Kamis, 28 Agustus 2008

Sapa sing nandur...

HALAMAN ini membahas mengenai "Hukum Tebar Tuai". Agama mengajarkan kita tentang 2 (dua) hal: yang baik dan buruk. Ilmu pertanian memberi khasanah tentang 2 (dua) hal juga yaitu ”tabur dan tuai”. Siapa yang menabur benih akan menuai buah di kelak kemudian hari. Barangsiapa yang menabur kebaikan maka dia akan menuai kebahagiaan. Dalam pepatah Jawa terdapat pepatah sapa sing nandur bakal ngunduh yang artinya ”siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang berbuat baik akan memetik hasilnya berupa kebaikan di kemudian hari. Sebaliknya yang berbuat buruk akan menerima nestapa. Hal yang sama diutarakan oleh seorang tokoh spiritual yang telah meninggal yaitu bunda Theresa yang pernah menyatakan ”Buah dari sunyi itu doa, buah doa itu iman, buah iman cinta, buah cinta pelayanan, buah pelayanan itu perdamaian”. Sedangkan Stephen Covey sang ahli motivasi terkini menulis ”Siapa menabur gagasan akan menuai perbuatan. Siapa menabur perbuatan akan menuai kebiasaan. Siapa menabur kebiasaan akan menuai karakter. Siapa menabur karakter akan menuai nasib”. Rekan saya dari Universitas Diponegoro, Prof Darmanto Jatman, menyebut hal ini sebagai hukum tebar-tuai. Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/keseimbangan.html try to copy, paste, then enter

Working together to reduce pov

THE sentence "Working together to reduce poverty" is declared on 2000 by the world bank. Actually on the recent years after the spirit of “working together to reduce poverty” there’s a growing awareness of the need to address the problem of youth employment in Indonesia –both to provide decent work opportunites for young people and to allow Indonesia to get the full benefit in its economic and social development of their contribution. The time to combat poverty has arrived, sure that hard work lies a head. We have to commit to ending poverty. The first step is commitment to the task: focus to halving poverty by 2015 and struggle to ending poverty by 2025. Better that we did not wait for the rich and powerfull to come to rescue. The poor cannot wait.

Hence, corporate social responsibility or CSR emerges as a responsibility way of the corporation to maintain its beneficence and reduce the negative impacts. The negative impact could be exist resulted from the efforts to build the beneficence values. This objective will not be achieved without a synergetic cooperation between the corporation, community and government. CSR will be successful if the corporation’s plan of CSR conducted by the triple bottom line concept which be implemented by revolutionary change in corporate attitudes in positioning the corporation amid the community and government. Thus, there must be cooperation between corporations, government and community. Starting from this point Good Corporate Governance (GCG) can be achieved. Absolutely, the collaboration between CSR, Triple Bottom Line and GCG can reduce the number of the poor.█ Ringkasan. This article is presented in CSR Forum, at Jakarta, 26th of August 2008 ibl Jakarta

Optimalizing CSR

CORPORATE Social Responsibility (CSR) is a term that has in recent years increasingly entered into the language of business. It is a term that means many different things to different people, be they businessmen themselves, civil society, academia or public in general. It is a term that is itself subject to variation. To some it is corporate responsibility, to others private voluntary initiatives, to yet others corporate social opportunity. However, no matter what it is called the fundamentals remain the same: they are voluntary positive initiatives by business that look to go beyond legal compliance in a diverse range of social, economic and environmental areas. Corporate social responsibility is not new. Business has long recognized its role along side others in contributing to the development of the communities in which it operates. Finally, CSR is a business-led response to the business environment. Given the speed of change and uncertainties that exist in the marketplace, business needs the flexibility to respond quickly to market shifts. The voluntary nature of CSR and the vast range of often very innovative responses available to business mean that that responsiveness can be retained and that the social progress to which CSR contributes can continue to develop. The corporate policies on CSR have been automatically integrated in the corporate management system, written in policies on both annual and long term program. █ Ringkasan This article is presented in CSR Forum, at Jakarta, 26th of August 2008 ibl Jakarta

Community Development is not Enough

THE founding fathers of Indonesia has declared any countries goals to serve for its citizens. Any goals to become a truly government is written at the Preamble of Indonesian constitutional (Undang- Undang Dasar 1945 or UUD 1945) –by realizing common prosperity, educating national life, protecting the whole nation and fatherland of Indonesia, and following world order. The derivation of those goals is poverty alleviation. The strategic policy to reduce poverty is community development. It is a structured intervention that gives communities greater control over the conditions that affect their lives. Community development has to look both ways: not only at how the community is working at the grass roots, but also at how responsive key institutions are to the needs of local communities. Community development is not enough refers to constraint of the location. Directorate General of Social Empower, Department of Social Affairs, tried to achieve “Kecamatan as Center of Growth”. To alleviate poverty and doing community development, the government couldn’t do alone. We still tried to the implementation of “Working together to reduced poverty” by employment, income, and growth, or “Kutabung” (kerja, untung, tabung). --next-- Hence...█This article is presented in CSR Forum, at Jakarta, 26th of August 2008 ibl Jakarta

Budaya dan Pembangunan

SAMPAI dengan sekarang bagaimanapun Jawa adalah sentral. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi di jaman Majapahit (abad 14), Belanda (abad 17-20), Inggris (abad 19), maupun Jepang (abad 20). Kondisi faktualnya adalah: Jawa merupakan kawasan berpenduduk paling padat, namun Jawa merupakan kawasan paling maju, dengan konsekuensi Jawa merupakan kawasan paling makmur. Kondisi ini sedemikian kontras, hingga kerajaan-kerajaan di Indonesia masa lalu dan para penjajah biasanya hanya membagi Nusantara menjadi Jawa dan luar Jawa, di mana Jawa menjadi sentral dan luar Jawa menjadi periferal. Jawa pasca kemerdekaan hingga hari ini tetap menjadi sentrum dari Indonesia. Pergolakan politik di luar Jawa tidak banyak berpengaruh bagi perubahan politik nasional dibanding pergolakan kecil di Jawa. Kondisi ini diperkuat dengan kebijakan sentralistik yang merupakan turunan dari kebijakan politik “Negara Kesatuan” yang dengan sengaja dipilih oleh para pendiri bangsa. Orde Baru dengan paradigmanya yang sentralistik dengan UU 5/1974 tentang Pemerintahan di daerah mengukuhkan kondisi sentralistik ini. Pembangunan Indonesia pun di sana-sini mendapatkan kritikan sebagai “Jawanisasi”. -- cut -- Adalah kurang bijaksana membawa diskusi ke ranah tersebut, karena dapat berkembang ke isu apakah kita harus memilih budaya politik Jawa atau bukan Jawa. Karena itu, hal pertama yang akan dikaji kemudian adalah MAKNA dari integrasi nasional itu sendiri, baru kemudian dipertautkan dengan karakter budaya yang memberikan dukungan secara efektif kepadanya. Silakan click http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/keseimbangan-ekonomika.html 2002

Keseimbangan Ekonomika

DALAM khasanah ilmu ekonomi, keseimbangan disebut dengan 'ekuilibrium’, being equal , suatu keadaan ketika kurva permintaan dan penawaran bertemu pada suatu titik. Namun kondisi ekuilibrium belum mencerminkan keadaan yang dinginkan oleh kedua pihak –yaitu produsen dan/ atau konsumen. Ketika struktur pasar dikuasai produsen –misalnya kasus monopoli dan oligopoli- maka titik equilibrium mencerminkan kecenderungan konsumen yang dirugikan, atau yang terjadi dead weight loss yaitu kesejahteraan yang hilang yang masing-masing pelaku ekonomi tidak mendapatkannya. Demikian pula ketika struktur sangat dikuasai konsumen, pada kasus monopsoni, maka produsen tidak mempunyai harga tawar –misalnya terjadi pada sektor pertanian sehingga petani sebagai produsen sangat dirugikan. Keuntungan dari keberadaan pasar persaingan sempurna adalah kemampuannya untuk mencerminkan harga keseimbangan sebagai harga yang sesunguhnya diinginkan masing-masing pelaku ekonomi. Persaingan karena banyaknya penjual/ pembeli akan membuat semakin efisiennya dinamika ekonomi yang terjadi. Syarat-syarat munculnya pasar yang seimbang adalah full employment (kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh), equal productivity (setiap orang memiliki kemampuan yang sama), rational efficient (masing-masing pelaku bertindak nalar). Tetapi apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka yang terjadi adalah kegagalan pasar, yang indikasinya adalah munculnya pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan –baik kesenjangan antar golongan penduduk, antar sektor, maupun antar daerah. Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/keseimbangan.html try to copy, paste, then enter

Mengapa Kita Bisa Bersatu

SERING saya masih mencari tahu bagaimana dan mengapa rakyat Indonesia dulu dapat bersatu. Padahal kita lihat banyak perbedaan. Mungkin begini jawabnya. Bahwa perbedaan itu dapat disatukan, lantaran adanya Pancasila, diantara sila Pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa, yang dibingkai dalam lambang Burung Garuda, yakni Bhineka Tunggal Eka. Atas nama Tuhan Yang Maha Esa, kita dapat disatukan, melalui simbol Pancasila. Oleh karena itu saya mendorong pemerintah sebaiknya melakukan kaji ulang untuk menerapkan Pedoman Pengamalan Penghayatan Pancasila (P4). Jika dulu cara penyampaiannya menggunakan model indoktrinasi, saat ini perlu diubah melalui diskusi dan membuka wacana luas, dengan substansi Pancasila masih diperlukan untuk mempererat NKRI. Pada dasarnya Indonesia ini mudah akan terjadi perpecahan, jika generasi penerus tidak menyadari adanya pihak asing yang ingin membuat Indonesia tidak kuat. Kemudian kita perlu adanya figur atau tokoh pemersatu yang berperan menjadi Bapak Seluruh Bangsa, pertengkaran sesama anak bangsa yang terus terjadi, upata stategis dari konspoirasi global, dan adanya nama Indonesia yang bukan asli dari Nusantara. Semua itu perlu diteliti lebih lanjut, apakah ada relevansinya dengan kejadian saat ini dimana banyak daerah ingin memisahkannya.
Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/prinsip-prinsip-mencegah-kekorupsian.html try to click

Character, Condition of economy, Capacity to repay, Capital, Collateral

USAHA Mikro, Kecil, dan Menengah atau UMKM musti kita bantu dan dorong untuk berhubungan dengan perbankan, seperti skema program Kredit Untuk Rakyat atau KUR yang disosialisasikan gencar saat ini. Upaya pemerintah tersebut semestinya ditindaklanjuti dengan mindset pelayanan dari pihak bank. Selama ini UMKM, terutama usaha mikro, sangat sulit memenuhi kriteria 5-C, yaitu character (moral), condition of economy (produktivitas), capacity to repay (kemampuan membayar), capital (semangat kerja/berusaha), dan collateral (agunan tambahan) yang diterapkan perbankan dalam penyaluran kredit. UMKM, terutama usaha mikro dan bahkan gurem, kesulitan memenuhi kriteria collateral. Untuk menjembatani kesenjangan persepsi atau asymetric information antara pemerintah dengan UMKM dan bahkan dengan bank, beberapa program pemerintah menyediakan para pendamping. Seperti misalnya Penyuluh Pertanian Lapangan, Petugas Lapangan Keluarga Berencana, Pekerja Sosial Kecamatan, dan sebagainya... Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/masjid-sebagai-center-of-empowerment.html

Prinsip-prinsip Mencegah Kekorupsian

BAGAIMANA resep yang sekiranya manjur untuk mengobati korupsi dari aspek spiritual? Setidaknya terdapat 4 (empat) hal untuk mencegah terjadinya korupsi. Resep yang sebenarnya sudah banyak diketahui orang --namun lupa untuk diterapkan. Pertama, bersikap jujur, kedua bertanggungjawab, ketiga disiplin, keempat menjalin kerjasama. Menjalin kerjasama dalam hal ini adalah tidak saling curiga, saling berbuat kebaikan. Apa itu berbuat baik? Ialah melaksanakan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Korupsi pasti merugikan Negara, apalagi ia mengurangi hak orang lain. Namun yang sukar dibuktikan adalah yang dilakukan secara ‘suka sama suka’ secara massal, yang tidak mengurangi hak orang-orang tersebut. Kita memerlukan sistem yang mampu menutup potensi ke arah korupsi ‘korupsi jamaah' itu..... Selengkapnya di http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/kesejahteraan-sosial-sebagai-senjata.html try to click

Kejujuran adalah....

KEJUJURAN adalah perkataan, pikiran, tulisan, dan langkah yang benar, sesuai dengan hati nurani. Karena sesungguhnya, hati nurani akan selalu berada pada kebenaran dan berbuat sesuatu Lillahita’ala, karena Allah semata. Karena kejujuranlah seseorang akan terhindar dari perbuatan yang dapat merusak dirinya dan juga yang merugikan orang lain. Kejujuran merupakan landasan kehidupan bagi umat manusia. Karena, apabila seseorang tidak jujur, berarti ia melakukan hal yang tidak benar, karena tidak melaksanakan petunjuk dari Tuhannya. Kejujuran itu akan menyiptakan Hamemayu Hayuning Bawono, membuat dunia menjadi lebih baik, menjadikan bangsa ini Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur. Jujur berarti melaksanakan Asmaul Husna, sebagai sifat Allah Al- Mu’min Yang Maha Jujur. Untuk menjadi pribadi yang jujur, dibutuhkan kesadaran dan latihan secara serius yang merupakan penyatuan antara cipta, rasa, dan karsa. Antara intelektual, emosional dan spiritual. Dalam Islam, itu dicontohkan dengan mendirikan sholat. Karena, dengan sholat itulah seseorang melakukan sesuatu kebaikan yang sesuai dengan perintah Tuhan, sesuai hati nurani dan sesuai dengan perputaran bumi. Selengkapnya di http://esqmagazine.com/artikel_dtl.php?id=423
hasil wawancara dengan ESQmagazine