Senin, 28 Juli 2008

Perlindungan Sosial

BADAN Pendidikan dan Penelitian (Badiklit) Departemen Sosial pada hari Selasa, 03 Oktober 2006 menyelenggarakan seminar bertajuk Analisis Kebijakan Perlindungan Sosial (perspektif Ketahanan Sosial Masyarakat) di Jakarta. Pada sesi pertama, saya beserta Dr Edi Suharto (Ketua program pascasarjana Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung) menjadi pembicara yang membahas tentang “Kebijakan Perlindungan Sosial terhadap Kelompok Rentan dan Kurang Beruntung”.
Di bagian pembukaannya, Kepala Badiklit, Dr Marzuki, memaparkan bahwa aspek perlindungan sosial sangat ditekankan di APBN beberapa negara persemakmuran –terlihat dari besarannya yang mencapai 57%. Dengan demikian perlindungan sosial di negara-negara tersebut mampu mencapai batasan usia dari 0 (nol) tahun sampai ketika manusia tersebut meninggal. Sedangkan pembicara pertama Dr Edi mengetengahkan wacana bahwa aspek perlindungan sosial semakin memprihatinkan dewasa ini. Beliau mencontohkan apa yang terjadi beberapa pekan yang lalu saat Sumirah (35) seorang pemulung melahirkan anaknya di bawah pohon. Seorang pembaca kemudian menulis keprihatian akan nasib Sumirah tersebut di surat pembaca Kompas tanggal 29 September 2006 dengan menyatakan “Negara tidak bisa lepas tanggung jawab sebab setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Mestinya jika pemerintah bisa menegakkan keadilan sosial, kemiskinan akan semakin berkurang”.
Apakah Negara memang demikian memprihatinkan perhatiannya dalam memberikan perlindungan sosial? Apakah ini berarti bahwa sejak kemerdekaannya lebih dari 60 tahun lalu pembangunan Indonesia tidak mengalami kemajuan? Jawaban yang lebih arif adalah kita perlu membandingkannya dengan Negara lain. Perlu diakui bahwa beberapa indikator sosial, politik dan ekonomi Indonesia menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Namun kemajuan tersebut tidak berarti apabila dibandingkan kemajuan yang lebih dahsyat dari negara lain.
Hanya masalahnya, negara lain maju lebih cepat. Ekonom dari Amerika Serikat, penasihat Sekjen PBB Koffi Anand, Professor Jeffry Sach menyatakan bahwa pada tahun 1984, angka ekspor Indonesia adalah USD 4 miliar, sementara ekspor China baru mencapai USD 3 miliar. Tetapi, 20 tahun kemudian di tahun 2004, ekspor RRC telah mencapai USD 700 miliar, sedangkan ekspor Indonesia baru mencapai sekitar USD 70 miliar.
Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam luar biasa dan keunggulan komparatif lainnya yang begitu potensial, ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia –baik Asia maupun kawasan ASEAN sekalipun- seharusnya menyadarkan kita bahwa pastilah ada sesuatu yang salah dalam pendekatan pembangunan dan pengelolaan negara ini.
**
Satu hal yang perlu juga diperhatikan apabila kita menuntut pemenuhan Negara adalah apakah Negara mampu mengelola segenap potensinya untuk menyediakan segala permintaan rakyatnya. Kemudian kedua apakah masyarakat memang benar-benar tidak mampu untuk menyediakan perlindungan sosial bagi dirinya sendiri.
Disinilah konsep pemenuhan hak dasar perlu untuk direnungkan kembali. Bagi saya yang lebih relevan barangkali adalah basic needs development –pemenuhan kebutuhan dasar. Pemenuhan kebutuhan dasar berbasis pendekatan untuk penyediaan kebutuhan minimum bagi penduduk yang tergolong miskin. Kebutuhan minimum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hanya pangan-pakaian-papan saja, melainkan juga kemudahan akses pada pelayanan air bersih, sanitasi, transport, kesehatan, dan pendidikan. Antara ’kebutuhan’ dan ’hak’ memiliki cakupan yang berbeda –terminologi hak relatif cenderung untuk tidak tak terbatas.
Solusinya untuk mengatasi kesenjangan –antara kebutuhan masyarakat untuk perlindungan sosial yang tergolong banyak, sementara anggaran Pemerintah yang sedikit- menuntut kecerdasan pemerintah untuk lebih responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Caranya? Bersama kita harus bisa. Pemerintah perlu mengajak sektor swasta maupun masyarakat, juga LSM, yang bertujuan untuk melindungi kelompok rentan terhadap resiko-resiko penghidupan (livelihood) dan meningkatkan status dan hak sosial kelompok-kelompok yang terpinggirkan di dalam suatu masyarakat
Pemerintah perlu melibatkan seluruh unsur stakeholder termasuk kalangan usahawan, perbankan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai representasi stakeholder lainnya. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi maka peranan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) menjadi sangat strategis.
Strateginya adalah pemberdayaan masyarakat. Pada usia dini, sang anak harus disediakan pelayanan kesehatan dan pendidikannya agar mempunyai etos kerja kelak ketika dia dewasa. Pada usia dewasa dan saat bekerja (masa usia produktif, 15-55 tahun) manusia tersebut harus mengoptimalkan segenap potensinya untuk mencari uang, meraih profit, dan menabung –apabila perlu didampingi oleh para penyuluh atau petugas lapangan. Menabung di sini diharapkan mengandung pengertian sebagai berikut;
1. Tabungan untuk memenuhi hidup sehari-hari, 2. Tabungan untuk modal usaha, 3. Tabungan untuk jaminan sosial jangka pendek, menengah dan hari tua, 4.Tabungan untuk membantu sesamanya dalam bentuk sumbangan, bayar zakat, infaq, dan sodaqoh (ZIS), dan 5). Tabungan untuk bela negara yakni membayar pajak
Apabila kelima hal tersebut dapat diterapkan, berarti individu tersebut benar-benar telah memberdayakan dirinya dan ’terbebas’ dari bantuan Negara/ Pemerintah. Tidak hanya itu saja, bahkan orang tersebut dapat membantu orang lain, even membantu Negara dalam hal ini. Semua jadi bahagia –layaknya komentar versi Singapura English, “I am happy, you happy, same-same laahhh”.
**
Tema yang diajukan panitia pada saat itu mengenai “Kebijakan Perlindungan Sosial terhadap Kelompok Rentan dan Kurang Beruntung”, setidaknya memiliki 3 (tiga) kata kunci, yakni pertama perlindungan sosial, kedua kelompok rentan, dan ketiga kurang beruntung. Perlindungan sosial dalam hal ini adalah kebijakan yang diarahkan kepada kelompok usia pasca produktif (di atas 55 tahun) berupa jaminan sosial dalam rangka pengurangan beban hidup. Bentuk perlindungan sosial yang lestari adalah tabungan hari tua yang memang telah dikumpulkan semenjak dia muda, sedangkan yang temporer dapat berupa uang pensiun ataupun asuransi kesehatan. Perlindungan sosial ini berbeda dengan pelayanan dasar dan penanggulangan kemiskinan, apabila dilihat dari kelompok sasarannya.
Penanggulangan kemiskinan ditujukan kepada kelompok usia produktif (15-55 tahun) berupa pemberian modal usaha agar bekerja, kemudian mendapatkan keuntungan, dan mampu menabung. Pelayanan dasar ditujukan kepada kelompok usia belum produktif (0-15 tahun) berupa fasilitas pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya siapa yang dimaksud kelompok rentan? Kelompok rentan adalah mereka yang mempunyai pendapatan di sekitar garis kemiskinan. Mereka sangat rentan untuk dapat jatuh dalam katagori miskin. Menurut BPS, Garis Kemiskinan pada tahun 2006 adalah Rp 175.324,00 per kapita per bulan (untuk kota) dan Rp 131.256,00 per kapita per bulan (untuk desa).
Berikutnya adalah kelompok kurang beruntung, dalam hal ini kita mengenal fakir miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Kelompok fakir adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Kelompok miskin adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Mereka yang disebut PMKS diantaranya adalah gelandangan, pengemis, bekas narapidana terlantar, anak jalanan, penyandang cacat terlantar, lansia terlantar, tuna susila, dan komunitas adat terpencil.
Upaya penanggulangan kemiskinan selayaknya diarahkan kepada membangkitkan semangat orang untuk bekerja, dan memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Dengan adanya pelatihan kepada masyarakat miskin maka akan membangkitkan cipta, rasa, karsa, dalam rangka menumbuhkan jati diri bangsa melalui pengembangan sektor usaha produktif.
Penanggulangan kemiskinan diharapkan dapat membangkitkan kebersamaan melalui: nilai-nilai kepahlawanan (anti ketidakadilan), nilai-nilai kebersamaan melalui gotongroyong, dan menumbuhkan nilai-nilai semangat wawasan kebangsaan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhloi. Amien. TULISAN ini pernah dimuat di kolom Renungan majalah KOMITE bulan Oktober 2006

Tidak ada komentar: