Selasa, 29 Juli 2008

Cinta Bangsa dan Negara

SETAHUN yang lalu tepatnya pada hari Sabtu tanggal 16 Juni 2007 saya berada di tengah-tengah civitas academica Universitas Slamet Riyadi (Unisri) di kota budaya Solo, Jawa Tengah. Kemarin, pada hari Sabtu juga tanggal 21 Juni 2008 saya sungguh berbahagia dapat berkumpul dengan Saudara-saudara sebangsa dan setanah air dalam wadah kampus Unisri. Bersama dengan Panglima Tentara Nasional Indonesia –yang merupakan adik kelas di SMA 1 Surakarta- kami didaulat untuk memberikan sambutan pada acara dies natalis perguruan tinggi tersebut. Dalam ilmu geografi tanggal 21 Juni ditengarai sebagai titik kulminasi matahari pada puncaknya paling utara di bumi –menurut pergerakan semu matahari. Saya semangati para hadirin semua pada waktu tersebut bahwa semoga pertemuan ini merupakan performa puncak kita dalam membangun bangsa. Mari menumpahkan rasa cinta yang memuncak kepada Tuhan, yang kemudian kita manivestasikan kepada bangsa dan tanah air. Dalam kesempatan itu pula saya membahas mengenai “Mencintai Bangsa dan Negara” yang pada awal tahun 2008 telah kami bukukan bersama dengan Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian.
Mencintai Bangsa dan Negara diterjemahkan melalui komitmen kita terhadap kesepakatan berbangsa dan bernegara. Kesepakatan tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah menggariskan bahwa Negara yang merdeka dan berdaulat harus mampu pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kesemuanya dalam kerangka dasar negara Pancasila.
Ditilik dari esensi dan muatannya, isi Pembukaan UUD 45 tersebut sangat sempurna pada eranya. Fungsi Negara tersebut tidak jauh berbeda dengan teori kebijakan publik seperti yang dirumuskan Musgrave melalui bukunya Public Finance: Theory and Practice, 1973. Menurut Musgrave fungsi utama pemerintah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara berkenaan dengan alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi meliputi aspek pengelolaan alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan di dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.
Demikian pula yang dinyatakan oleh Samuelson dalam buku babonnya Economics bahwa fungsi Pemerintah dalam perekonomian adalah dalam rangka mencapai efisiensi, keadilan, dan kestabilan (eficiency, equity, dan stability). Pemerintah perlu bertindak untuk mencapai efisiensi yaitu dalam rangka mengatasi kegagalan pasar, seperti adanya praktik monopoli dan oligopoli. Program Pemerintah untuk menciptakan keadilan dengan memakai instrumen pajak dan tabungan untuk meredistribusi pendapatan bagi kelompok masyarakat miskin. Kemudian kebijakan stabilisasi ditujukan untuk mengurangi pengangguran dan inflasi, serta mencapai pertumbuhan.
Sebagai dasar negara kita memiliki Pancasila yang sudah berusia 63 tahun pada tanggal 1 Juni kemarin. Sedangkan pembangunan merupakan upaya pengejawantahan kita terhadap nilai-nilai Pancasila, sebagai bagian upaya kita untuk menuju kehidupan yang lebih baik –sesuai cita-cita Pembukaan UUD 1945- agar NKRI tetap kokoh dan lestari. Pembangunan berangkat dari masalah kemasyarakatan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan. pembangunan merupakan solusi terhadap permasalahan tersebut yaitu ”kerja-untung-tabung” yang dalam khasanah ekonomi pembangunan dikenal dengan pro employment, pro poor, dan pro growth. Roh pembangunan adalah penanggulangan kemiskinan. Treatment atau perlakuan dalam menghadapi kemiskinan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) klaster yaitu Fakir, Miskin, dan Rentan –dengan mengambil poverty line 19,1 juta rumah tangga sangat miskin dengan penghasilan Rp 150 ribu perbulan. Klaster Fakir –seperti program PKH, BOS, Raskin, dan BBR- sifat programnya adalah hibah murni. Klaster Miskin sifat programnya hibah bergulir, contohnya PNPM, dan P2FM BLPS. Sedangkan Klaster Rentan sifat programnya subsidi penjaminan, contohnya Kredit Untuk Rakyat, dan Maskot.
Saudara-saudara sekalian, reformasi sudah berumur 10 tahun dan kebanyakan kita tidak sabar untuk mendapatkan ’kesejahteraan umum’ seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, banyak orang –baik pakar maupun awam- menyarankan agar kehidupan berbangsa dan bernegara kembali kepada pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Berbagai forum akademik yang digelar sekitar lima tahun ini banyak merekomendasikan hal tersebut.
Kembali ke Pancasila merupakan kunci, tetapi pertanyaan selanjutnya pada bagian dan perihal mana Pancasila dapat dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi saat ini. Pada saat peringatan hari kelahiran Pancasila 1 Juni yang lalu bertempat di Menara 165, Jakarta, saya munculkan perlunya kita akan keberadaan ”Tim Pengendali Realisasi Pancasila FKA ESQ 165”. Pancasila adalah sifat Allah dalam langkah Total Action berdasar zero mind. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ”Syahadat” atau Mission statement . Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah shalat sebagai bagian character building. Persatuan Indonesia manifestasinya adalah ”zakat, infaq, dan shadaqah” yang merupakan self controlling. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dianalogikan dengan ”Puasa” sebagai bagian dari strategic collaboration. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan ”Haji dengan 5 rukunnya” sebagai bagian dari total action.
Kita semua pasti cinta bangsa dan negara, tetapi perlu panduan agar kita semua bisa berbareng bergerak tanpa mengenyampingkan adanya perbedaan –demi satu tujuan. Bhinneka Tunggal Ika, tan hanna dharmwa mangrwa.
Fokus yang saya utamakan dalam rangka mencintai bangsa adalah kondisi suasana batin kita akan kebutuhan berwawasan kebangsaan. Permasalahan utama bangsa ini adalah kemiskinan. Satu hal yang inheren dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah spirit untuk maju. Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri. Sehingga pendekatan kita selain secara intelektual (yaitu intervensi ekonomi) kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Dalam kedua hal tersebut paradigma yang ditawarkan adalah pendekatan wawasan kebangsaan seperti kami sebut di muka.
Wawasan Kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lainnya. Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa.
Wawasan Kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global. Perjuangan mengurangi kemiskinan takkan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Kita membutuhkan komunal yang sadar akan semangat kebersamaan. Semangat untuk bersama kita harus bisa.
Setelah mencintai, kita harus bisa memiliki. Seandainya tidak kita miliki-pun, seorang filsuf bernama Erich Fromm menyarankan agar kita "mencintai dan menjadi". Menjadi Indonesia. Lebih tepatnya: menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas, yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat. Itulah agenda utama kembali ke Pancasila dengan semangat wawasan kebangsaan.
TULISAN ini dimuat pada kolom Renungan di majalah Komite pada edisi akhir bulan Juni 2008

Tidak ada komentar: