Rabu, 30 Juli 2008

Pancasila sebagai Panduan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

(1) KETIKA reformasi sudah berumur 10 tahun dan kebanyakan kita tidak sabar untuk mendapatkan ’kesejahteraan umum’ seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, banyak orang –baik pakar maupun awam- menyarankan agar kehidupan berbangsa dan bernegara kembali kepada pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Berbagai forum akademik yang digelar sekitar tiga tahun ini banyak merekomendasikan hal tersebut. Seingat saya UGM merupakan perguruan tinggi yang pertama yang menyarankan hal tersebut dalam forum akademik di tahun 2004/2005.
Bagi beberapa pendemo yang akhir-akhir ini banyak demonstrasi, kondisi carut marut yang mereka rasakan selalu berkaitan dengan ekonomi. Bagi para pemerhati wawasan kebangsaan, ini semua merupakan buah dari ketiadaan ‘hikmah dan kebijaksanaan’ dalam melaksanakan pola pembangunan. Pembangunan adalah merupakan upaya untuk menuju kehidupan yang lebih baik, dan kesejahteraan umum merupakan titik utamanya. Kita membutuhkan pedoman dalam peri kehidupan sehari-hari. Kesalahan kita dulu saat masa reformasi dan pergantian rejim adalah kita ganti dan rubah semua pola-pola yang sebenarnya masih dapat diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan. Padahal yang kita ganti adalah yang buruk –seperti perilaku yang kurang baik- sementara sisi baiknya atau tauladan dari pemerintahan yang lama masih dapat kita teruskan.
Kita menganggap bahwa pergantian orang dan berikut kesalahannya adalah menghapus juga program dan perencanaan yang sebenarnya memiliki nilai-nilai baik atau positif. Logika the man behind the gun tampaknya begitu melekat, sehingga ketika orangnya (the man) berganti maka senjatanya (the gun) tidak dipakai lagi. Padahal kalau baik ’senjata’ itu bisa diwariskan. Kita pernah mengenal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang sudah tidak kita singgung lagi, padahal sebagai sebuah pedoman individual dalam menjalankan kehidupan bangsa dan negara dan mengingatkan perspektif wawasan kebangsaan, ia tetap diperlukan –tentunya dengan beberapa perbaikan. Kembali ke Pancasila merupakan kunci, tetapi pertanyaan selanjutnya pada bagian dan perihal mana Pancasila dapat dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi saat ini. Makalah ini akan membahas nilai-nilai Pancasila yang perlu kita terapkan lagi.
(2) Falfasah dalam pertanian mengajarkan kita “siapa menabur dia akan menuai” atau dalam pepatah Jawa adalah sapa sing nandur bakal ngunduh artinya ”siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya”. Mereka yang berbuat baik akan memetik hasilnya berupa kebaikan di kemudian hari. Bila kita kaitkan dengan Pancasila, bukankah frase tersebut adalah bagian dari Ketuhanan yang Maha Esa. Kondisi saat ini –ketika suasana politik caci maki makin mengemuka- merupakan indikasi bahwa sila pertama tersebut telah kita tinggalkan. Bagi para politisi, pelaksaan sila pertama Pancasila adalah berbuat baik dan berbicara jujur, lawan politik mereka sebenarnya adalah kawan dalam membangun bangsa. Berkampanye pun demikian bila kita lihat akhir-akhir ini banyak sekali tayangan kampanye di televisi. Bila politisi tidak jujur dalam kampanyenya, maka mekanisme ’tangan Tuhan’ atau barangkali invisible hand, akan membalas kemudian hari bahwa kemungkinan besar dia akan tidak terpilih.
Ketuhanan Yang Maha Esa semestinya membuat kita sadar bahwa ada hari kemudian setelah kehidupan di dunia. Sehingga perbuatan baik kita nanti akan ada ganjarannya. Paradigma berbuat baik atau positive thinking bila sepenuhnya mewarnai perilaku kita sehari-hari maka akan berbuah baik juga nantinya. Bila tidak di dunia, semoga di akhirat. Demikian pula seandaianya perspektif ini dipakai oleh mereka yang kalah dalam sebuah pilihan langsung. Sifat legawa dalam menerima kekalahan dengan tetap melihat ke depan akan mengurangi kebiasaan mengkritik atau malah menghujat.
Kita telah menyepakati satu hal: demokrasi. Dan pada pernyataan ”demokrasi” tersebut kita harus sandarkan kepercayaan vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) sehingga hasil pilihan demokrasi tersebut harus kita jaga. Hasil demokrasi atau dalam hal ini pilihan langsung memang sering tidak dibayangkan sebelumnya. Sering yang dipersiapkan tidak jadi, bahkan yang jadi bukan yang dipersiapkan. Sekali lagi sifat legawa yang musti diutamakan dalam hal ini bagi semua para kontestan dan pendukungnya. Bahwa ada kehidupan sesudah dunia yang barangkali akan membawa hasil lebih baik.
Demokrasi sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Kesepakatan kita bertambah: mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Tetapi pilihan-pilihan kebijakan publik sering terjadi ”musyawarah tidak menghasilkan mufakat, yang dimufakati bukan merupakan hasil musyawarah”. Dalam pola pembangunan, visi dan misi Presiden/ Wakil harus kita sepakati, yang kemudian dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, diturunkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah, dan selanjutnya ke Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian. Kementerian dan Lembaga akan mengimplementasikannya secara riil dalam program dan aksi pembangunan. Logika ini harus runtut seperti kita dulu menyepakati mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara, sehingga sinyalemen bahwa ’kita perlu lagi semacam GBHN’ tidak akan muncul bila logika runtut tersebut kita anut dan terapkan dalam program pembangunan.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan amanat untuk mewujudkan kesejahteraan umum seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam APBN, kita kenal mekanisme tax and subsidy. Barangkali yang sering kita lupa adalah subsidi itu pajak-minus. Hal tersebut hanya dapat difasilitasi oleh kebijakan sektor riil. Subsidi tidak apa-apa sepanjang hal tersebut akan dimanfaatkan kelompok masyarakat yang lemah untuk pemberdayaan. Pemberdayaan yang nantinya akan membuat kesenjangan menjadi semakin tipis. Komprominya di tengah anggaran yang terbatas adalah eksistensi kebijakan subsidi langsung contohnya conditional cash transfer seperti bantuan langsung pemberdayaan. Dengan tambahan catatan pula, pendataan by name by address penerima yang kuat. Dengan CCT maka masyarakat dapat bekerja, kemudian mendapatkan keuntungan, dan menyisakannya untuk ditabung. Kerja, untung, tabung, yang dalam kaidah ekonomi pembangunan dikenal dengan mekanisme employment - income - growth.

(3) Ketiga sila diatas hanya contoh sekilas bagaimana kerinduan kita akan adanya sebuah panduan berperikehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai utama yang saya utamakan adalah kondisi suasan batin kita akan kebutuhan berwawasan kebangsaan. Permasalahan utama bangsa ini adalah kemiskinan. Satu hal yang inheren dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah spirit untuk maju. Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri. Sehingga pendekatan kita selain secara intelektual (yaitu intervensi ekonomi) kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Dalam kedua hal tersebut paradigma yang ditawarkan adalah pendekatan wawasan kebangsaan seperti kami sebut di muka.

Wawasan Kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lainnya. Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa.

Memberikan semangat wawasan kebangsaan kepada pelaku ekonomi rakyat berarti memberikan kesadaran bahwa kita harus bersama untuk maju. Pelatihan bersemangat kebangsaan pada awalnya layak untuk diberikan kepada aparat pemerintah, para pendamping program penanggulangan kemiskinan, Manager Sosial Kecamatan atau Maskot, dan bahkan dunia usaha. Dengan Wawasan Kebangsaan akan menyadarkan warga negara terhadap pentingnya arti kehidupan bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan bangsa.

Pada saat saya bergabung dalam kepanitian untuk pelatihan Emotional Spiritual Quotient tanggal 13 -15 Maret 2008 bertempat di Gedung PLN, Jakarta, semangat mencapai Indonesia Emas tersebut begitu menggelora. Hadir pada saat itu Menpora bapak Adhyaksa Dault, mantan Menteri Kehakiman bapak Utoyo Usman, dan beberapa tokoh nasional yang lain. Kami merasakan kerinduan akan panduan berbangsa dan bernegara setelah ‘dihentikannya’ P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Sepertinya kita perlu alternatif program atau pelatihan dalam memandu warganegara agar mencintai bangsa dan berperikehidupan yang santun dengan sesama –dalam kerangka NKRI.

Akhirnya, wawasan kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global. Perjuangan mengurangi kemiskinan takkan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Semangat ke-aku-an, atau ke-kami-an, yang mengutamakan daerah demi daerah, suku demi suku tanpa adanya tekad bersatu sebagai satu bangsa yang secara berbareng bergerak, akan tetap kalah dengan laju kemiskinan itu sendiri. Menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas, yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat, merupakan agenda utama kembali ke Pancasila dengan semangat wawasan kebangsaan.◄TULISAN ini sebagai bahan paparan untuk Seminar ”Pancasila: Nasionalisme dan Spiritualitas” yang diselenggarakan oleh ESQ Magazine pada tanggal 01 Juni 2008 di Menara 165, Jakarta Selatan

Tidak ada komentar: