Selasa, 29 Juli 2008

Mencerahkan Wawasan Kebangsaan

DALAM pekan-pekan ini kami menghadiri beberapa acara yang digelar oleh perguruan tinggi. Seperti yang pernah dimuat di rubrik Renungan yang lalu, saya telah menghadiri undangan untuk memberi orasi ilmiah di Universitas Slamet Riyadi Surakarta (tanggal 21 Juni 2008), kemudian STEKPI Jakarta (25 Juni 2008), UPN Veteran Surabaya (5 Juli 2008), dan terakhir di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta (09 Juli 2008). Intinya sama bahwa kami sampaikan peran perguruan tinggi tidak jauh berkisar dari Tri Dharma nya yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dalam kerangka ‘dharma’ yang lebih tinggi yaitu tan hana dharmwa mangrwa, tidak ada kebaikan (darma) yang mendua. Hanya ada satu kebaikan, yaitu kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Esa.

Saudara-sudara pembaca sekalian, dalam setiap forum civitas academica kami sampaikan bahwa peran perguruan tinggi harus lebih menonjol dalam bertindak untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial bangsa. Salahsatu yang kami bahas dalam forum terkahir adalah ‘bagaimana perguruan tinggi harus semakin mencerahkan wawasan kebangsaan’. Dengan demikian perguruan tinggi di Indonesia tidak sekedar “menara gading” namun harus menjadi bagian dari “akar rumput” (rakyat) yang merasakan penderitaan rakyat sekaligus mencari solusinya. Dharma Pendidikan adalah dengan menciptakan kelompok pembaharu, penelitian memalui penciptaan hal-hal baru, dan pengabdian masyarakat adalah melaksanakan konsep ‘cipta, rasa, karsa’.

Pada pertemuan tersebut Senat Taruna Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta memberikan tema mengenai ‘wawasan kebangsaan’ untuk kami sampaikan. Berdasarkan dokumen yang telah kami rintis bersama dengan sobat di Forum Sosialisasi Wawasan Kebangsaan –ketika masih eksis Kedeputian Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, diSekretariat Wapres- bahwasanya Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang atau pemahaman tentang konsep dan aktualisasi nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Wawasan kebangsaan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks sesuai dengan luas dan kompleksnya dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wawasan Kebangsaan diperlukan karena perlu adanya konsep dan aktualisasi manajemen kehidupan negara-bangsa yang bermartabat dan berkeadaban. Dimensi wawasan kebangsaan yang luas dan kompleks tersebut sering dipetakan dalam dua dimensi: Pertama, wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik Kedua, wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi. Wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik yaitu konsep tentang persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah suatu negara-bangsa. Wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi yaitu konsep tentang manajemen pembangunan nasional dalam rangka membangun Ketahanan Nasional untuk mempertahankan eksistensi kehidupan suatu negara-bangsa. Konsep geostrategi berdimensi Astra Gatra.

Astra Gatra terdiri dari dimensi trigatra alamiah dan pancagatra sosial. Trigatra alamiah, terdiri dari : geografi, sumber kekayaan alam, dan kependudukan. Sedangkan Pancagatra Sosial, terdiri dari : ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan.. Konsep wawasan kebangsaan telah dirumuskan dalam konsep Wawasan Nusantara, yang menurut Kelompok Kerja Lembaga Ketahanan Nasional 1997, dirumuskan sebagai berikut: Wawasan Nusantara atau Wawasan Nasional Indonesia adalah ”Carapandang dan sikap bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, bertolak dari pemahaman kesadaran dan keyakinan tentang diri dan lingkungannya yang bhineka dan dinamis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh serta tanggungjawab terhadap lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional”. Wawasan kebangsaan harus diupayakan bersama oleh segenap komponen forum lintas pelaku (stakeholders) yang terdiri dari pemerintah, legislatif, perbankan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi.

Di Negara-negara berkembang, peran perguruan tinggi memang lebih menonjol karena selain memfokuskan pada pendidikan, riset dan pengembangan intelektual lainnya, juga harus secara cepat bertindak untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial bangsa. Dengan demikian perguruan tinggi di Indonesia tidak sekedar “menara gading” namun harus menjadi bagian dari akar rumput (rakyat) yang merasakan penderitaan rakyat sekaligus mencari solusinya. Itu semua sudah dilakukan Universitas Trisaki yang dikenal “peka” terhadap amanat penderitaan rakyat. Saya berharap pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi serta dunia usaha tetap beriringan bersinergi dalam melakukan usaha-usaha kesejahteraan sosial demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Kita semua pasti cinta bangsa dan negara, ingin kesejahteraan umum segera tercapai, kemiskinan hilang di republik ini. Akan tetapi hal tersebut perlu panduan agar kita semua bisa berbareng bergerak tanpa mengenyampingkan adanya perbedaan –demi satu tujuan. Bhinneka Tunggal Ika, tan hanna dharmwa mangrwa. Fokus yang saya utamakan dalam rangka mencintai bangsa adalah kondisi suasana batin kita akan kebutuhan berwawasan kebangsaan. Wawasan Kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lainnya. Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa.

Wawasan Kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global. Perjuangan mengurangi kemiskinan takkan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Kita membutuhkan komunal yang sadar akan semangat kebersamaan. Semangat untuk bersama kita harus bisa.

Dalam pembangunan nasional ke depan, peran pemerintah akan semakin bergeser dari pelaku tunggal yang bekerja sejak merancang, mengorganisir, melaksanakan, memimpin, mengendalikan, menjadi hanya mengatur dan memimpin. Dalam istilah David Osborne dan Ted Gaebler, dari pendayung (rowing) menjadi pengarah (steering). Dengan demikian pemerintah tidak perlu lagi menerjuni bidang-bidang yang memang tidak dikuasainya. Bahkan ke depan sebagian besar pekerjaan akan dilaksanakan oleh rakyat sendiri. Aspek visi, misi, dan aksi tersebut akan sangat bergantung pada individu pelaksananya. Maka dibutuhkan individu yang mengerti jati diri bangsa, melalui pemahaman intelektual, emosional, dan spiritual. Pembangunan yang kita laksanakan, dengan demikian, harus mengacu pada pembentukan jati diri bangsa.

Pemberdayaan ekonomi rakyat dalam kerangka wawasan kebangsaan adalah merupakan upaya memampukan rakyat untuk dapat memimpin, mengelola, mengatur rumahtangga, kehidupannya sendiri yang sejahtera, aman dan damai. Dunia yang damai adalah dunia yang hayu. Dunia yang "hayu" jika setiap pribadi, individu mampu mengelola, mengatur dan memimpin kehidupannya, meningkat ke lingkungan desa/kelurahan, daerah, negara dan dunia. Pemimpin yang hamemayu hayuning bawono adalah mewujudkan kedamaian di dunia yang abadi, baldatun toyibatun warobun gophur. ◄ DIMUAT di rubrik Renungan majalah Komite pada bulan Juli (awal) 2008

Tidak ada komentar: