Senin, 28 Juli 2008

Pancasila dan Pahlawan

PADA hari Sabtu tanggal 02 Juni 2007 kami mendapat kesempatan berharga untuk mendampingi Menteri Sosial menghadiri undangan Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Acaranya adalah peringatan 100 tahun gugurnya pahlawan nasional Raja Si Singamangaraja XII. Bapak Bachtiar Chamsyah selaku Mensos menjadi keynote speaker pada acara tersebut. Dua hari sebelumnya –tanggal 31 Mei 2007- di Yogyakarta diselenggarakan acara Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni. Acara di Yogyakarta diisi dengan kegiatan Orasi Pancasila dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, kemudian diakhiri dengan pergelaran wayang kulit “Werkudoro Maneges” yang kurang lebih berarti: Sang Bima (Werkudoro) yang Tegas –atau berupaya menegaskan sesuatu secara lebih mendalam.
Saudara pembaca yang budiman, ada kata-kata bijak yang menyatakan bahwa ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa-jasa para pahlawannya”. Pernyataan tersebut menurut Mensos mengandung nilai yang cukup tinggi untuk dimaknai, dicermati, dihayati, dan dipahami oleh kita semua. Tetapi ironisnya pada masa sekarang ini kita rasakan penghargaan terhadap jasa-jasa pahlawan makin luntur. Kita dan generasi muda perlu diingatkan kembali arti penting dan makna Pahlawan yang sarat nilai sejarah. Kita harus sadar, semua yang ada dan pembangunan bisa berjalan berkat tetesan darah para pejuang. Bangsa Indonesia tidak akan maju dan mempunyai character building jika tak mampu menghargai pengorbanan para pahlawan.
Mereka yang disebut “pahlawan” adalah seseorang warga negara yang telah berjasa besar dan luar biasa kepada bangsa dan negara, rela berkorban dan berjuang tanpa pamrih. Dikatakan pahlawan karena mereka merupakan sosok panutan yang telah melahirkan nilai-nilai keteladanan yang luhur dan semangat kepahlawanan (heroisme) yang pada jamannya mewarnai sikap dan perilaku kehidupannya dalam memperjuangkan nasib bangsa dan negara ini. Jumlah pahlawan nasional sampai dengan tahun 2006 kemarin adalah sejumlah 137 orang –menurut catatan Direktorat Kepahlawanan Keperintisan Kesetiakawanan Sosial di Ditjen Pemberdayaan Sosial. Dari sejumlah pahlawan itu jangan melupakan “pahlawan tanpa tanda jasa” atau bapak/ibu Guru kita yang jumlahnya mencapai 3 juta orang di Indonesia.
Seminar nasional di Humbang Hasundutan tersebut mengambil tema ”Menatap Sisingamaraja XII di Panggung Sejarah: Mewarisi Etos Perjuangan Sisingamaraja XII bagi Indonesia Abad XXI”. Menurut hemat kami makna “Mewarisi Etos” berarti fokusnya pada ‘etos’, bukan ‘mitos’. Mewarisi Etos berarti meneladani jiwa dan semangat perubahan, bukan mitos yang bersifat klenik atau misteri.
Mewarisi etos sangat relevan terutama dikaitkan peristiwa kebangsaan akhir-akhir ini ketika kita masih berada dalam suasana peringatan Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei yang lalu. Peringatan Kebangkitan Nasional merupakan perode awal tumbuhnya rasa nasionalisme dikalangan rakyat Indonesia yang pada saat itu masih bersifat kedaerahan dan belum menjadi semangat yang berwawasan kebangsaan.
Menghargai jasa pahlawan berarti kita tidak melupakan sejarah. Ada kata-kata hikmah bahwa ”masa lalu adalah sejarah, masa depan itu misteri, masa kini adalah karunia”. Dengan sejarah mari kita mensyukuri hari ini, dan merencanakan masa depan.
Pertanyaannya, bagaimana kita merencanakan ke depan dan berefleksi dengan hal-hal yang telah kita lakukan? Kita perlu kembali ke Pancasila. Peradaban dan kebudayaan tidak bisa lepas dari proses pendidikan untuk memanusiakan manusia dalam kerangka keindonesiaan yang kita miliki.
Oleh karenanya, peradaban seharusnya didesain oleh nilai-nilai kehidupan yang bernas untuk membangkitkan kembali keterpurukan bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru, sehingga harus terus-menerus disegarkan dan dihidupkan agar Pancasila tetap menjadi "ideologi kehidupan" dalam menjawab tantangan masa depan. Dengan landasan Pancasila pendidikan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral dan etika yang bersumber pada ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Sikap budaya Indonesia yang sama dalam semua kebudayaan Indonesia adalah bahwa manusia Indonesia menegakkan harmoni dalam hubungannya dengan alam semesta dan masyarakat. Harmoni atau keselarasan itulah yang tergambar dalam Pancasila berupa
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sikap budaya harmonis itu banyak persamaannya dengan sikap dan budaya berbagai bangsa di Asia –sehingga kita sebut budaya Timur. Namun, sikap budaya itu berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap budaya dunia Barat yang sejak Renaissance di abad ke-15 mengambil sikap budaya yang menaklukkan alam (to conquer nature). Sisingamangaraja menolak invasi Belanda dalam hal ini, karena tidak sesuai dengan harmoni.
Jika sikap budaya Harmoni memandang kebersamaan atau masyarakat sebagai pilar kehidupan, maka sikap budaya Barat menganggap individu manusia sebagai nilai utama. Itu sebabnya dunia Barat menghasilkan individualisme dan liberalisme, diikuti materialisme yang bermuara pada imperialisme dan kolonialisme. Maka perayaan untuk memperingati sumbangsih Raja Si Singamangaraja berarti mengembalikan memori kita kepada jasa pahlawan, selain itu mengingatkan akan jasa-jasa pahlawan dan para pendiri Bangsa, yaitu melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen
---
PADA saat memberikan orasi ilmiah di UGM, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa Pancasila mulai tererosi dari jiwa bangsa. Pada era reformasi kata Pancasila sudah jarang terdengar, padahal di masa lalu selalu diucapkan oleh siapapun dan seakan sakti. Orang Indonesia pada ’sungkan’ untuk menyebut Pancasila. Bahkan hal ini kejadian pada saat saya memberi kuliah untuk mahasiswa tingkat magister di UPN Yogyakarta sepekan sebelumnya, ketika saya menyatakan bahwa kunci keberhasilan adalah Indonesia untuk keluar dari belenggu krisis ini adalah ’kembali kepada Pancasila’. Ada mahasiswa yang berkomentar bahwa ternyata yang terjadi adalah manusia-manusia yang mengaku Pancasilais menjadi monoloyalitas –dan itulah kesalahan fatalnya begitu kata mahasiswa tersebut. Menanggapi hal tersebut saya nyatakan bahwa memang Pancasila mengajarkan monoloyalitas, tetapi monoloyalitas yang tepat yaitu kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang telah dicontohkan oleh para pahlawan kita yang mengorbankan jiwa dan raga untuk loyal kepada tanah air. Bukan kepada individu. NKRI adalah harga amati.█ DIMUAT di majalah Komite pada bulan Juni 2007

Tidak ada komentar: