Senin, 28 Juli 2008

Antara MDG dan Pembukaan UUD '45

DALAM rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000 telah mendeklarasikan Millennium Development Goals atau MDGs. Dalam deklarasi tersebut, diharapkan seluruh negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.

Untuk mengawal maupun mengevaluasi program yang telah dilakukan para anggota PBB dalam mencapai MDGs, pada September 2005 akan diadakan pertemuan tingkat tinggi yang diberi nama Millennium Summits di Markas Besar PBB, New York, AS. Untuk mempersiapkan pertemuan tersebut, pekan ini (3-5 Agustus) di Jakarta diadakan pertemuan tingkat menteri dari 41 negara kawasan Asia Pasifik.

Pertemuan ini penting, bukan sekadar menyusun program-program yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan MDGs, melainkan karena beberapa bulan sebelumnya kepala negara/pemerintahan dari negara-negara kaya yang tergabung dalam G7 lebih memprioritaskan upaya penghapusan kemiskinan di kawasan Afrika.

Padahal, perlu dipahami bahwa kemiskinan tidak hanya merupakan permasalahan Afrika. Kawasan Asia Pasifik sendiri masih berkutat dengan problematika yang sama. Negara Asia Pasifik akan bertanya mengapa hanya Afrika yang jadi prioritas, padahal di Asia Pasifik juga masih perlu perhatian dunia untuk upaya penanggulangan kemiskinan.

BENCANA TSUNAMI. Pemerintah Indonesia hampir dikatakan berhasil mengatasi kemiskinan. Selama tahun 1976-1996jumlah penduduk miskin turun drastis. Tahun 1976, jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta jiwa atau 40,1 persen dari jumlah penduduk. Tahun 1996 turun menjadi 22,5 juta atau sekitar 11,3 persen. Namun, krisis ekonomi yang terjadi mulai pertengahan tahun 1997 seakan menistakan usaha dan program yang dijalankan pemerintah. Jumlah penduduk miskin meningkat hingga 49,5 juta atau 24,2 persen dari total penduduk akibat banyaknya perusahaan/sentra ekonomi yang menghentikan kegiatan ekonominya sehingga menimbulkan angka pengangguran yang besar.

Saat deklarasi MDGs diluncurkan, tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Tahun 2001, jumlah penduduk miskin turun meski tidak signifikan, mencapai 37,1 juta dari total penduduk. Sementara tahun 2004 angka penduduk miskin kembali turun menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen.

Indonesia berkepentingan dengan keberhasilan MDGs. Kebetulan, delapan nilai dasar dari MDGs sudah menjadi amanat konstitusi negara UUD 1945. Nilai dasar 1-2 MDGs tersebut masing-masing berbunyi: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar bagi semua, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 yang berbunyi: mewujudkan kesejahteraan umum dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Nilai dasar ke 3-6: mendorong kesetaraan gender, menurunkan angka kematian bayi dan meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, sesuai dengan pembukaan UUD 45 yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia. Sementara nilai dasar ke 7-8 melestarikan lingkungan, mengembangkan kemitraan global, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 yang berbunyi ”menjaga dan melaksanakan ketertiban dunia”.

Bencana alam yang datang bertubi-tubi mulai dari gempa bumi di Alor, NTT, Papua, hingga bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) pada akhir tahun 2004 merenggut sekitar 220.000 jiwa dan meluluhlantakkan sebagian NAD disusul gempa bumi di Nias dan daerah-daerah lainnya, mengakibatkan angka penduduk miskin terus bertambah hingga 54 juta jiwa (Kompas, 1/8).

Kondisi infrastruktur, terutama jalan dan gedung sekolah, yang sebagian besar rusak serta harga minyak mentah dunia yang mencapai 62 dollar AS per barel menambah berat beban pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun, upaya mengurangi penduduk miskin tidak boleh berhenti. Upaya mengurangi penduduk miskin sama halnya dengan mempertahankan kedaulatan negara. Banyaknya penduduk miskin menyebabkan kualitas sumber daya manusia rakyat Indonesia jadi turun.

PEMBERDAYAAN EKONOMI. Banyaknya penduduk miskin salah satunya disebabkan banyaknya jumlah penduduk usia produktif yang menganggur/ tidak bekerja, baik secara terbuka maupun semi pengangguran. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Biro Pusat Statistik (BPS), Bappenas menggambarkan sekaligus memprediksikan terjadinya tren peningkatan pengangguran terbuka dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. Hal ini berakibat pada pertambahan penduduk miskin.

Salah satu jalan keluar mengurangi kemiskinan adalah menciptakan lapangan kerja dan membuka akses-akses ekonomi/memberdayakan ekonomi masyarakat miskin usia produktif. Bagi orang miskin sendiri, mereka lebih suka mendapatkan akses ekonomi atau lapangan pekerjaan daripada subsidi beras miskin. Menciptakan lapangan pekerjaan bukan hanya mengandalkan investor asing membuka pabrik atau membuka toko. Juga tidak harus mengandalkan utang luar negeri yang dapat makin memiskinkan rakyat. Melainkan, dengan lebih memberdayakan potensi ekonomi setiap orang, termasuk orang miskin.

Apabila penduduk miskin itu sebelumnya berprofesi sebagai buruh tani, dia perlu diberikan akses untuk menjual hasil panennya dengan nilai yang lebih baik. Karena itu, perlu dibuka jalur distribusi/ pemasaran hasil tani ke konsumen dalam skala besar (sistem inti-plasma) dan tidak menggunakan sistem konsinyasi yang terlalu lama. Sebaliknya, apabila orang miskin itu bergerak dalam sektor perdagangan informal, berilah dia tempat berjualan yang layak dan tidak melanggar hukum. Apabila orang miskin tersebut belum mempunyai keahlian, harus diberikan pelatihan kewirausahaan di balai latihan kerja yang selama ini sudah banyak berdiri, namun berhenti beroperasi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal tahun 2005 telah mencanangkan Tahun Keuangan Mikro Internasional (TKMI) sekaligus mendorong pihak perbankan lebih banyak menyalurkan kredit kepada sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM). UMKM merupakan sektor usaha yang banyak dilakukan kelompok masyarakat ekonomi menengah bawah termasuk di dalamnya adalah masyarakat miskin yang bergerak di sektor informal. Perkembangan UMKM di Indonesia selama ini telah menunjukkan tren yang mengesankan dan memberikan kontribusi penting dalam menyerap tenaga kerja. Tahun 2003, UMKM mampu menyerap 79 juta tenaga kerja.

Pihak perbankan sendiri saat ini baru menyalurkan sebagian kecil kreditnya ke UMKM. Mereka lebih suka menyalurkan kreditnya ke sektor konsumtif dan korporasi. Selain karena waktu pengembalian modalnya yang cepat juga karena adanya agunan. Pihak perbankan, terutama pengelolanya, tidak mau disalahkan/mengambil risiko karena pinjaman yang disalurkan ke UMKM macet. Meskipun pada kenyataannya tunggakan kredit macet ke UMKM jauh lebih kecil dibandingkan dengan kredit macet yang dilakukan korporasi atau para konglomerat.

PERLUASAN PROGRAM KB. Inti dari penanggulangan kemiskinan adalah penciptaan lapangan kerja yang luas. Juga jangan sampai terlupa untuk mengendalikan jumlah penduduk agar jangan sampai tumbuh generasi miskin baru. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk meliputi perluasan jangkauan pelayanan keluarga berencana (KB) bagi keluarga miskin.

Mengurangi jumlah penduduk miskin memang tak semudah membalikkan telapak tangan atau tidak semudah mengadakan diskusi atau seminar tentang kemiskinan. Perlu kerja keras dan kebersamaan semua pihak.█ ARTIKEL ini pernah dimuat di halaman Opini pada harian Kompas tahun 2005 tepatnya hari Sabtu tanggal 06 Agustus -dengan judul 'MDGs dan Indonesia'.

Tidak ada komentar: