Rabu, 30 Juli 2008

Pancasila dan Kita

PADA awal Juni ini kita memperingati hari kelahiran Pancasila. Pancasila merupakan sebuah gagasan dari para pendiri bangsa untuk mengelola keberagaman. Tak ayal banyak pengamat menyebutkan bahwa Republik ini memang dibentuk oleh gagasan. Menggagas sebuah nasion dengan demokrasi sebagai pilarnya itulah yang diupayakan oleh para pendiri bangsa. Tetapi itu masih belum cukup, demokrasi membutuhkan pedoman nilai guna mempertahankan keberlanjutannya. Lima nilai pokok, atau kelima sila inilah yang melandasi napas demokrasi Indonesia –atau lebih tepatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Pancasila lahir dari jerih payah dalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang menyumbang gagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembug. Ia mengakui perbedaan manusia dan ketidaksempurnaannya. Ia tidak menganggap diri doktrin mahabenar. Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telah belajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri maha benar” demikian yang diutarakan oleh Todung Mulya Lubis mewakili 17 tokoh tanah air untuk membacakan Maklumat Keindonesiaan pada tanggal 1 Juni 2006. Dari paragraf tersebut menunjukkan semangat untuk back to Pancasila, yang sejak era reformasi gaungnya menjadi berkurang karena terdapat pandangan sempit bahwa Pancasila merupakan produk era-era terdahulu. Hal tersebut tentunya harus diluruskan.
Selama sewindu reformasi, terdapat kesungkanan untuk mengucapkan Pancasila karena dianggap tidak sejalan dengan reformasi dan demokratisasi. Padahal berpandangan hidup ala Pancasila menjadi keniscayaan ketika membicarakan dasar negara, pun dengan adanya Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/ 1998 yang mencabut Tap MPR No. II/ MPR/ 1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4), semestinya Pancasila memang tetap sebagai ideologi Negara.
Tak kurang Presiden Yudhoyono juga mengungkap perlunya mengembalikan Pancasila kembali ke ruang publik. Perlu digarisbawahi pernyataan Presiden saat memberikan pidato politik pada acara memperingati kelahiran Pancasila bahwa ”...karakteristik reformasi adalah perubahan dan kesinambungan. Lanjutkan yang baik, tepat, dan relevan dengan jati diri, dan konsensus dasar.” Menurut Presiden, Pancasila masih relevan sebagai rujukan, sumber pencerahan, sumber inspirasi, dan jendela solusi di masa transisi yang penuh tantangan dan ancaman. Memang, reformasi seakan membabat semua yang berbau orde sebelumnya, padahal yang perlu ditinggalkan adalah yang buruk, sementara yang baik selayaknya untuk dilestarikan.

Antara Konsep dan Realita
SATUHAL yang perlu ditekankan dalam memperingati harlah Pancasila adalah bahwa kita sebagai bangsa memiliki kelemahan untuk merealisasikan sebuah konsep. Konsep yang amat mulia dan ideal dan dirumuskan melalui kerja keras segenap founding fathers menjadi tugas generasi berikutnya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi itulah yang maha berat. Sisi hipokrit manusia (salahsatunya orang Indonesia dalam hal ini) akan mengemuka. Disilah kedewasaan sebagai warganegara dan sebagai bangsa yang memiliki integratis diuji. Mampukah nilai ideal tersebut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari? Kelemahan untuk menerjemahkan Pancasila tersebut selayaknya untuk ditutup dan menjadi bahan pembelajaran bagi generasi mendatang. Jangan sampai generasi mendatang mengulangi kesalahan yang dilakukan generasi sebelumnya: tidak sanggup menerjemahkan Pancasila sebagai realitas hidup. Ketika nilai-nilai mulia dalam Pancasila tidak bisa diterapkan –maka Pancasila akan kehilangan relevansinya. Lebih dari itu, cita-cita bangsa untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tidak pernah bisa diraih.
Laporan BPS mengenai angka pengangguran pada bulan Mei 2006 menyebutkan peningkatan orang tidak bekerja sebesar 11,1% (belum dihitung mereka yang ½ menganggur). Pada satu sisi memang lapangan pekerjaan yang ada di Republik ini masih rendah. Pada sisi lain, dari perspektif individual, perlunya pemahaman nilai Pancasila dalam mengatasi kebuntuan ini. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam salahsatu butir pelaksanaannya menggariskan mengenai sifat bekerja keras. Motivasi untuk bekerja keras itulah yang semestinya dimaknai dalam menyejahterakan diri. Dari tabel 1 memperlihatkan adanya kenaikan beberapa indikator ekonomi –meski belum signifikan. Yang terus untuk didorong adalah semangat kerja keras dari manusia Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, dan sangat besar kemungkinan itu adalah pada penciptaan sektor informal, terutama usaha mikro (beberapa ekonom menengarai perbaikan indikator ketenagakerjaan pada tabel 1 karena didominasi oleh kinerja sektor informal atau usaha mikro).
Penanganan terhadap korban bencana Jogja dan Jawa Tengah pada akhir Mei kemarin juga memberikan pelajaran. Ketika pemerintah daerah tidak siap dan lambat, maka masyarakat bersama lembaga swadaya non-Pemerintah sigap bergerak. Dalam kasus penyediaan lapangan kerja juga semestinya begitu. Pemerintah cukup memberikan iklim kondusif agar roda perekonomian masyarakat tercipta dengan sendirinya.
Slogan kerja,kerja, dankerja harus selalu didengungkan. Karena dengan bekerja, maka dia mendapatkan penghasilan, dari penghasilannya tersebut disisihkan untuk ditabung. Menabung –seperti telah saya sebutkan pada Renungan edisi Maret 2006 dengan judul Kerja Untung Tabung- terarah untuk pertama konsumsi seharihari, kedua modal usaha, ketiga jaminan sosial hari tua, keempat zakat infak shodaqoh, dan kelima pajak.

Pancasila: Sekarang dan Nanti
TIDAK perlu lagi ada rasa sungkan dan ewuh prekewuh untuk menyebut Pancasila. Demikian pula dengan UUD 1945 beserta Pembukaannya, NKRI, dan wawasan kebangsaan. Di era global ini rasa kebangsaan –kebanggaan sebagai satu bangsa- diperlukan oleh suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau dan masa kini. Dalam dinamisasinya rasa kebangsaan ini berkembang menjadi Wawasan Kebangsaan –yakni berbagai pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berbeda dengan P4 dahulu, wawasan kebangsaan lebih memperhatikan lagi eksistensi Indonesia di tengah dinamikanya dengan nasion-nasion lain.

Wawasan Kebangsaan mampu mendudukkan suatu bangsa pada kedudukan yang sejajar dengan bangsa lain dan juga untuk kepentingan memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa itu sendiri. Dengan Wawasan Kebangsaan akan menyadarkan warga negara terhadap pentingnya arti kehidupan bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan bangsa.

Pancasila telah berusia 61 tahun. Para pendiri bangsa telah meletakkan pandangan hidup berbangsa dan bernegara dengan cerdas. Kini saatnya kita mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan melalui proses dialektika, mewariskannya kepada next generation. Kita rintis sebuah bangsa yang gilang gemilang, Indonesia Emas (ada sebuah media yang menyebutkan dengan ”Indonesia 2030”), yang dapat dinikmati oleh generasi nanti. Mungkin bukan kita yang menikmati, tapi tentunya kita bisa tersenyum di ’alam sana’, menyaksikan anak cucu kita berada pada era Indonesia Emas tersebut.█ DIMUAT di rubrik Renungan majalah Komite pada bulan Renungan Juni 2006

Tidak ada komentar: