembaga akan mengimplementasikannya secara riil dalam program dan aksi pembangunan. Pemerintah telah menetapkan aksi pembangunan berupa triple track untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan, yaitu dengan employment, income, dan growth. Visi misi Presiden dan Wapres telah ditetapkan bahwa visi pertama Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, kedua Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak-hak asasi manusia, dan ketiga Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Misinya adalah pertama Mewujudkan Indonesia yang aman damai, kedua Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, ketiga Mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
Dalam kaidah ekonomika pembangunan, ketiganya merupakan solusi untuk mengantar masyarakat agar bertransformasi struktural. Misalnya pendapat Harrod-Domar yang membahas 2 (dua) tahap perkembangan masyarakat yaitu dari tradisional ke modern (underdevelopment ke developed communities). Chennery yang berpendapat 3 (tiga) tahapan dari pertanian, industri, lalu ke jasa. Kemudian Rostow yang berasumsi 5 (lima) tahapan yaitu tradisional, pra-kondisi lepas landas, lepas landas, tahap konsumsi tinggi, dan masyarakat yang matang. Kelompok Bersama atau KUBE mengadaptasi hal tersebut dengan slogan “Kerja Untung Tabung” atau Kutabung.

Bahwa bekerja akan mendatangkan keuntungan (profit) yang kemudian disimpan (saving) untuk kehidupan mendatang. Dengan Kutabung akan memunculkan warga yang mandiri, dan pastinya menjadi sejahtera. Langkah-langkah pemberdayaan menuju individu yang sejahtera melalui panca bina. Bina manusia berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kebutuhan dasar tertentu lainnya. Bina usaha berkaitan dengan lapangan kerja dan aspek lain untuk meningkatkan pendapatan. Bina lingkungan berkaitan dengan dengan pemukiman, perumahan dan prasarana pendukungnya. Bina lembaga berkaitan dengan formalitas kelompok masyarakat dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Bina monitoring evaluasi adalah pengawasan apakah kegiatan telah sesuau dengan rencana dan tindak lanjut ke depan.

Individu akan membentuk keluarga, lalu kelompok keluarga membentuk RT dan RW. Selanjutnya ke desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Semenjak reformasi gaung otonomi daerah dalam negara kita semakin berimplementasi secara nyata. Konstruksi dari bangunan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI terdiri atas 8 (delapan) pilar utama, yakni: (1) adanya kewenangan untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan (merupakan inti otonomi daerah) yang menjadi dasar daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, (2) adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan tugas dan wewenang, (3) adanya SDM aparatur yang menjalankan urusan rumah tangga daerah, (4) adanya manajemen pelayanan publik yang baik, sehingga daerah mampu menyediakan pelayanan publik secara efektif dan efisien, (5) adanya sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah, (6) adanya lembaga legislatif yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat, (7) adanya masyarakat dan wilayah kerja dengan batas-batas tertentu, (8) adanya pembinaan dan pengawasan dari kementerian/departemen teknis. Dari delapan pilar tersebut pilar 1, 2, 3 dan 4 merupakan pilar-pilar kebijakan pemerintah. Birokrasi pemerintah daerah merupakan bagian yang integral dari birokrasi nasional, karena konsep otonomi daerah yang dianut adalah tetap dalam koridor NKRI. Dengan kata lain, manajemen pemerintahan daerah merupakan subsistem dari sistem manajemen nasional. Bung Fadel merupakan contoh keberhasilan kepemimpinan di daerah, karena meletakkan ukuran keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dengan kenaikan indeks pembangunan manusia (human development index) yang terdiri atas variabel indek pendidikan, kesehatan, dan perekonomian masyarakat (pendapatan per kapita).
Hal ini sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, bahwa misi yang diemban Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Slogan “bersama kita bisa” bermakna bahwa semua stakeholder harus dilibatkan semua karena perubahan dilakukan secara transparan dan dapat dimonitoring serta dievaluasi.♥ PERNAH dimuat di RENUNGAN edisi akhir Juli Majalah Komite, Kemenko Kesra

Menjadi Pilot, Menjadi Hamba yang Bersyukur

MEMBACA buku “Pilot Spiritual Journey” memang sangat menarik. Di dalamnya bercerita tentang pengalaman pilot dalam mengarungi angkasa. Pilot mempunyai tugas mulia dalam mengantarkan penumpang sesuai tujuan, dengan waktu yang relatif cepat dibandingkan dengan sistem transportasi lainnya. Merekalah yang membawa misi efektif dan efisien –kalau kita hubungkan dengan ilmu manajemen dalam pencapaian tujuan. Pilot adalah para profesional yang menjunjung tinggi kinerjanya. Para pilot sangat tahu dan sangat patuh pada prosedur kerja dan keselamatan, apalagi bila salah prosedur maka resikonya banyak nyawa yang akan melayang, baik crew maupun para penumpang. Pilot adalah sebuah profesi yang tidak main-main. Pilot adalah orang-orang profesional yang menjunjung tinggi profesionalitas karena dihasilkan oleh lembaga pendidikan profesi, serta patuh dan taat pada kode etik profesi yang dikeluarkan oleh organisasi profesinya. Merekalah orang-orang terpilih.
Banyak orang bercitacita untuk menjadi seorang pilot. Hampir setiap anak –terutama bocah laki-laki- akan menyebut ’pilot’ ketika ditanya citacitanya. Saya sendiri pernah mencitacitakan hal tersebut. Tetapi ketika SMA saya merasa kurang mampu dalam matematika sehingga masuk ke jurusan sosial, bukan jurusan ilmu pasti yang sebenarnya akan lebih mempermudah jalan untuk menjadi seorang pilot. Untuk itu saya mengambil les private khusus pelajaran matematika di Solo sekitar 40 tahun yang lalu. Tetapi jalan hidup mengantar saya ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Berbekal les matematika, saya menjadi asisten mata kuliah matematika ekonomi, dan akhirnya mata kuliah ”Ekonometrika” merupakan mata kuliah yang saya ampu pertama kali sebagai staf pengajar di UGM.
Urung menjadi pilot ternyata membawa berkah, blessing in disguise. Ilmu matematika yang rencananya saya pakai untuk melamar pilot malah membawa saya ke Ekonometrika. Dan yang lebih penting, teman –bahkan saudara- saya kebanyakan adalah pilot. Kakak ipar saya seorang pilot, keponakan saya ada juga yang pilot, dan tak terhitung teman-teman saya –terutama di ESQ- yang berprofesi sebagai seorang pilot. Bersahabat dengan banyak pilot, sering berbincang dengan mereka membawa kemampuan personal saya untuk berparadigma agar tidak main-main juga menjadi seorang ’pilot negara’. Menjadi pilot negara yang berada di belakang meja birokrasi barangkali menjadi penghibur bagi saya karena tidak menjadi pilot pesawat udara. Pengalaman saya lainnya dalam hal ini adalah kesempatan untuk menjadi ”Pramuka Udara” di Gugus Depan 71 SMP Negeri 1 Solo, yang sempat menjuarai lokakarya Pramuka Udara (LOKADA) tingkat provinsi, kemudian maju ke tingkat nasional pada waktu itu. Hal itu semakin menambah kecintaan saya kepada khasanah dunia kedirgantaraan. Belum lagi, salahsatu rekan karib saya adalah Prof. Said Djauharsyah Jenie (Alm) sang pakar aerodinamik terkemuka dari IPTN dan Staf Khusus Presiden BJ Habibie pada waktu itu, yang sering mengajak saya berbincangbincang.
Membaca buku ”Pilot Spiritual Journey” membawa alam bawah sadar saya ke arena angkasa yang pernah saya saksikan secara live di cockpit pesawat udara. Terima kasih kepada mas Kapten Setia Budi yang beberapa kali membawa saya masuk ke ruang itu. Sungguh pengalaman yang luar biasa menyaksikan bahwa kita begitu kecil di dalam keruangan-Nya. Itu saja baru langit, bagaimana dengan jagad raya yang jarak antar bintang bisa mencapai ribuan tahun cahaya. Kita benar-benar kecil.
Saya pernah mengatakan hal ini kepada mas Kapten Setya Budi dan Kapten Abdul Rozak –sang Pilot yang mendaratkan pesawat Garuda di Bengawan Solo. Anda sebagai seorang pilot adalah juga merupakan utusan Tuhan Allah SWT. Orang-orang yang pinilih. Di dalam jiwa Anda melekat sifat-sifat Tuhan YME, yang harus Anda implementasikan dalam bekerja sebagai seorang pilot. Ya Muta’aaliy, yang meninggikan, yang menjunjung tinggi akan nilai tanggung jawab, dan melayani. Dalam buku ini juga disebut bahwa di Indonesia setidaknya terdapat 5000 orang pilot, tidak seberapa dibanding 250 juta penduduk Indonesia, karena perbandingannya mencapai 1: 50.000. Investasi untuk menjadi pilot dalam training 3 (tiga) tahun setidaknya mencapai Rp 300 juta. Benar-benar sebuah penanaman modal yang besar dalam pembangunan manusia. Penanaman modal tersebut tidak akan berarti apa-apa bila tidak diiringi dengan ”penanaman modal akhirat” atau PMA. Bila melihat pilot sebagai sebuah profesi, maka hanya melihat dari perspektif emosional.
Dalam ’kaidah’ emosional, eksodus pilot dari maskapai satu ke yang lain dapat dibenarkan, dalam rangka memenuhi hajad hidupnya. Tetapi secara ’intelektual’ dan ’spiritual’ belum dapat dipandang benar. Peran pelayanan seorang pilot dalam menerbangkan awak dan penumpang adalah penglihatan secara perspektif intelektual. Seperti seorang sastrawan Kahlil Gibran menyatakan, ”Kerja adalah cinta yang mengejawantah”. Seorang pilot apabila mencintai pekerjaannya maka sepenuh hidupnya akan diabdikan untuk dunia ke”pilot”an. Jadi kata kuncinya adalah ”pelayanan”. Hal tersebut selalu diingatkan oleh Guru kita, Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian, dalam setiap training ESQ –bahwa tugas melayani merupakan sikap seorang samurai dengan semangat Bushido. Kepada para pilot dan mereka yang memahaminya pasti sangat terkenang akan hal tersebut. Secara spiritual maka pilot dalam melaksanakan tugasnya secara kebatinan harus merasa dirinyalah sang khalifah di muka bumi yang menebarkan keselamatan ke segenap penduduk dunia. Maka di dalamnya inheren pula sikap syukur seorang pilot kepada Sang Penciptanya, Allah SWT. Memahami fenomena penerbangan pesawat udara adalah kekaguman teknologi yang luar biasa, dan memerlukan waktu berpuluh dan bahkan beratus tahun untuk tumbuh dan berkembang. Semenjak tahun 1903 ketika Orville dan Wilbur Wright mampu menerbangkan pesawat selama 12 detik (36 meter), kemudian tahun 2007 kemarin ditandai dengan adanya pesawat Airbus A380 Super jumbo yang mampu menampung 500 penumpang. Bagi saya, dari 100 persen keberhasilan maka yang 99 persen adalah usaha manusia dan 1 persen adalah Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Tetapi yang 1 persen ini letaknya mendekati paripurna dan bersifat menentukan. Ketika 1 persen tidak dikabulkan Tuhan YME maka rusaklah usaha 99 persen kita. Maka kita harus sabar dalam mengarungi 99, dan bersyukur ketika 1 melengkapinya menjadi 100. ”Menjadi hamba yang sabar dan bersyukur”, itulah yang bisa saya pesankan. Selamat membaca.
Salemba Raya, 15 Agustus 2008
G.S.
Sebagai kata pengantar di buku “Pilot Spiritual Journey” , 2008

Kesejahteraan Sosial sebagai Senjata Terampuh

KORUPSI ibarat kanker di dalam darah yang perlahan tapi pasti akan membuat si penderita mati. Pemerintah sudah berupaya membuat berbagai kebijakan untuk memberantas korupsi misalnya UU No. 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 28/ 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih KKN dan seperangkat peraturan yang mengikat lainnya. Dengan dukungan segenap masyarakat, tekad Kabinet Indonesia Bersatu tidak perlu diragukan lagi. Tetapi korupsi memang sudah mengakar di setiap strata kehidupan masyarakat selama puluhan tahun. Tindakan tegas sudah dimulai pada era pemerintahan SBY-MJK, namun ada ketidaksabaran di kalangan akademisi, yang kemudian menyatakan ada kesan ‘tebang pilih’ terhadap para koruptor.
Bagaimana resep yang manjur untuk mengobatinya? Setidaknya terdapat 4 (empat) hal untuk mencegah terjadinya korupsi. Resep yang sebenarnya sudah banyak diketahui orang –namun lupa untuk diterapkan. Pertama, bersikap jujur, kedua bertanggungjawab, ketiga disiplin, keempat menjalin kerjasama. Menjalin kerjasama dalam hal ini adalah tidak saling curiga, saling berbuat kebaikan. Apa itu berbuat baik? Ialah melaksanakan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Korupsi pasti merugikan Negara, apalagi ia mengurangi hak orang lain. Namun yang sukar dibuktikan adalah yang dilakukan secara ‘suka sama suka’ secara massal, yang tidak mengurangi hak orang-orang tersebut. Kita memerlukan sistem yang mampu menutup potensi ke arah korupsi ‘korupsi jamaah' itu.
Pernyataan bapak Wakil Presiden beberapa waktu lalu memang ada benarnya. Bahwa ketakutan akan dicap ‘korup’ juga ternyata menghambat pembangunan. Banyak pimpinan proyek di berbagai departemen tidak berani melaksanakan kegiatannya, karena belum apa-apa sudah dicurigai. Ibaratnya baru ingin melakukan proyek sudah dikatakan patut dapat diduga terjadi penyimpangan, padahal belum melakukan apa-apa. Hal tersebut membuat orang tidak berani melangkah, dan rawan untuk membuat mandeg ekonomi rakyat –padahal keinginan kita adalah bergeraknya sektor riil. Disinilah peran resep keempat –yakni menjalin kerjasama- patut diterapkan. Pengawasan perlu memperhitungkan matrik ‘mendesak penting’ untuk mengerti kondisi di lapangan.
Saya amat terpesona membaca stiker ‘Korupsikah aku?” yang beberapa kali kita jumpai terpasang di motor-motor yang melintas di jalan raya. Kita jangan saling menyalahkan orang lain –lihatlah diri sendiri. Menegakkan hal yang tidak bener memang harus dimulai dari diri sendiri.
Pelaku korupsi dapat dikatagorikan lemah dalam segi berwawasan kebangsaan. Walau dapat berkilah bahwa persepsi terhadap wawasan kebangsaan dapat beragam, namun selayaknya kita identifikasi terdapat beberapa hal yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Membicarakan wawasan kebangasaan tidak lepas dari 3 (tiga) prinsip, yaitu pertama prinsip Kemerdekaan, kedua prinsip nilai-nilai kepahlawanan, dan ketiga prinsip kesetiakawanan.
Dalam prinsip kemerdekaan, kita harus terlepas dari belenggu ketergantungan. Jugas bebas terhadap rasa curiga. Kita harus positive thingking, khusnuzan terhadap sesama, apalagi bangsa sendiri.
Nilai kepahlawanan adalah ditujukan untuk melawan ketidakadilan. Kalau dulu pahlawan identik dengan melawan penjajah, sekarang nilai tersebut diterapkan dalam kerangka melawan ketidakadilan –termasuk korupsi. Dalam hal ini penjajah identik dengan koruptor, karena tidak adil kepada sesama manusia, tepatnya kepada bangsa Indonesia.
Sedangkan kesetiakawanan hanya dapat terjadi jika terbangun dari kumpulan masyarakat terkecil, yakni keluarga –bahkan pribadi. Setelah itu berkembang ke tingkat rukun tetangga, rukun warga, dusun, desa, berlanjut kecamatan, kabupaten, lalu provinsi. Provinsi-provinsi bergabung di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak mungkin suatu Negara terbentuk tanpa kesetiakawanan. Namun kesetiakawanan belum cukup. Kesetiakawanan harus diikuti oleh bukti nyata berupa kesejahteraan. Jika ketiga nilai di atas dapat terpenuhi maka hilanglah yang namanya korupsi. Kesejahteraan sosial menjadi senjata paling ampuh untuk melawan korupsi. Semua dalam kesejahteraan masing-masing, tanpa berusaha mengurangi hak orang lain. ♥TULISAN ini pernah dimuat di majalah Komite pada kolom Renungan di bulan Januari 2007

Keseimbangan

KEHIDUPAN ini diciptakan dalam dunia yang seimbang. Orang-orang sering menganalogikan dengan ’pasangan’ sebagai simbol keseimbangan. Ada kanan ada kiri, ada lelaki ada perempuan, kemudian ada atas ada bawah. Orang yang berada di atas suatu saat harus siap ketika menempati posisi di bawah. Melalui agama selanjutnya kita diajari tentang 2 (dua) hal: yang baik dan buruk. Lebih mengkhusus lagi pada ilmu pertanian kita juga diajari 2 (dua) hal yaitu ”tabur dan tuai”. Siapa yang menabur benih akan menuai buah di kelak kemudian hari. Barangsiapa yang menabur kebaikan maka dia akan menuai kebahagiaan. Dalam pepatah Jawa terdapat pepatah sapa sing nandur bakal ngunduh yang artinya ”siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang berbuat baik akan memetik hasilnya berupa kebaikan di kemudian hari. Sebaliknya yang berbuat buruk akan menerima nestapa. Hal yang sama diutarakan oleh seorang tokoh spiritual yang telah meninggal yaitu bunda Theresa yang pernah menyatakan ”Buah dari sunyi itu doa, buah doa itu iman, buah iman cinta, buah cinta pelayanan, buah pelayanan itu perdamaian”. Sedangkan Stephen Covey sang ahli motivasi terkini menulis ”Siapa menabur gagasan akan menuai perbuatan. Siapa menabur perbuatan akan menuai kebiasaan. Siapa menabur kebiasaan akan menuai karakter. Siapa menabur karakter akan menuai nasib”. Rekan saya dari Universitas Diponegoro, Prof Darmanto Jatman, menyebut hal ini sebagai hukum tebar-tuai.

Mereka yang berbuat baik akan menuai kebaikan nanti kelak di kemudian hari. Bila kita kaitkan dengan Pancasila, frase tersebut merupakan bagian dari pengamalan sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa. Bagi perenungan saya, kondisi saat ini –ketika suasana politik caci maki makin mengemuka sehingga keseimbangan terlupa- merupakan indikasi bahwa sila pertama tersebut telah kita tinggalkan. Bagi para politisi, pelaksanaan sila pertama Pancasila adalah berbuat baik dan berbicara jujur, lawan politik mereka sebenarnya adalah kawan dalam membangun bangsa. Berkampanye pun demikian bila kita lihat akhir-akhir ini banyak sekali tayangan kampanye di televisi. Bila politisi tidak jujur dalam kampanyenya, maka mekanisme ’tangan Tuhan’ atau barangkali invisible hand, akan membalas kemudian hari bahwa kemungkinan besar dia akan tidak terpilih.

Dalam khasanah ilmu ekonomi, keseimbangan disebut dengan 'equilibrium' suatu keadaan ketika kurva permintaan dan penawaran bertemu pada suatu titik. Namun kondisi ekuilibrium belum mencerminkan keadaan yang dinginkan oleh kedua pihak –yaitu produsen dan/ atau konsumen. Ketika struktur pasar dikuasai produsen –misalnya kasus monopoli dan oligopoli- maka titik equilibrium mencerminkan kecenderungan konsumen yang dirugikan, atau yang terjadi dead weight loss yaitu kesejahteraan yang hilang yang masing-masing pelaku ekonomi tidak mendapatkannya. Demikian pula ketika struktur sangat dikuasai konsumen, pada kasus monopsoni, maka produsen tidak mempunyai harga tawar –misalnya terjadi pada sektor pertanian sehingga petani sebagai produsen sangat dirugikan.

Keuntungan dari keberadaan pasar persaingan sempurna adalah kemampuannya untuk mencerminkan harga keseimbangan sebagai harga yang sesunguhnya diinginkan masing-masing pelaku ekonomi. Persaingan karena banyaknya penjual/ pembeli akan membuat semakin efisiennya dinamika ekonomi yang terjadi. Syarat munculnya pasar yang seimbang adalah full employment (kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh), equal productivity (setiap orang memiliki kemampuan yang sama), rational efficient (masing-masing pelaku bertindak nalar). Tetapi apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka yang terjadi adalah kegagalan pasar, yang indikasinya adalah munculnya pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan –baik kesenjangan antar golongan penduduk, antar sektor, maupun antar daerah.

Pertanyaannya, bagaimana apabila struktur pasar telah mengejawantah persaingan sempurna namun masih terjadi kegagalan pasar? Dalam hal ini Pemerintah perlu untuk bertindak dengan mengintervensi pasar. Bisa dengan ceiling price maupun floor price, atau menambah jumlah uang beredar dan menaik/ turunkan suku bunga dalam ilmu moneter. Dalam beberapa program Pemerintah seperti dalam program penanggulangan kemiskinan, masyarakat diingatkan agar ’seimbang’ melalui komponen pendamping, misalnya para Manager Sosial Kecamatan atau Maskot dalam program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang tugasnya adalah mengingatkan masyarakat agar kembali menuju keseimbangan. Pengibaratannya kurang lebih demikian.

Ketika ketidakseimbangan terjadi dalam kehidupan kita, dalam kehidupan sehari-hari dengan tetangga, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah kita memang harus selalu menunggu kehadiran Pemerintah melalui intervensinya. Di sinilah perbedaan antara masyarakat modern dan tradisional. Masyarakat tradisional selalu menunggu uluran tangan Pemerintah –seperti dalam sebuah anekdot kasus bocornya genteng sekolahan yang tidak ditambaltambal karena menunggu bantuan Depdiknas. Sementara masyarakat modern berusaha untuk menyelesaikannya secara bersama dengan musyawarah dan mufakat. Dengan kesadaran sendiri maka mereka tanggulangi permasalahan secara bersamasama.

Keberadaan Dr. Kana Sutrisna beserta Quality Leadership Management (QLM) dapat diibaratkan seperti mereka yang mengingatkan agar dunia ini seimbang. Kredo yang sering beliau ingatkan adalah ”Seseorang akan sukses bila dia bisa menyeimbangkan kehidupan spiritual dan duniawi”. Sekali lagi keseimbangan. Kemudian melalui bukunya “The Balance Way Map to Rich” beliau menekankan mengenai 6 (enam) hal yaitu maximum action, planning, Pro-poor, ridho, ikhlas, head voice. Mengutip hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa ”Sebaikbaik insan adalah yang bermanfaat bagi sesama” maka keberadaan Dr Kana melalui konsep-konsep penyeimbangnya insyaallah akan bermanfaat bagi harmonisasi alam ini. Mari menuju keseimbangan diri (jagat cilik) dan menghimbau semua untuk menuju keseimbangan bersama (jagat gede). Karena bukan orang lain, bukan kelompok besar, tetapi individu, ya individu termasuk Anda, adalah penentu keseimbangan dunia. Selamat membaca.Prof. Gunawan Sumodiningrat, M.Ec., Ph.D.ATAS permintaan Dr Kana Sutrisna saya dimohon memberi Kata Pengantar pada bukunya. Tulisan di atas merupakan draft yang kami kirim

Memberdayakan Masjid

PADA hari Sabtu tanggal 14 Juni 2008 kami diundang oleh Pondok Pesantren Krapyak (Al Munawwir) Yogyakarta untuk mengisi ceramah pada acara “Temu Alumni dan Sarasehan”. Acara ini diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Pondok Pesantren Al Munawwir dengan Lembaga Ta’wir Masjid Indonesia (LTMI) PWNU Yogyakarta. Pada acara yang bertema “Revitalisasi Aswaja dan Pemberdayaan Masjid” itu kami didaulat untuk menyampaikan tema “Pemberdayaan Masjid dengan Pendekatan Sosial”. Dengan menggunakan pendekatan metodologis filsafat (ontologis, epistemologis, dan aksiologis) saya urai masing-masing kata kunci menjadi apa-kenapa-bagaimana, seperti yang dilakukan Paul Samuelson dalam buku babonnya Economic (waktu itu Samuelson memverifikasi makna Ekonomika). Selengkapnya sebagai berikut.
APA itu “Pemberdayaan”? Ialah agenda peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia dan bangsa (dikutip dari “Responsi Pemerintah terhadap Kesenjangan Ekonomi”, 2006). Mengapa atau kenapa dipilih Pemberdayaan? Pemberdayaan menjadi penting karena ia merupakan strategi penanggulangan kemiskinan yang paling efektif. Hasilnya lebih sustainable atau berkelanjutan. Bagaimana pemberdayaan? Masyarakat miskin kelompok usia produktif (15-55 tahun) diberi “daya”. Penyadaran dengan target. Mereka yang akan diberdayakan diberi pencerahan dan disadarkan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk maju. Diberikan kemampuan. Peningkatan kapasitas ini dilakukan kepada manusia, organisasi, dan sistem nilai yang melekat padanya. Diberi daya, kekuasaan, dan otoritas. Mereka diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam komunitas.
APA itu “Masjid”? Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada yang berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan" (sumber: wikipedia). Masjid disamping sebagai tempat beribadah umat Islam dalam arti khusus (mahdlah) juga merupakan tempat beribadah secara luas (ghairu mahdlah) selama dilakukan dalam batas-batas syari'ah. Mengapa Masjid penting? Masjid mempunyai peran penting karena tempat manusia berkumpul. Diperkirakan jumlah masjid saat ini di Indonesia mencapai 800 ribu buah, dengan data terakhir tahun 2004 sebanyak 643.834 buah masjid. Apabila kaum muslim mempunyai spirit memakmurkan masjid maka hal tersebut menjadi potensi yang luar biasa. Bagaimana merevitalisasi masjid? Masjid sebagai tempat musyawarah untuk pengambilan keputusan politik/ kebijakan, pendidikan anak dan pengajian, serta silaturahmi antar generasi. Al Quran Surat At Taubah ayat 18: Hanyalah yang memakmurkan Masjid-Masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. APA itu “pendekatan sosial”? Definisi yang didapatkan dari beberapa halaman internet menyebutkan bahwa: (1)Pendekatan sosial adalah pendekatan terhadap khalayak sasaran dengan maksud agar khalayak sasaran dapat dijadikan. subjek dan bukan objek dari kegiatan. (2)Pendekatan sosial adalah proses komunikasi untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari kegiatan sosial. (3)Pendekatan sosial adalah untuk keadilan peluang berusaha dan atas pemerataan kesejahteraan. (4)Pendekatan sosial adalah suatu pendekatan yang dikembangkan dengan harapan bahwa setiap aktivitas pembangunan harus memperhatikan lingkungan sosial, sehingga tidak menimbulkan gejolak dan konflik sosial didalam masyarakat. Mengapa? Pendekatan sosial menjadi penting karena mempertimbangkan lokalitas dan sustainabilitas dari sebuah kegiatan. Dengan pendekatan sosial maka diupayakan penguatan basis ekonomi rakyat kecil agar mereka merasakan secara langsung program pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Langkahnya melalui Panca Bina: manusia, usaha, lingkungan, kelembagaan, dan monitoring evaluasi (moneva). Sedangkan komponen programnya adalah Konsepsi, Advokasi, Edukasi, Supervisi, dan Moneva Merubah dari belas kasihan menjadi penuh kasih sayang▀ TULISAN ini ringkasan power point dari presentasi di acara “Temu Alumni dan Sarasehan” yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Pondok Pesantren Al Munawwir dengan Lembaga Ta’wir Masjid Indonesia (LTMI) PWNU Yogyakarta PADA hari Sabtu tanggal 14 Juni 2008