Minggu, 03 Agustus 2008

Perencanaan dari Pusat ke Daerah

PADA hari Selasa pagi tanggal 22 Juli 2008 di sebuah kesempatan saya bertemu dengan Gubernur Gorontalo, Dr. Fadel Muhammad. Pak Fadel masih seperti yang dulu dengan pembicaraan yang sangat bersemangat mengenai otonomi daerah. Beliau mendapatkan doktor dari Universitas Gadjah Mada pada pertengahan 2007. sebagai penyegar memori kita, dalam disertasinya beliau menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja pemerintah. Faktor yang mempengaruhi kinerja pemerintah ada empat yakni kapasitas manajemen kewirausahaan, budaya organisasi, lingkungan makro dan endowment daerah. Kesemuanya menuntut untuk segera dilakukannya pembenahan atau reinventing local government. Hasil disertasinya menyimpulkan bahwa ternyata faktor lingkungan makro atau pemerintah pusat tidak berpengaruh secara signigikan terhadap terhadap manajemen maupun kinerja daerah. Pemerintah daerah di era otonomi ini harus berani bikin inovasi, bikin terobosan. Dulu saat akan mengembangkan pelabuhan di Gorontalo untuk mengekspor jagung, keinginan tersebut ditolak oleh pusat dengan alasan seandainya Gorontalo memiliki pelabuhan –dan daerah tersebut tak punya pendapatan- maka pusat tidak akan memberi uang. Dengan kewenangan yang penuh dan mendapat persetujuan DPRD, Pemprov Gorontalo lantas mengalokasikan dana dari APBD untuk membangun pelabuhan. Setelah pelabuhan ada, perekonomian Gorontalo justru maju.

Demikian pula pengembangan pelabuhan udara yang oleh pusat diminta untuk dilebarkan, namun justru diperpanjang landasannya. Contoh lain adalah kasus ekspor sapi. Gorontalo sempat mengekspor sapi ke Malaysia, yang mendapat surat teguran dari Menteri Perdagangan. Hal yang sama juga terjadi ketika mengekspor jagung ke Filipina sementara Jakarta masih mengimpor jagung. Padahal secara ekonomis lebih menguntungkan mengekspor ke sana. Kita perlu daerah melakukan inovasi dan terobosan supaya maju. Majunya daerah juga tak lepas dari perubahan mindset (cara berpikir) para birokrat; dari pola pikir birokratik menjadi pola pikir enterpreuner. Budaya di birokratik yang ada adalah loyal, bung Fadel mengubah pegawai di Gorontalo menjadi pekerja yang harus inovatif, bekerja teamwork dan untuk kesejahteraan rakyat serta harus bekerja agar rakyat percaya pada mereka dan bekerja lebih cepat lagi.

Kalau saya melihat hal tersebut bukan sebagai pertentangan antara pusat dengan daerah, akan tetapi tantangan yang harus dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat. Pusat memang harus melihat lokalitas di daerah ketika sebuah kegiatan akan di selenggarakan. Akan tetapi muaranya adalah perencanaan yang memang harus mengindahkan kemajemukan daerah, dan semangat untuk kebersamaan. Pembaca sekalian, pola pembangunan yang kita sepakati telah memasukkan mindsetvisi dan misi Presiden/ Wakil sebagai rujukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, diturunkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah, dan selanjutnya ke Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga. Kementerian dan Lembaga akan mengimplementasikannya secara riil dalam program dan aksi pembangunan. Pemerintah telah menetapkan aksi pembangunan berupa triple track untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan, yaitu dengan employment, income, dan growth. Visi misi Presiden dan Wapres telah ditetapkan bahwa visi pertama Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, kedua Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak-hak asasi manusia, dan ketiga Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Misinya adalah pertama Mewujudkan Indonesia yang aman damai, kedua Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, ketiga Mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
Dalam kaidah ekonomika pembangunan, ketiganya merupakan solusi untuk mengantar masyarakat agar bertransformasi struktural. Misalnya pendapat Harrod-Domar yang membahas 2 (dua) tahap perkembangan masyarakat yaitu dari tradisional ke modern (underdevelopment ke developed communities). Chennery yang berpendapat 3 (tiga) tahapan dari pertanian, industri, lalu ke jasa. Kemudian Rostow yang berasumsi 5 (lima) tahapan yaitu tradisional, pra-kondisi lepas landas, lepas landas, tahap konsumsi tinggi, dan masyarakat yang matang. Kelompok Bersama atau KUBE mengadaptasi hal tersebut dengan slogan “Kerja Untung Tabung” atau Kutabung.

Bahwa bekerja akan mendatangkan keuntungan (profit) yang kemudian disimpan (saving) untuk kehidupan mendatang. Dengan Kutabung akan memunculkan warga yang mandiri, dan pastinya menjadi sejahtera. Langkah-langkah pemberdayaan menuju individu yang sejahtera melalui panca bina. Bina manusia berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kebutuhan dasar tertentu lainnya. Bina usaha berkaitan dengan lapangan kerja dan aspek lain untuk meningkatkan pendapatan. Bina lingkungan berkaitan dengan dengan pemukiman, perumahan dan prasarana pendukungnya. Bina lembaga berkaitan dengan formalitas kelompok masyarakat dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Bina monitoring evaluasi adalah pengawasan apakah kegiatan telah sesuau dengan rencana dan tindak lanjut ke depan.

Individu akan membentuk keluarga, lalu kelompok keluarga membentuk RT dan RW. Selanjutnya ke desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Semenjak reformasi gaung otonomi daerah dalam negara kita semakin berimplementasi secara nyata. Konstruksi dari bangunan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI terdiri atas 8 (delapan) pilar utama, yakni: (1) adanya kewenangan untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan (merupakan inti otonomi daerah) yang menjadi dasar daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, (2) adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan tugas dan wewenang, (3) adanya SDM aparatur yang menjalankan urusan rumah tangga daerah, (4) adanya manajemen pelayanan publik yang baik, sehingga daerah mampu menyediakan pelayanan publik secara efektif dan efisien, (5) adanya sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah, (6) adanya lembaga legislatif yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat, (7) adanya masyarakat dan wilayah kerja dengan batas-batas tertentu, (8) adanya pembinaan dan pengawasan dari kementerian/departemen teknis. Dari delapan pilar tersebut pilar 1, 2, 3 dan 4 merupakan pilar-pilar kebijakan pemerintah. Birokrasi pemerintah daerah merupakan bagian yang integral dari birokrasi nasional, karena konsep otonomi daerah yang dianut adalah tetap dalam koridor NKRI. Dengan kata lain, manajemen pemerintahan daerah merupakan subsistem dari sistem manajemen nasional. Bung Fadel merupakan contoh keberhasilan kepemimpinan di daerah, karena meletakkan ukuran keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dengan kenaikan indeks pembangunan manusia (human development index) yang terdiri atas variabel indek pendidikan, kesehatan, dan perekonomian masyarakat (pendapatan per kapita).
Hal ini sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, bahwa misi yang diemban Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Slogan “bersama kita bisa” bermakna bahwa semua stakeholder harus dilibatkan semua karena perubahan dilakukan secara transparan dan dapat dimonitoring serta dievaluasi.♥ PERNAH dimuat di RENUNGAN edisi akhir Juli Majalah Komite, Kemenko Kesra

Tidak ada komentar: