Selasa, 29 Juli 2008

Peran Aparat dalam Pemberdayaan Masyarakat

1. Pendahuluan
SESUAI dengan tema narasumber yang diberikan kepada kami yaitu “Kebijakan, Program, dan Aksi Depsos dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat”. maka judul makalah kami sesuaikan seperti di atas. Makalah saya awali dari definisi terlebih dahulu. Dari definisi, kemudian kita sepakati permasalahannya. Bila sudah sepakat mari kita laksanakan, secara konsisten, dan akhirnya yang kita pikir selalu yang terbaik. Idealnya kita ucapkan, laksanakan, kendalikan, sehingga terealisir.
Kebijakan menurut PBB adalah pedoman untuk bertindak. Pedoman tersebut bisa menjadi sederhana atau sangat kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dengan demikian dapat berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atas suatu rencana (Wahab, 2004:2).
Program diartikan sebagai kumpulan sejumlah proyek yang saling berkaitan untuk menunjang sasaran tertentu (Kunarjo, 2002: 304). Pemberdayaan masyarakat adalah agenda peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia dan bangsa (dikutip dari “Responsi Pemerintah terhadap Kesenjangan Ekonomi”, 2006). Aparat atau Aparatur dalam Kamus Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta disebutkan sebagai alat-alat Negara, pegawai dan sebagainya. Dalam literatur terkini mengenai governance aparat lebih diarahkan kepada pelayan atau Abdi Masyarakat. Sebagai pegawai pemerintah, ia mempunyai tugas mengimplementasikan fungsi Negara seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
Dalam aras kepemimpinan, ia selayaknya memiliki pola kepemimpinan ala 8 sifat alam, atau Asta Brata. Dalam falsafah Jawa pun dikenal nilai-nilai "Asta Brata", dimana pemimpin justru harus memberikan teladan kepada rakyat melalui penghayatan sifat-sifat alam ke dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat alam yang patut diambil hikmahnya itu adalah
1. sifat matahari yang memberi semangat,
2. sifat rembulan yang memberi pembinaan,
3. sifat bintang yang memberikan arah hidup,
4. sifat angin yang mampu menyelami kehidupan rakyat,
5. sifat mendung yang memberikan pengayoman,
6. sifat api yang "tegas" dan "teges",
7. sifat air yang adil, mempunyai pandangan luas, dan
8. sifat bumi yang jujur
Peran utama aparat adalah ‘mengingatkan’. Dalam era otonomi daerah dan menunjang kemandirian bangsa maka selayaknya kita serahkan pembangunan kepada masyarakat. Aparat negara hanya mengingatkan agar masyarakat memikirkan dirinya, keluarganya, dan kelompok terdekat dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Paper ini diarahkan untuk menjelaskan upaya pemberdayaan sosial yang dilakukan oleh Departemen Sosial RI dan terlebih khusus lagi di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial.
2. Pemberdayaan Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan
Sesuai dengan Alinea IV Pembukaan UUD 45 maka fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara adalah .“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasakan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Ringkasnya tujuan penyelenggaraan pemerintahan Negara adalah melindungi segenap warga negara, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Maka penanggulangan kemiskinan menjadi kunci untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah telah menetapkan triple track untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan, yaitu dengan employment, income, dan growth. Dalam khasanah ekonomika pembangunan, ketiganya merupakan solusi untuk mengantar masyarakat agar bertransformasi struktural. Misalnya pendapat Harrod-Domar yang membahas 2 (dua) tahap perkembangan masyarakat yaitu dari tradisional ke modern (underdevelopment ke developed communities). Chennery yang berpendapat 3 (tiga) tahapan dari pertanian, industri, lalu ke jasa. Kemudian Rostow yang berasumsi 5 (lima) tahapan yaitu tradisional, pra-kondisi lepas landas, lepas landas, tahap konsumsi tinggi, dan masyarakat yang matang.
Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Depsos mengadaptasi hal ini dengan slogan “Kerja Untung Tabung” atau Kutabung. Bahwa bekerja akan mendatangkan keuntungan (profit) yang kemudian disimpan (saving) untuk kehidupan mendatang. Dengan Kutabung akan memunculkan warga yang mandiri, dan pastinya menjadi sejahtera. Hal ini relevan dengan slogan triple track Kabinet Indonesia yaitu employment, income, dan growth. Dengan semangat triple-track tersebut maka Pemerintah mempunyai target untuk mengurangi pengangguran, penanggulangan kemiskinan, dan memacu pertumbuhan
Sebenarnya tidak hanya Indonesia, kemiskinan menjadi problematika yang sangat kompleks bagi semua negara di dunia. Dalam kesepakatan global Millenium Development Goals atau MDGs, setiap negara diwajibkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan hingga separuhnya pada periode 1990-2015.
Upaya ke arah pengurangan jumlah penduduk miskin telah lama diupayakan Pemerintah. Pemerintah RI mengeluarkan kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam mengurangi jumlah penduduk miskin semenjak tahun 1961, yaitu melalui Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Upaya penanggulangan kemiskinan waktu itu dilaksanakan pemerintah melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (basic needs). Program ini mengalami kegagalan pada saat terjadi krisis politik dan transisi pemerintahan pada tahun 1965 – 1966.
Kemudian, setelah itu era Orde Baru melakukannya dalam kerangka trilogi pembangunan (pertumbuhan, pemerataan, dan stabilisasi). Orde Baru dalam hal ini paling berhasil mengangkat kondisi kehidupan ekonomi dan sosial di Indonesia secara sangat berarti. Penghasilan per kapita meningkat dari sekitar hanya USD 70 pada pertemngahan 1960-an menjadi lebih dari USD 1000 pada pertengahan 1990-an. Prasarana yang langsung melayani masyarakat maupun yang mendukung kegiatan ekonomi dibangun secara luas. Kemiskinan menurun drastis dan berbagai indikator kesejahteraan sosial mulai dari harapan hidup, tingkat kecukupan gizi, tingkat kematian ibu dan anak, sampai ke tingkat partisipasi pendidikan, ketersediaan air bersih dan perumahan, semuanya menunjukkan perbaikan yang berarti. Indonesia menjadi contoh pembangunan yang sukses menurut versi Bank Dunia.
Tahun 1988-1998 program Pemerintah terus dimantapkan dengan pengembangan Kawasan Terpadu melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai program ad-hoc penanggulangan kemiskinan pasca krisis (misalnya Padat Karya, dan Program Dalam rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi /PDMDKE).
Pada tahun 1998-2006, upaya menghadapi krisis masih berlanjut dengan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai sektor, meliputi: Program Pengembangan Kecamatan atau PPK, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan atau P2KP, P2MPD, WSSLIC, KPEL dan Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Sejalan dengan pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi dan sesuai aspirasi masyarakat maka program penanggulangan kemiskinan terus dimantapkan. Mulai tahun anggaran 2007 program penanggulangan kemiskinan dikonsolidasikan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sedangkan perbaikan terhadap program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diupayakan pada tahun ini melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Bagan 1 berikut merupakan ringkasan dari program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilakukan Pemerintah.

Bagan 1: PERKEMBANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1974-1988: Berbagai program sektoral:Pertanian (BIMAS, INMAS, KUK, transmigrasi), Industri (industri padat karya, al. tekstil & kayu lapis), berbagai kebijakan Inpres (Desa, Kabupaten, Propinsi, Jalan, Irigasi, dll).
1988-1998: Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT)  Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai program ad-hoc penanggulangan kemiskinan pasca crisis (Padat Karya, PDMDKE, Community Recovery Program).
1998-2005: Program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai sektor: PPK, P2KP, P2MPD, WSSLIC, KPEL, dll. Dalam kerangka program mengatasi dampak krisis: Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pada tahun 2005 untuk mengatasi kenaikan BBM diselenggarakan program Bantuan Langsung Tunai.
2006: Program-program sektoral diupayakan untuk dikoordinasi dalam payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Untuk tahun awal diadaptasi sebanyak 2 program yaitu PPK dan P2KP.
2007: Dimunculkan Program Keluarga Harapan atau PKH sebagai conditional cash transfer. Untuk economically active poor diselenggarakan program BLPS dari Departemen Sosial
Program-program penanggulangan kemiskinan yang selama ini diselenggarakan Pemerintah adalah Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) di Departemen Pertanian; Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) di Depdagri; Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) di Depdagri; Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Depdagri; Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kementerian PU; Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir di Departemen Kelautan dan Perikanan; Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di BKKBN, Program Peningkatan Usaha Ekonomi Perempuan (P2UEP) di Kementerian Perempuan; Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Departemen Sosial.
Departemen Sosial memiliki visi “Kesejahteraan Sosial, Oleh dan Untuk Semua”. Misinya adalah: a. Meningkatkan harkat martabat, b. Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masy., c. Mencegah, mengendalikan, mengatasi masalah sosial, d. Mengembangkan sistem jaminan sosial dan perlindungan sosial, e. Memperkuat ketahanan sosial. Strateginya adalah Pemberdayaan sosial, Kemitraan sosial, Partisipasi sosial, Advokasi sosial

3. Reinventing Departemen Sosial
Selama ini Pemerintah telah bekerja keras mengurangi kemiskinan, meski jumlah kemiskinan masih tinggi. Pemerintah telah berhasil mengurangi kemiskinan menjadi 37,17 juta jiwa penduduk miskin atau 16,58 persen penduduk Indonesia (tahun 2007) dengan mempergunakan garis kemiskinan Rp 166.697 per bulan. Jumlah ini menurun sebanyak 2,13 juta orang dibandingkan tahun 2006. Apabila ditarik ke tujuan akhirnya, Pemerintah –dalam hal ini Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)- menargetkan pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin hanya berkisar 8,2 persen (dari 16,6 persen pada tahun 2004).
Sehingga diperlukan semacam penyegaran kebijakan penanggulangan kemiskinan, agar lebih tepat dan terarah dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Di Departemen Sosial hal tersebut dikenal dengan strategi reinventing yang terdiri dari 5 (lima) kebijakan. Strategi Reinventing yang diperkenalkan Menteri Sosial pada bulan Februari 2006 merupakan program yang mengarah kepada pembangunan kesejahteraan sosial, yaitu: 1. Reorientasi, 2. Restrukturisasi, 3. Aliansi, 4. Implementasi, 5. Monitoring-Evaluasi.
Reorientasi adalah pemantapan tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih tertuju ke pemberdayaan (empowerment) dibanding pemberian (charity) semata. Restrukturisasi adalah pemilihan struktur organisasi yang diisi oleh orang-orang profesional. Aliansi adalah keberanian kita untuk go-global dengan tidak meninggalkan koordinasi lintas sektor dan lintas regional. Ketiga langkah tersebut diimplementasikan dengan menggali, mempertahankan dan mengembangkan modal sosial, termasuk kearifan lokal. Nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial, wawasan kebangsaan, dan gotong royong, dioptimalkan sebagai modal dasar dalam menciptakan tanggung jawab sosial.
Di lingkup Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, makna reinventing secara teknis diaplikasikan dalam komponen kegiatan dan program. Telah disepakati di level lintas sektor bahwa prinsip penyusunan program adalah terbagi ke dalam 5 (lima) pemberdayaan atau Panca Daya (dulu disebut Panca Bina) yaitu
1. Daya Manusia
Pemberdayaan manusia adalah pembangunan manusia –yang secara semangat adalah untuk “memanusiakan manusia”. Prinsip demikian diarahkan pada upaya mempertahankan dan meningkatkan martabat manusia. Tujuan pembangunan manusia adalah meningkatkan memperkuat visi pembangunan, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan daya saing manusia Indonesia.
2. Daya Usaha
Pemberdayaan usaha adalah pembangunan bidang ekonomi yang ditujukan untuk memberikan peluang yang sama kepada setiap manusia untuk memperoleh akses ekonomi. Prinsip demikian diarahkan pada upaya membangun penguatan sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh setiap manusia. Tujuan pembangunan bidang ekonomi adalah meningkatkan efisiensi sumberdaya ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
4. Daya Lingkungan
Pemberdayaan lingkungan adalah pembangunan prasarana yang ditujukan untuk memberikan bantuan prasarana dan sarana pendukung pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi. Prinsip demikian diarahkan untuk memacu dukungan bagi pelaksanaan pembangunan manusia dan usahanya. Tujuan pembinaan lingkungan adalah menyediakan bantuan basis pendukung bagi pelaksanaan pembangunan manusia dan ekonomi.
5. Daya Lembaga
Pemberdayaan kelembagaan adalah pembangunan lembaga yang ditujukan untuk memperkuat mekanisme pembanugnan yang telah berjalan di masyarakat. Tujuan pembangunan kelembagaan adalah melembagakan proses pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, melalui lembaga pembangunan pemerintah dam lembaga pembangunan milik masyarakat.
6. Daya Keberlanjutan
Pemberdayaan keberlanjutan adalah pembangunan yang memperkuat sistem pengendalian pembangunan agar selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Prinsip demikian diarahkan pada upaya pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan menuju kemajuan dan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan.
Prinsip diatas diterjemahkan dalam kelima komponen kegiatan sebagai berikut:
Pertama Konsep, kedua Advokasi, ketiga Pelatihan, keempat Pendampingan, dan kelima Monitoring evaluasi atau moneva. Konsep meliputi pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Advokasi meliputi publikasi dan diseminasi. Pelatihan adalah training of trainer kepada pendamping program. Sedangkan moneva meliputi pendataan (database), metode geographic information system, dan pasca program.
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial mempunyai kekhususan tupoksi dibanding departemen lain yaitu menangani KAT, terutama KAT di perbatasan antar negara. Tahun depan KAT ini akan diberdayakan melalui program Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS). Ditjen Dayasos selama ini telah berkoordinasi dengan 9 provinsi yang memiliki KAT dan berbatasan langsung dengan negara tetangga. Kesembilan provinsi itu adalah 1. Kalbar, 2. Kaltim, 3. NTT (Kabupaten Belau), 4. Sulawesi Utara (pulau Miangas), 5. Kepulauan Riau, 6. Sulawesi Utara, 7. Maluku, 8. Maluku Utara, dan 9. Papua.
Sedangkan pemberdayaan sosial meliputi pemberdayaan fakir miskin, pemberdayaan keluarga, pemberdayaan kelembagaan sosial masyarakat, pemberdayaan komunitas adat terpencil, serta program kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

4. Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial
Pengurangan kemiskinan di atas tersebut merupakan bagian dari 2 (dua) kebijakan lainnya, yaitu mengurangi pengangguran dari 9,5 persen pada tahun 2003 menjadi 6,7 persen di tahun 2009, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 4,5 persen pada tahun 2003 menjadi 7,2 persen di tahun 2009. Sebesar 1% pertumbuhan ekonomi akan mengurangi pengangguran sebanyak 250 ribu orang. Sedangkan menurut Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (2006) terdapat lebih dari 43 persen kabupaten/kotamadya atau 190 kabupaten/kotamadya dari 440 kabupaten/ kotamadya di Indonesia yang masuk dalam kategori daerah miskin atau tertinggal. Bagian terbesar, sekitar 63 persen, berada di kawasan timur Indonesia, 28 persen di Sumatera, dan 8 persen di Pulau Jawa dan Bali.
Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa sekitar 67 persen atau 120 kabupaten dari 180 kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia merupakan daerah miskin. Depsos c.q Ditjen Pemberdayaan Sosial berupaya menurunkan kesenjangan dengan program BANTUAN LANGSUNG PEMBERDAYAAN SOSIAL atau BLPS, kepada 33 Provinsi dan 99 Kabupaten/ Kota. Dengan BLPS kepada KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang ada maka diharapkan dalam satu Kecamatan terdapat satu pusat pertumbuhan.
Pemberdayaan Sosial di dalam kerangka Struktur Organisasi dan Tata Kerja atau SOTK Departemen Sosial diartikan sebagai proses pemberian penguatan dan kemampuan kepada anggota KUBE dalam mengelola Usaha Ekonomi Produktif yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk tahun 2007, Departemen Sosial akan menyelenggarakan program Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS). Trademark dari program pemberdayaan sosial tersebut adalah keberadaan Manajer Sosial Kecamatan atau disingkat dengan Maskot. Dahulu Depsos memiliki petugas teknis yang langsung berhubungan dengan masyarakat, yaitu Petugas Sosial Kecamatan. Namun keberadaan PSK tersebut tidak sustain atau tak bertahan lama. Stigma pada singkatan PSK diperbaiki kembali dengan adanya MSK ini. MSK ataupun PSK merupakan perangkat Depsos untuk mendampingi masyarakat. Dengan BLPS maka kami di Depsos berupaya menyegarkan kembali peran pendamping melalui training of trainer kepada Karang Taruna, Petugas Sosial Kecamatan, Organisasi Sosial, dan Pekerja Sosial Masyarakat dalam menyukseskan program Pemerintah di daerah. Tujuannya adalah membuat wilayah Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan, seperti yang telah.
Ditjen Dayasos memandang walaubagaimanapun program tetap membutuhkan peran Pendamping. Pendamping mempunyai tugas utama untuk ‘mengingatkan’. Kita hanya mengingatkan saja –karena masyarakat merupakan aktor utama pembangunan. Pendamping merupakan bagian dari kelompok pembaharu yang mengingatkan agar masyarakat miskin tidak boleh selalu tergantung kepada program pemerintah. Dia harus berdaya, kudu mampu dan mulai berkenalan dengan pasar, itulah kemudian peran pendamping yang advance yaitu Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB).
Melalui BLPS tersebut Departemen Sosial pada tahun 2007 ini berupaya menyegarkan kembali peran pendamping melalui training of trainer kepada Karang Taruna, Petugas Sosial Kecamatan, Organisasi Sosial, dan Pekerja Sosial Masyarakat dalam menyukseskan program Pemerintah di daerah. Tujuannya adalah membuat wilayah Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan. Pendamping berlabel Manager Sosial Kecamatan atau Maskot nantinya akan mendampingi Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang akan diterjunkan di 198 kecamatan. Satu kecamatan bisa memilih 2-5 desa dan satu desa dapat memilih 10 KUBE dengan anggota masing-masing 10 orang.

3. Penutup
APARATUR pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam menyelesaikan seluruh permasalahan berbangsa dan bernegara. Penanggulangan kemiskinan bukan hanya merupakan monopoli pemerintah dengan berbagai departemen sektoralnya, namun kemiskinan merupakan permasalahan multidimensi yang menjadi tanggung jawab seluruh unsur bangsa Indonesia. Pemerintah tidak akan mampu menjadi pemain tunggal dalam menanggulangi kemiskinan, karena memiliki berbagai keterbatasan, baik dalam aspek manajemen, organisasi, maupun keuangan. Penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan secara menyeluruh (lintas sektor dan lintas regional) dengan melibatkan forum lintas pelaku. Sementara itu, arah penanggulangan kemiskinan ditujukan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan.
Maka upaya untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya ekonomi Indonesia serta mengurangi kemiskinan –dalam kerangka Ekonomi Pancasila- adalah “Bersama Membangun Bangsa”. Bekerjasama dengan BUMN dan swasta maka kita perlu mengoptimalkan CSR atau corporate social responsibility dalam upaya mengembalikan pusat ekonomi kepada rakyat: pembangunan dari-oleh-untuk Rakyat di Daerah. Lebih tepatnya Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan. Strateginya adalah pemberdayaan masyarakat, langkahnya melalui Kutabung. Mari bekerja, raih keuntungan, dan sisihkan untuk menabung –demi masa depan yang lebih baik.
Kondisi yang dinginkan adalah paradigma pemberdayaan yang menjadi ‘ruh’ penanggulangan kemiskinan, kemudian terkikisnya ego sektoral, dan koordinasi yang rapi lintas sektor dan lintas regional. Sehingga tidak saatnya lagi kita hanya ‘memberi’ kepada orang miskin, tapi harus kita berdayakan. Beri mereka kepercayaan untuk mengelola modal dalam rangka mengembangkan usaha. Beri kesempatan untuk berkompetisi di pasar, dan bergaul dengan indah bersama perbankan. Perlakukan mereka secara sama dalam kesempatan berusaha.
Makalah ini disampaikan dalam rangka Lokakarya Peranan Aparatur Negara dalam Pemberdayaan Masyarakat di Kementerian Negara PAN, Jakarta, 15 November 2007.

Tidak ada komentar: