Kamis, 28 Agustus 2008

Budaya dan Pembangunan

SAMPAI dengan sekarang bagaimanapun Jawa adalah sentral. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi di jaman Majapahit (abad 14), Belanda (abad 17-20), Inggris (abad 19), maupun Jepang (abad 20). Kondisi faktualnya adalah: Jawa merupakan kawasan berpenduduk paling padat, namun Jawa merupakan kawasan paling maju, dengan konsekuensi Jawa merupakan kawasan paling makmur. Kondisi ini sedemikian kontras, hingga kerajaan-kerajaan di Indonesia masa lalu dan para penjajah biasanya hanya membagi Nusantara menjadi Jawa dan luar Jawa, di mana Jawa menjadi sentral dan luar Jawa menjadi periferal. Jawa pasca kemerdekaan hingga hari ini tetap menjadi sentrum dari Indonesia. Pergolakan politik di luar Jawa tidak banyak berpengaruh bagi perubahan politik nasional dibanding pergolakan kecil di Jawa. Kondisi ini diperkuat dengan kebijakan sentralistik yang merupakan turunan dari kebijakan politik “Negara Kesatuan” yang dengan sengaja dipilih oleh para pendiri bangsa. Orde Baru dengan paradigmanya yang sentralistik dengan UU 5/1974 tentang Pemerintahan di daerah mengukuhkan kondisi sentralistik ini. Pembangunan Indonesia pun di sana-sini mendapatkan kritikan sebagai “Jawanisasi”. -- cut -- Adalah kurang bijaksana membawa diskusi ke ranah tersebut, karena dapat berkembang ke isu apakah kita harus memilih budaya politik Jawa atau bukan Jawa. Karena itu, hal pertama yang akan dikaji kemudian adalah MAKNA dari integrasi nasional itu sendiri, baru kemudian dipertautkan dengan karakter budaya yang memberikan dukungan secara efektif kepadanya. Silakan click http://gs-renungan.blogspot.com/2008/08/keseimbangan-ekonomika.html 2002

Tidak ada komentar: