Senin, 28 Juli 2008

Berdayakan Petani or Beri Subsidi

Jakarta, Kompas- RENCANA pemerintah untuk mencabut subsidi pupuk dan mengalihkannya ke bentuk subsidi lain tidak mudah dilakukan. Pencabutan subsidi itu akan berdampak pada kenaikan harga pupuk sehingga akan memberatkan petani. Untuk itu, perlu dilakukan kajian yang mendalam agar kebijakan yang dipilih tidak memberatkan petani. Apa pun kebijakan yang dipilih, prioritas produsen pupuk hendaknya mendahulukan kebutuhan di dalam negeri. Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Benny Wahyudi mengungkapkan hal itu di sela- sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Selasa (31/8). Dikatakan, pihaknya masih mengkaji berbagai hal terkait dengan subsidi pupuk, termasuk dugaan subsidi yang tidak sampai sasaran. Benny mengatakan hal itu menanggapi keluhan petani soal tak efektifnya kebijakan subsidi pupuk serta rencana pemerintah untuk mengganti subsidi pupuk dengan subsidi pembelian gabah, seperti diungkapkan Deputi Menko Perekonomian Dipo Alam, pekan lalu. "Kita masih membicarakan hal itu, persoalan ini tidak mudah. Semua harus dikaji," kata Benny. Ia menyebutkan, salah satu dampak pencabutan adalah harga pupuk akan naik, menyesuaikan harga internasional. Bila ini terjadi, akan memberatkan petani. Pengkajian lainnya yang harus dilakukan adalah soal aturan ekspor pupuk dan juga harga eceran. Bila subsidi dicabut, harus dipikirkan kebijakan cadangan yang bisa menolong petani. Misalnya, penetapan harga penjualan pupuk agar harga pupuk tidak melonjak. Untuk itu, harus dihitung ongkos produksi dan marjin yang diterima oleh pabrik pupuk. Benny sendiri mengatakan, hingga sekarang belum ada rencana pencabutan subsidi pupuk, termasuk pengalihannya. Ia mengatakan, apa pun yang terjadi, kebutuhan pupuk dalam negeri tetap menjadi prioritas. Hingga saat ini produsen pupuk tidak boleh menjual pupuk sama dengan harga internasional.

TIDAK BERDAYAKAN. Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Gunawan Sumodiningrat berpendapat, subsidi untuk pupuk maupun subsidi untuk pembelian gabah pada dasarnya sama, tidak memberdayakan petani. "Kebijakan subsidi sekarang ini tidak pas. Subsidi seharusnya bukan barang, tetapi keberdayaan petani," katanya.

Dijelaskan, subsidi seharusnya diberikan langsung kepada petani untuk memberdayakan petani, yaitu dengan pendampingan sejak mulai dari proses produksi, pengelolaan hasil, pemasaran, hingga pengelolaan keuangannya. "Sekarang itu yang tidak ada sehingga petani tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya saingnya," ujarnya.

Gunawan menegaskan tidak perlu risau bahwa dengan dihapusnya subsidi pupuk, maka produksi padi akan menurun. Pupuk bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi. Bila petani mendapat pendampingan, dan mendapat informasi yang luas sehingga mengetahui alternatif yang ada untuk meningkatkan produksi, maka ketergantungan pada pupuk akan dapat dihilangkan.

"Untuk meningkatkan produksi, bukan hanya pupuk, ada banyak cara, mulai dari benih, pengolahan lahan, irigasi, sampai pada pascaproduksi. Di negara maju, pupuk kimia tidak lagi digunakan. Kenapa kita di Indonesia tidak pernah mengampanyekannya kepada petani, padahal potensi pupuk organik kita besar. Selain itu, harga beras dengan pupuk organik tiga kali lipatnya. Yang teriak soal kelangkaan pupuk selama ini bukan petani, tetapi pedagang," ungkapnya.

Di sisi lain, lanjut Gunawan, subsidi pembelian gabah hanya akan menguntungkan pedagang. "Selama petani kita posisi tawar-menawarnya tetap seperti sekarang, subsidi pembelian gabah hanya akan menguntungkan pedagang," ujarnya.

Pemberdayaan petani, melalui pendampingan disertai dengan terbukanya akses petani pada perbankan, akan meningkatkan daya saing petani. "Kalau petani kita tahu berbagai alternatif, punya informasi pasar yang baik, dan punya akses kepada lembaga keuangan, maka dia akan punya daya saing. Bahkan bisa membuat proyeksi," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Gunawan, yang harus dilakukan adalah memberikan subsidi itu langsung kepada petani dan memberikan pendampingan. "Jangan lagi subsidi melalui harga atau barang, itu hanya menguntungkan pihak lain dan tetap membuat petani tergantung," ujarnya.

Executive Director Partnership for Governance Reform in Indonesia HS Dillon mengatakan, jika pemerintah memang ingin membantu petani, kebijakan yang dihasilkan seharusnya lebih difokuskan pada bagaimana caranya petani bisa mendapatkan sarana produksi pertanian (saprodi) dengan harga terjangkau seperti dialami petani di negara lain, misalnya Thailand dan Vietnam.

"Sudah lama saya katakan upaya subsidi (pupuk) tidak tepat jika diberikan melalui industri pupuk. Justru inefisiensi terbesar terjadi di sana. Pabrik pupuk itu setiap kali ada permainan, mereka selalu menjual ke pihak luar selain petani," ujarnya. Hal itu dilakukan karena pabrik pupuk justru akan menganggap jauh lebih menguntungkan jika pupuk dijual ke pihak lain daripada ke petani. Dengan demikian, subsidi yang diberikan selama ini dinilai justru tidak menolong petani.

"Sebetulnya yang sekarang diberikan ke petani itu bukan subsidi. Saya lebih setuju untuk menyebutnya sebagai koreksi (pemerintah) terhadap apa yang disebut dengan ekonomi biaya tinggi," kata Dillon. Walau tidak sepenuhnya menyalahkan kebijakan pemerintah terkait subsidi pupuk, Dillon menilai pemerintah perlu menyusun seperangkat sistem insentif sehingga petani dan buruh tani dapat terus terangsang untuk meningkatkan produksi.

Ia juga meminta Departemen Pertanian kembali pada fungsinya semula, yang lebih berhubungan dengan riset penelitian serta kegiatan penyuluhan. Dengan begitu, pemerintah seharusnya membebaskan para petani menentukan sendiri apa yang akan mereka lakukan. "Tugas pemerintah cukup menyediakan apa yang mereka butuhkan. Bayangkan saja, selama ini setiap kali akan menanam, petani kesulitan mendapatkan benih yang baik," ujar Dillon. (mar/ely/DWA)(*)WAWANCARA ini pernah dimuat di Kompas pada hari Rabu 01 September 2004 dengan judul "Rencana Pencabutan Subsidi Pupuk Perlu Dikaji Mendalam"

Tidak ada komentar: