Senin, 28 Juli 2008

Sang Waktu

Wal asri innal insaana lafi khusr illalladziina amanu wa amilus shaalihati watawa shaubil haqqi wa tawa shaubis shobr (Demi waktu sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh. Mereka yang saling mewasiatkan kebenaran dan kesabaran).

Pada Ramadan hari ke-16 kami diberi kesempatan untuk menyampaikan kuliah tujuh menit (kultum) di Masjid Al-hikmah, Departemen Sosial. Pada waktu itu Surat Wal Asri di atas yang kami jadikan tema utama, ditambah dengan Laha maksabat wa’alaiha mak tasabat dari QS Al Baqarah ayat 286. Nuansa puasa semestinya membuat kita sadar bahwa puasa tidak selayaknya membuat kita menjadi lemah lunglai. Dalam menjalankan puasa kita harus tetap semangat, tetap beraktifitas seperti biasanya, jangan hanya diisi aktifitas tidur saja. Memang ada hadist mengatakan,”Tidurnya orang berpuasa itu ibadah” tetapi tafsirnya yang lebih tepat adalah: tidurnya saja dimasukkan ibadah, apalagi momen ketika tidak tidur –misalnya untuk bekerja yang positif- tentunya akan mendatangkan pahala ibadah yang lebih banyak (merujuk pendapat Hj. Tuty Alawiyah). Dalam hal ini saya jadi teringat lagu yang dipopulerkan Wali Songo mengenai “Sluku-sluku Batok” pada kalimat terakhirnya terungkap yen urip goleka dhuwit alias kalau hidup carilah uang. Lagu yang sederhana tetapi dalam maknanya: kita harus bekerja selagi hayat masih dikandung badan. Kalau kita hanya tidur sewaktu puasa, maka kita telah membuang waktu begitu saja.

Puasa juga selayaknya membuat kita musti banyak bersyukur, bahwa selama ini kita hidup dalam kecukupan. Cukup makan, cukup minum, cukup bersenang-senang. Tetapi di bulan ramadhan ini dibatasi agar kita sadar bahwa ada segolongan masyarakat yang tidak bisa memenuhi ’cukup makan, cukup minum, cukup bersenang-senang’ tersebut. Maka harus kita sisihkan kecukupan kita untuk masyarakat yang lemah tersebut. Selama ini kecukupuan kita tersebut kita tabung, maka tabungan itu harus disisihkan, tabungan tidak boleh menumpuk terlalu banyak, harus disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Puasa menggambarkan kita untuk ’mantab’ (makan tabungan) yaitu bekal di saat sahur untuk bertahan sehari penuh puasa. Tabungan kita setidaknya harus dipergunakan untuk:
1. konsumsi hidup seharihari untuk diri sendiri dan keluarga
2. modal usaha untuk masa depan
3. jaminan hari tua untuk anak-cucu
4. zakat infak shadakah untuk amal jariyah
5. pajak untuk Negara
Tabungan itulah yang merupakan konsep dari Prof. Muhammad Yunus untuk meraih Nobel Perdamaian tahun 2006 –agar masyarakat miskin dapat meminjam uang di bank kemudian bekerja dan menyisihkan pendapatannya untuk menabung. Melalui pemikiran banking for the poor maka dimunculkan grameen bank project di desa-desa. Kegiatan Prof. Yunus merupakan bagian dari amal shaleh kepada rakyat miskin, dengan memberi kabar kebenaran (dalam hal ini trust) kepada mereka, dan kesadaran dalam mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan memberi pekerjaan kepada golongan masyarakat miskin, maka pikiran untuk masa depan akan lebih diperhatikan. Selama ini terdapat paradoks: orang kaya bertambah kaya, orang miskin bertambah anak. Dengan kata lain orang kaya cenderung anaknya sedikit (hanya 3 atau 2, bahkan 1), sebaliknya orang miskin kebanyakan beranak pinak dalam jumlah besar. Dengan mereka bekerja maka akan lebih memperhatikan kondisi keuangan di masa nanti, masa depan diri-sendiri, dan generasi mendatang.

Kembali kepada isitilah mantab alias makan tabungan, maka kalau ada sinyalemen yang menyatakan bahwa ’orang pensiun itu kerjanya mantab’–selayaknya orang tersebut malah bangga. Karena apa yang dinikmati saat tua adalah buah dari jerih payak di usia muda.

Sebagai penutup, ada cerita hikmah yang merupakan sharing dari pak Eman –tokoh Corporate Forum for Community Development- ketika mengisi acara CSR yang diselenggarakan Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 09 September 2006 lalu. Ceritanya begini, seorang pria memiliki 4 (empat) orang istri. Istri pertamanya orang yang rajin beramal dan berderma tetapi tidak cantik lagi karena sudah sangat tua, istri kedua kaya tetapi galak, istri ketiga pandai dan penyayang tetapi pelit, dan istri keempat paling cantik dan muda tetapi boros. Suatu waktu sang pria ini sakit parah dan hampir sekarat, lalu dia menanyai satu persatu istrinya siapakah yang mau ikut dirinya menemani ke alam baka. Istri ke dua, ketiga, dan keempat menolak, hanya istri pertama yang bersedia. Hikmah dari cerita tadi adalah ketika kita mati yang namanya kekayaan, kepandaian, dan kecantikan, itu tidak dibawa ke alam baka. Hanya amalan (disimbolkan oleh istri pertama yang rajin berderma) yang akan membimbing kita menuju surga-Nya. Wal ashr –demi saat ashar. Mengapa ashar? Karena hal itu merupakan peringatan bahwa kita akan mendekati maghrib (masa tua) kita. Kita harus banyak beramal untuk bekal di masa tua tersebut. Laaha maksabat wa’alaiha mak tasabat –siapa yang menanam akan menuai hasilnya.

Wal ashr –demi saat ashar. Mengapa ashar? Karena hal itu merupakan peringatan bahwa kita akan mendekati maghrib (masa tua) kita. Kita harus banyak beramal untuk bekal di masa tua tersebut. Sekian, kalau ada kebenaran dalam ucapan saya maka datangnya pasti dari Allah SWT, kalau ada kesalahan itu datangnya dari diri saya sendiri.█ Pernah dimuat di kolom Renungan pada majalah Komite bulan Oktober 2006

Tidak ada komentar: