Senin, 28 Juli 2008

Individu, Masyarakat, Bangsa dan Negara

TUJUAN berbangsa dan bernegara dimulai dari tujuan kita hidup. Tujuannya adalah bagaimana memenuhi kesejahteraan –melalui kesempatan kerja, dan akhirnya menghasilkan pendapatan. Dari tujuan hidup ini dituangkan kepada cita-cita bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945yang muaranya adalah dari aspek dalam negeri dan aspek luar negeri. Dari aspek dalam negeri adalah mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melindungi warganya (menciptakan rasa aman). Rasa aman tersebut secara ekonomi, sosial, dan politik. Baru setelah ketiga hal tersebut terpenuhi, maka kita jaga aspek ketertiban dunia. Ketertiban dunia akan tercipta kalau kebersamaan antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing terwujud.
Sebelum menjaga tertib dunia kita harus menjaga ketertiban dalam negeri sendiri. Ketertiban dalam negeri adalah apabila masyarakatnya merasa terlindungi. Terlindungi berarti kebutuhan lahir dan batin terpenuhi. Oleh karena itu dari tujuan hidup menjadi tujuan berbangsa yang kemudian dituangkan dalam peratuan perundangan. Tujuan berbagsa dituangkan dalam Pembukaan UUD 45, yang kemudian dilaksanakannya dalam peraturan perundangan yang operasional, ada UU Perencanaan (UU no 5 tahun 2005), UU Keuangan Negara dan UU Otonomi Daerah. Selain itu ada juga UU sektor-sektor riil seperti Pekerjaan Umum, Pertanian, Koperasi, dan Perbankan.
Pada masa lalu, strategi ditentukan oleh pemikiran zero sum game. Dalam waktu yang sama selalu terdapat situasi dimana jika suatu pihak berhasil maka keberhasilannya atau kemenangannya itu karena ada pihak lain yang gagal atau mengalami kekalahan. Situasi demikian menimbulkan rantai keterbelakangan tanpa akhir sehingga lebih lanjut menyebabkan ketidakadilan yang akut. Negara berkembang dan negara miskin senantiasa miskin. Penduduknya bergelimang kesengsaraan. Situasi ini harus diubah. Sehingga suatui konsep win-win solution perlu diterjemahkan dalam aksi nyata agar tatanan dunia lebih adil dan mampu lebih mempersembahkan kesejahteraan bagi penduduk miskin baik yang berada di negara miskin, negara berkembang, maupun di negara maju sekalipun. Aplikasi konsep win-win solution ini sudah lama digagas oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu mulai dari konsep demokrasi-nya Socrates hingga konsep The Third Way-nya Giddens. Di Amerika Serikat, win-win solution antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian social security services, di Jerman diaplikasikan dalam bentuk sistem pasar sosial. Indonesia pada masa sekarang mencoba menerapkan subsidi langsung tunai (SLT) yang tentunya membutuhkan penyempurnaan ke depan –misalnya melalui pendampingan untuk pemberdayaan si miskin.
Keberhasilan berbangsa dan bernegara juga ditentukan oleh pemimpinnya. Tentunya pemimpin yang cerdas secara emosional, intelektual, dan spiritual. Intinya bahwa pemimpin harus merasa bukanlah jabatan melainkan tugas dan kewajiban. Hari ini kita cenderung melihat pemimpin semata-mata sebagai jabatan. Dengan melihat kepemimpinan sebagai sebuah jabatan, kita akan cenderung menggantungkan seluruh beban dan kewajiban kepada pemimpin. Sekarang bayangkan sebuah tim sepak bola. Jika seluruh anggota tim menggantungkan beban sepenuhnya kepada sang Kapten, dan tidak berbuat apa-apa, dapat dipastikan kesebelasan tersebut pasti kalah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus melihat diri sebagai sebuah tim. Di dalam sebuah tim yang baik, semua orang harus mampu menjadi pemimpin di tempatnya masing-masing, dan secara efektif saling menggantikan posisi jika tantangan kepada tim tersebut berganti.
Semua menjadi pemimpin bukan berarti semua harus menjadi Presiden atau semua menjadi Menteri. Di Indonesia, paling tidak kita memiliki tiga anggota, pemerintah (sektor publik), badan-badan usaha (sektor bisnis), dan nirlaba. Masing-masing harus menjadi pemimpin di tempatnya masing-masing dan mengontribusikan keunggulan kepemimpinan kita kepada tim. Dengan demikian, bertanggung jawab akan apa yang kita kerjakan. Namun, pemimpin bukan sekadar pemimpin. Ia juga harus menjadi guru bagi setiap mereka yang dipimpinnya. Seorang guru bukan mengajar dengan kata-kata, namun tindakan. Ada tiga hal yang perlu dimiliki pemimpin—keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Itulah yang harus diajarkan melalui teladan dan dilakukan secara terus-menerus.• █ Tulisan ini pernah dimuat di kolom RENUNGAN pada majalah Komite bulan November 2005

Tidak ada komentar: