Selasa, 29 Juli 2008

Idealisme Menuju Indonesia Emas

PADA renungan kali ini saya akan menceritakan sekelumit kesan ketika diberi amanah untuk menjadi Ketua Panitia Pelatihan Emotional Spiritual Quotient atau ESQ dari tanggal 13 hingga 15 Maret 2008. Bertempat di Gedung PLN di jalan Trunojoyo Blok M, acara Traning ESQ Indonesia Emas 2 terselenggara dengan sukses. Traning ESQ Indonesia Emas ini merupakan yang kedua setelah pelatihan pada tahun 2005 di tempat yang sama.
Event tersebut tergolong sangat sukses, apalagi dengan adanya ceramah dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault, dan kesan peserta dari bapak Oetojo Oesman yang merupakan mantan Menteri Kehakiman pada era Orde Baru. Bapak Adhyaksa sendiri merupakan alumni training ESQ Eksekutif Nasional Angkatan ke-67, pada bulan Pebruari 2008. Sebelum hari-h bapak Menteri juga mengikuti serangkaian acara persiapan. Bahkan setelah mendarat dari Libya, beliau sempatkan mengikuti rapat persiapan panitia di Senayan.
Menurut Menpora bangsa Indonesia kini mulai kehilangan hikmah dan kebijaksanaan. Beliau yakin ESQ bisa menciptakan manusia yang memiliki hikmah dan kebijaksanaan. Kata-katanya sangat menyentuh hati yaitu ''ESQ ini bagaikan setitik air di lautan, seperti tidak berarti apa-apa, namun bisa menciptakan ombak besar”. Beliau yakin bahwa upaya ESQ dalam mencerdaskan kehidupan bangsa terutama kecerdasan emosional dan spiritual merupakan upaya yang luar biasa. Pak Adhyaksa juga mengharapkan bahwa ke depannya, training ESQ bisa menggantikan orientasi program studi (atau dikenal dengan nama: Opspek) di sekolah dan perguruan tinggi. Beliau berencana akan mengusulkan ini ke menteri pendidikan nasional. Sedangkan pak Oetojo Oesman menyatakan bahwa ESQ semacam ini bisa menjadi alternatif setelah ’dihentikannya’ Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Inti dari Pancasila adalah sila pertama, dan itulah yang ditinggalkan Bangsa ini selama ini –terbukti dengan fenomena kolusi dan nepotisme.
Pelatihan semacam ini memang diperlukan karena pejabat sebagai abdi negara harus berbuat semaksimal mungkin untuk negara dan jangan pernah berharap untuk memperkaya diri sendiri. Dengan pelatihan semacam ini bangsa Indonesia diharapkan bisa menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Menurut pimpinan ESQ adinda Ary Ginanjar, Indonesia membutuhkan perubahan dan perubahan itu harus dimulai oleh seluruh unsur masyarakat, termasuk pejabat negara.Untuk itu, dia menyebut tujuh nilai dasar, yakni jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerja sama, adil, dan peduli sebagai budaya bangsa ke depan yang harus dikembangkan. Mas Ary menyatakan yakin bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan mampu bangkit dari keterpurukan jika semua pihak menjadikan moral sebagai "panglima"-nya. Katanya, "Semoga training Indonesia Emas ini menjadi langkah awal menuju `Indonesia Bermoral Emas`."
Alhamdullilah para pembaca yang berbahagia, saya dan pak Ary Ginanjar Agustian telah menyelesaikan sebuah buku. Pada acara di PLN itu pula kami meluncurkan buku karya bersama berjudul ”Mencintai Bangsa dan Negara: Pegangan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara”. Buku ini merupakan perenungan kami terhadap makna wawasan kebangsaan. Dulu sewaktu ditugaskan di Sekretariat Wapres, saya bersama rekan di Kedeputian Kemanusiaan, Kewilayahan, dan Kebangsaan telah merumuskan Himpunan Modul Sosialisasi Wawasan Kebangsaan. Buku karangan saya dan mas Ary tersebut merupakan penyempurnaan dan penambahan dengan berbagai informasi dan kondisi riil terkini.
*****
KITA tutup dengan seloroh. Sewaktu mengikuti acara persiapan, pak Adhyaksa mengingatkan bagaimana tidak bisa apa-apanya kita nanti waktu mati. Dia ceritakan bahwa pada suatu saat dia tidak bisa ’menyelamatkan’ makam bapak mertuanya dari injakan seorang anak kecil. Saat dia tanya dari mana asal anak itu, dia jawab bahwa dirinya masih SD, dari Cirebon... dan belum bisa baca tulis. Pak Menteri trenyuh, bapak mertuanya yang Professor Doktor itu tanah kuburannya diinjak-injak sama anak sekolah dasar. Tidak ada yang bisa mencegahnya.
Guyonan berikutnya dari pak Oetojo Oesman. Saat diberi mike untuk memberikan sambutan, secara ’serius tapi santai’ beliau menyatakan bahwa merupakan kehormatan bisa mengikuti training ini. Padahal –menurut pak Oetojo sendiri- mengibaratkan orang yang sudah sepuh seperti dirinya adalah identik dengan penyakit 5B. Yaitu pertama beser, kedua botak, kemudian buyuten, terus budek, dan terakhir ....bego.
Kemudian ketika saya didaulat untuk menutup acara, saya sampaikan bagaimana terkesannya saya dengan pak Oetojo. Karena beliau menugaskan saya dan pak Adang Darajatun (yang berkenan datang pada waktu acara penutupan tersebut) untuk mengikuti kursus atau penataran P4 Manggala. Kami merupakan peserta pelatihan P4 terakhir di era reformasi dulu. Mengapa tidak diteruskan lagi, karena ...peserta diklat tersebut lebih pintar daripada guru-gurunya. Sidang pembaca yang terhormat, semoga bermanfaat ⌂
RENUNGAN ini dimuat di majalah KOMITE edisi awal April 2008

Tidak ada komentar: