Rabu, 30 Juli 2008

Bencana Alam dan Bencana Sosial

SEMENJAK peristiwa tsunami yang menerpa Nanggroe Aceh Darussalam sepertinya kita tidak lepas dari deraan masalah berupa bencana alam. Dari mulai tanah longsor, kemudian banjir, dan gunung meletus. Sampai akhirnya gempa bumi yang menelan korban 6000-an melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, ternyata runtutan bencana masih belum istirahat. Ada bencana lumpur panas di Sidoarjo (Jawa Timur), awan panas di lereng Gunung Merapi (Jateng) dan banjir di Sinjai (Sulawesi Selatan).
Apa salah kita dengan fenomena ini? Perlu dibedakan antara takdir dari Tuhan dan kesalahan manusia. Banjir dan lumpur panas merupakan akibat dari kecerobohan manusia. Bencana banjir sangat berhubungan dengan aktifitas penggundulan hutan, pembalakan liar, dan alih fungsi lahan. Hal tersebut tentunya berbeda dengan gempa bumi dan gunung meletus yang memang merupakan fenomena alam. Tetapi meski merupakan ketetapan-Nya manusia masih diberi kesempatan untuk planning, organizing, actuating, dan controlling untuk menjadi waspada, untuk penanganan, dan untuk kesinambungan. Manusia dikaruniai kemampuan untuk mengantisipasi melalui sistem peringatan dini, kemudian untuk membantu pada saat terjadinya bencana, dan menangani traumatik para korban.
Sebagai hamba yang beragama, harus kita sadari bahwa cobaan dari alam merupakan semacam ujian dari-Nya untuk menuju ke arah yang lebih baik. Kita musti yakin akan hal itu. Kesadaran harus dilanjutkan dengan kemawasan bahwa pertama harus disadari bahwa posisi geografis Indonesia sangat amat rawan dengan bencana. Kemudian kedua perlu adanya mekanisme peringatan dini yang mencegah dari dampak bencana yang lebih besar, ketiga penanggulangan bencana pada saat jam-J dan hari-H itu sendiri. Lalu keempat penanganan pasca bencana, dan terakhir adalah aktifitas monitoring evaluasi terhadap keseluruhan perencanaan penanggulangan (bencana tersebut).
Badan penanggulangan bencana dan –salahsatunya adalah- Departemen Sosial sebagai bagian dari sektor yang menjadi bencana, sangat urgen untuk menjadi departemen yang preventif dalam hal penanganan bencana, atau membahas pra-bencana –bahwa bencana alam merupakan hasil dari konstruksi sosial. Sebelum ada bencana selayaknya ada early warning system, dan sosialisasi menghadapi bencana terutama untuk generasi muda dan anak-anak. Mekanismenya bisa melalui pendidikan yang bertemakan penanganan bencana. Dalam hal ini kita perlu menitu beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat (misalnya di Hawai) dan juga Asia (Jepang terutama) yang telah memiliki kurikulum pendidikan tentang bencana. Dalam paradigma manajerial, jajaran Pemerintah tersebut layak untuk memiliki kajian yang membahas risk management dalam rangka mengurangi expected loss.
Bencana memang bisa saja datang suatu saat, namun jangan menyepelekan juga akan adanya bencana sosial. Bencana sosial adalah semacam bencana alam yang tertunda. Kalau bencana alam adalah kegagalan pembangunan karena faktor alam (disaster, bencana), maka bencana sosial merupakan kegagalan manusia terkait dengan market failure (kegagalan pasar) ataupun kesalahan Pemerintah dalam pembangunan (keterangan: sebenarnya tidak mutlak kesalahan Pemerintah, elan vital dari pembangunan di era demokratisasi ini adalah berbasis pada masyarakat, sehingga gagal dalam menggalang kebersamaan masyarakat merupakan penyebabnya). Contoh bencana sosial seperti kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran. Penanganan bencana sosial tidak boleh hanya berprinsip karitatif atau belas kasihan semata, namun harus kasih sayang. Prinsip karitatif hanya mengenal konsep ’tangan atas bawah’ sementara prinsip kasih sayang lebih menyukai tangan yang sejajar, atau dengan kata lain kebersamaan. Filosofi belas kasihan cenderung meletakkan orang pada posisi atas-bawah, sedangkan kasih sayang lebih kepada kesejajaran.
Kesadaran akan ’bencana sosial merupakan bencana alam yang tertunda’ merupakan pendidikan yang harus ditanamkan kepada generasi muda terutama kaitannya antara hubungan warga dengan Negara. Kesalahan elementer yang sering dipakai oleh warga negara bahwa setiap orang menganggap dirinya jadi tanggung jawab negara. Sekali lagi bukan begitu. Setiap anak dari segenap bangsa Indonesia yang lahir sebenarnya tanggung jawab orang tuanya, hingga sang anak bisa mandiri. Anak mandiri ketika mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, yakni kebutuhan produksi, kebutuhan konsumsi, dan menjaga harmonisasi keduanya. Caranya, mereka harus kerja, kalau kerja harus untung, sebab untuk ditabung. Akan terjadi malapetaka bila orangtua tidak punya tabungan tapi punya anak. Bayangkan, makan sendiri saja tidak cukup maka hutang, dan pendapatan akan habis untuk membayar hutang.
Pantas disadari bahwasanya Negara dibentuk oleh keinginan warga-warga yang mandiri, bukan negara menghasilkan warga negara. Urutan logikanya seperti ini, ketika pribadi-pribadi ini mandiri, ada kebutuhan untuk membentuk jaringan organisasi sosial, untuk memfasilitasi dan menjaga harmonisasi kebutuhan produksi dan konsumsi banyak orang. Untuk urusan ekonomi, terbentuk oraganisasi yang bernama koperasi. Sedangkan urusan sosial, maka mereka akan membentuk kerukunan dari rukun tetangga, rukun warga, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara. Maka dengan alamiah, pemimpin akan muncul sendiri dari manusia-manusia mandiri itu. Jadi, fungsi negara hanya sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator
Negara yang mandiri akan terbentuk jika warganya mandiri. Untuk mandiri, kata kuncinya, warga harus KUTabung, kerja, untung, dan tabung. Untuk mendapatkan kerja, orang harus membuka hatinya, mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah SWT, dan memunculkan nilai-nilai kreatif. Bila diamati masih banyak lapangan pekerjaan yang banyak belum digarap. Alam Indonesia yang kaya telah menyediakan semuanya. Belajar jadi petani dan nelayan yang sadar dengan keahliannya. Masyarakat harus sadar dengan potensi di daerahnya dan itu yang dikembangkan, lalu difasilitasi melalui organisasi koperasi. Di Swedia, konsep ini bisa berjalan lancar, hingga kemiskinan di sana nol absolut. Jadi, bekerja dan menikmati hasilnya dengan syukur, yakni menikmati dan melestarikan –itulah yang dinamakan dengan ’untung’. Keuntungan dari kerja berupa uang, harus ditabung dan menanti uang jadi menggunung, sedangkan keuntungan lain adalah rasa nikmat. Adalah tugas kita untuk ikut menjaga selarasnya alam. Contoh sederhananya, kita memetik hasil pertanian, perkebunan, hutan, memang adalah tindakan produksi, tapi itu juga perusakan, termasuk menghirup udara. Maka, sebagai manusia yang sadar, kita harus mengembalikan apa yang kita rusak itu. Untuk pertanian, selalu merawat kesuburan tanah, seperti misalnya kalau kita memotong pohon maka kita juga harus menggantinya. Jadi selain menikmati alam, juga harus melestarikannya. ◄ DIMUAT di rubrik Renungan majalah Komite pada bulan Juli 2006

Tidak ada komentar: