Minggu, 03 Agustus 2008

Menjadi Pilot, Menjadi Hamba yang Bersyukur

MEMBACA buku “Pilot Spiritual Journey” memang sangat menarik. Di dalamnya bercerita tentang pengalaman pilot dalam mengarungi angkasa. Pilot mempunyai tugas mulia dalam mengantarkan penumpang sesuai tujuan, dengan waktu yang relatif cepat dibandingkan dengan sistem transportasi lainnya. Merekalah yang membawa misi efektif dan efisien –kalau kita hubungkan dengan ilmu manajemen dalam pencapaian tujuan. Pilot adalah para profesional yang menjunjung tinggi kinerjanya. Para pilot sangat tahu dan sangat patuh pada prosedur kerja dan keselamatan, apalagi bila salah prosedur maka resikonya banyak nyawa yang akan melayang, baik crew maupun para penumpang. Pilot adalah sebuah profesi yang tidak main-main. Pilot adalah orang-orang profesional yang menjunjung tinggi profesionalitas karena dihasilkan oleh lembaga pendidikan profesi, serta patuh dan taat pada kode etik profesi yang dikeluarkan oleh organisasi profesinya. Merekalah orang-orang terpilih.
Banyak orang bercitacita untuk menjadi seorang pilot. Hampir setiap anak –terutama bocah laki-laki- akan menyebut ’pilot’ ketika ditanya citacitanya. Saya sendiri pernah mencitacitakan hal tersebut. Tetapi ketika SMA saya merasa kurang mampu dalam matematika sehingga masuk ke jurusan sosial, bukan jurusan ilmu pasti yang sebenarnya akan lebih mempermudah jalan untuk menjadi seorang pilot. Untuk itu saya mengambil les private khusus pelajaran matematika di Solo sekitar 40 tahun yang lalu. Tetapi jalan hidup mengantar saya ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Berbekal les matematika, saya menjadi asisten mata kuliah matematika ekonomi, dan akhirnya mata kuliah ”Ekonometrika” merupakan mata kuliah yang saya ampu pertama kali sebagai staf pengajar di UGM.
Urung menjadi pilot ternyata membawa berkah, blessing in disguise. Ilmu matematika yang rencananya saya pakai untuk melamar pilot malah membawa saya ke Ekonometrika. Dan yang lebih penting, teman –bahkan saudara- saya kebanyakan adalah pilot. Kakak ipar saya seorang pilot, keponakan saya ada juga yang pilot, dan tak terhitung teman-teman saya –terutama di ESQ- yang berprofesi sebagai seorang pilot. Bersahabat dengan banyak pilot, sering berbincang dengan mereka membawa kemampuan personal saya untuk berparadigma agar tidak main-main juga menjadi seorang ’pilot negara’. Menjadi pilot negara yang berada di belakang meja birokrasi barangkali menjadi penghibur bagi saya karena tidak menjadi pilot pesawat udara. Pengalaman saya lainnya dalam hal ini adalah kesempatan untuk menjadi ”Pramuka Udara” di Gugus Depan 71 SMP Negeri 1 Solo, yang sempat menjuarai lokakarya Pramuka Udara (LOKADA) tingkat provinsi, kemudian maju ke tingkat nasional pada waktu itu. Hal itu semakin menambah kecintaan saya kepada khasanah dunia kedirgantaraan. Belum lagi, salahsatu rekan karib saya adalah Prof. Said Djauharsyah Jenie (Alm) sang pakar aerodinamik terkemuka dari IPTN dan Staf Khusus Presiden BJ Habibie pada waktu itu, yang sering mengajak saya berbincangbincang.
Membaca buku ”Pilot Spiritual Journey” membawa alam bawah sadar saya ke arena angkasa yang pernah saya saksikan secara live di cockpit pesawat udara. Terima kasih kepada mas Kapten Setia Budi yang beberapa kali membawa saya masuk ke ruang itu. Sungguh pengalaman yang luar biasa menyaksikan bahwa kita begitu kecil di dalam keruangan-Nya. Itu saja baru langit, bagaimana dengan jagad raya yang jarak antar bintang bisa mencapai ribuan tahun cahaya. Kita benar-benar kecil.
Saya pernah mengatakan hal ini kepada mas Kapten Setya Budi dan Kapten Abdul Rozak –sang Pilot yang mendaratkan pesawat Garuda di Bengawan Solo. Anda sebagai seorang pilot adalah juga merupakan utusan Tuhan Allah SWT. Orang-orang yang pinilih. Di dalam jiwa Anda melekat sifat-sifat Tuhan YME, yang harus Anda implementasikan dalam bekerja sebagai seorang pilot. Ya Muta’aaliy, yang meninggikan, yang menjunjung tinggi akan nilai tanggung jawab, dan melayani. Dalam buku ini juga disebut bahwa di Indonesia setidaknya terdapat 5000 orang pilot, tidak seberapa dibanding 250 juta penduduk Indonesia, karena perbandingannya mencapai 1: 50.000. Investasi untuk menjadi pilot dalam training 3 (tiga) tahun setidaknya mencapai Rp 300 juta. Benar-benar sebuah penanaman modal yang besar dalam pembangunan manusia. Penanaman modal tersebut tidak akan berarti apa-apa bila tidak diiringi dengan ”penanaman modal akhirat” atau PMA. Bila melihat pilot sebagai sebuah profesi, maka hanya melihat dari perspektif emosional.
Dalam ’kaidah’ emosional, eksodus pilot dari maskapai satu ke yang lain dapat dibenarkan, dalam rangka memenuhi hajad hidupnya. Tetapi secara ’intelektual’ dan ’spiritual’ belum dapat dipandang benar. Peran pelayanan seorang pilot dalam menerbangkan awak dan penumpang adalah penglihatan secara perspektif intelektual. Seperti seorang sastrawan Kahlil Gibran menyatakan, ”Kerja adalah cinta yang mengejawantah”. Seorang pilot apabila mencintai pekerjaannya maka sepenuh hidupnya akan diabdikan untuk dunia ke”pilot”an. Jadi kata kuncinya adalah ”pelayanan”. Hal tersebut selalu diingatkan oleh Guru kita, Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian, dalam setiap training ESQ –bahwa tugas melayani merupakan sikap seorang samurai dengan semangat Bushido. Kepada para pilot dan mereka yang memahaminya pasti sangat terkenang akan hal tersebut. Secara spiritual maka pilot dalam melaksanakan tugasnya secara kebatinan harus merasa dirinyalah sang khalifah di muka bumi yang menebarkan keselamatan ke segenap penduduk dunia. Maka di dalamnya inheren pula sikap syukur seorang pilot kepada Sang Penciptanya, Allah SWT. Memahami fenomena penerbangan pesawat udara adalah kekaguman teknologi yang luar biasa, dan memerlukan waktu berpuluh dan bahkan beratus tahun untuk tumbuh dan berkembang. Semenjak tahun 1903 ketika Orville dan Wilbur Wright mampu menerbangkan pesawat selama 12 detik (36 meter), kemudian tahun 2007 kemarin ditandai dengan adanya pesawat Airbus A380 Super jumbo yang mampu menampung 500 penumpang. Bagi saya, dari 100 persen keberhasilan maka yang 99 persen adalah usaha manusia dan 1 persen adalah Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Tetapi yang 1 persen ini letaknya mendekati paripurna dan bersifat menentukan. Ketika 1 persen tidak dikabulkan Tuhan YME maka rusaklah usaha 99 persen kita. Maka kita harus sabar dalam mengarungi 99, dan bersyukur ketika 1 melengkapinya menjadi 100. ”Menjadi hamba yang sabar dan bersyukur”, itulah yang bisa saya pesankan. Selamat membaca.
Salemba Raya, 15 Agustus 2008
G.S.
Sebagai kata pengantar di buku “Pilot Spiritual Journey” , 2008

Tidak ada komentar: