Senin, 28 Juli 2008

Lagi: Subsidi for Petani

MENURUT Stiglitz (1988), alasan pemihakan pemerintah terhadap satu golongan adalah adanya kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar didefinisikan sebagai munculnya masalah-masalah pembangunan akibat tidak terpenuhinya asumsi-asumsi pembangunan yang ada. Asumsi-asumsi tersebut antara lain kesamaan informasi serta kemampuan dan akses pada sumber daya ekonomi. Dalam konteks inilah upaya pemihakan pemerintah terhadap petani-terutama petani padi-selama ini dimaksudkan untuk mengoreksi kegagalan pasar yang terjadi, yang mengakibatkan terpuruknya nasib petani.

Berbagai kebijakan, strategi, program, dan proyek pembangunan telah dijalankan pemerintah untuk mengangkat nasib petani agar mereka mampu menjadi pelaku ekonomi yang dapat bersaing di pasar. Berbagai subsidi yang telah diberikan pemerintah kepada petani diharapkan dapat menempatkan posisi petani dalam mekanisme pasar yang wajar. Namun, intervensi pemerintah tersebut dapat berubah menjadi kegagalan pemerintah yang semakin memperparah kondisi petani apabila tidak dilakukan secara tepat. Dalam konteks inilah diperlukan kebijakan yang tepat, penentuan sasaran yang tepat, dan kelompok sasaran yang tepat.

BENTUK SUBSIDI DI MASA LALU. Berbagai subsidi telah diberikan pemerintah kepada petani padi selama ini. Pada masa Orde Baru berbagai subsidi tersebut bermuara pada tercapainya swasembada beras, yang pada gilirannya diharapkan mampu menciptakan ketahanan pangan secara nasional. Namun, keberhasilan tersebut ternyata secara ekonomis berdampak ganda. Pertama, terjadinya subsidi kepada masyarakat perkotaan dalam bentuk harga beras murah yang berlangsung lama dan kedua, pada saat yang bersamaan nilai tukar produk petani padi cenderung merosot sebagai akibat dari kebijakan untuk mengamankan ketersediaan produksi beras pada tingkat harga yang murah.

Subsidi harga beras untuk masyarakat perkotaan secara politis sangat diperlukan untuk mencari legitimasi dan dukungan politik massa perkotaan terhadap pemerintah. Hal itu mengingat pemerintah berhasil menyediakan beras murah yang merupakan salah satu kebutuhan pokok utama masyarakat luas. Di sisi lain, kebijakan itu akhirnya justru menempatkan petani dan usaha pertanian padi hanya sebagai alat untuk mengamankan politik penyediaan pangan yang murah, bukan sebagai layaknya usaha ekonomi produktif yang komersial.

Secara finansial, kebijakan itu berimplikasi pada penyediaan anggaran pemerintah (APBN) yang sangat besar, terutama untuk menyediakan berbagai subsidi yang diperlukan petani padi. Subsidi itu antara lain dalam bentuk kredit murah, benih, pupuk, sarana produksi padi, pembangunan infrastruktur jaringan irigasi, dan penyediaan pendamping atau penyuluh pertanian.

Dengan pola subsidi itu, secara substansial kebijakan pemerintah, baik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani maupun dalam upaya mempertahankan ketahanan pangan, tak dapat berlangsung secara sistemik dan berkelanjutan. Hal itu mengingat biaya ekonomis yang ditanggung pemerintah teramat besar-yang tercermin dari beban anggaran untuk kebutuhan subsidi setiap tahunnya. Adapun biaya ekonomis yang ditanggung petani terletak pada adanya disinsentif dalam produksi sebagai akibat rendahnya harga beras. Satu-satunya keuntungan ekonomis hanya dinikmati oleh masyarakat nonpetani, terutama di wilayah perkotaan, yang selalu dimanjakan dengan murahnya harga beras.

Kebijakan subsidi yang tidak tepat itu diperparah dengan belum tersusunnya regulasi yang memihak dan melindungi petani dan usaha pertanian padi. Belum ada aturan tentang land reform, proteksi terhadap alih guna lahan sawah, insentif fiskal untuk kegiatan usaha pertanian, dan pengaturan tata niaga yang memihak petani.

Dalam konteks administratif, berbagai bias, distorsi, dan disorientasi yang terjadi dalam implementasi program atau proyek pemerintah berdampak negatif pada inefisiensi dan efektivitas kebijakan serta strategi pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan. Akumulasi dari berbagai faktor itu merupakan penyebab dari tidak signifikannya korelasi antara investasi yang telah dilakukan pemerintah dan kemajuan ekonomis yang terjadi dalam usaha pertanian pangan, khususnya beras. Masih tingginya tingkat kemiskinan, yang dibarengi dengan masih rendahnya kualitas sumber daya masyarakat petani di wilayah pedesaan, merupakan indikator makro yang tidak bisa dimungkiri untuk menjelaskan adanya kekeliruan itu.

GEGABAH. Polemik antara subsidi pupuk dan subsidi gabah akhir-akhir ini merupakan cerminan dari kurang tepatnya kebijakan subsidi pemerintah dalam pembangunan pertanian kita. Subsidi pupuk yang bertujuan menurunkan beban salah satu komponen biaya produksi dalam praktiknya justru menimbulkan kelangkaan dan memicu tingginya harga pupuk.

Hal itu bisa ditelusuri dari sisi produksi, yakni murahnya biaya produksi pupuk kimia karena adanya subsidi gas dari pemerintah kepada pabrik pupuk. Kondisi ini cenderung menghasilkan moral hazard di kalangan pabrikan. Biaya produksi yang murah ini secara teknis menurunkan harga pupuk domestik secara relatif dibandingkan dengan harga pupuk di negara-negara lain. Disparitas harga inilah yang mendorong terjadinya penjualan pupuk ke luar negeri sehingga secara ironis insentif itu justru lebih banyak dinikmati oleh produsen yang melakukan penjualan pupuk ke luar negeri.

Dari sisi distribusi, pengawasan dan pengendalian tata niaga serta distribusi pupuk yang tak optimal mengakibatkan semakin panjangnya rantai distribusi. Hal ini secara ekonomis menghasilkan keuntungan yang berlebihan di tingkat distributor. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pengaturan wilayah distribusi pupuk yang tak mempertimbangkan kebutuhan petani terhadap jenis-jenis pupuk tertentu dari pabrik pupuk tertentu. Sulitnya perubahan konsumsi jenis pupuk dan pergeseran fanatisme petani terhadap jenis pupuk itu merupakan moral hazard bagi distributor untuk mempermainkan pasokan pupuk. Implikasinya harga pupuk jenis tertentu di tingkat petani naik.

USULAN SUBSIDI GABAH. Usulan untuk mengubah subsidi pupuk menjadi subsidi gabah secara ekonomis juga kurang tepat. Implementasi subsidi terhadap harga gabah secara institusional memerlukan lembaga yang berperan sebagai buffer stock melalui kebijakan pengaturan floor price dan ceiling price yang efektif. Peran tersebut secara historis pernah dijalankan Bulog selama Orde Baru. Dengan berubahnya status Bulog sebagai BUMN dalam bentuk Perum, orientasi Bulog saat ini adalah lebih pada penciptaan keuntungan dari operasionalisasi usahanya. Oleh sebab itu, dibutuhkan badan baru yang mampu mengemban misi pelaksanaan kebijakan subsidi tersebut secara efektif dan mampu "menjinakkan" para spekulan di pasar.

Secara finansial, subsidi harga gabah membutuhkan ketersediaan anggaran yang besar. Dalam kondisi keterbatasan anggaran dan diterapkannya kebijakan kesinambungan fiskal oleh Menteri Keuangan, dana subsidi harga gabah akan menjadi masalah tersendiri.

Secara ekonomis, subsidi harga gabah juga tidak memupuk kemandirian ekonomi para petani. Seharusnya petani diberi kebebasan dan ditingkatkan kapasitasnya untuk mengatur harga melalui pengaturan stok gabah dalam bentuk revitalisasi lembaga lumbung padi yang selama ini cenderung dimarjinalkan keberadaannya.

FORMAT SUBSIDI YANG TEPAT. Fokus pembangunan pertanian ke depan harus diarahkan kepada pembangunan manusia yang terlibat langsung dalam usaha pertanian, yaitu petani itu sendiri. Pembangunan petani dilakukan melalui strategi pemberdayaan dan pengembangan masyarakat dengan memfokuskan kepada peningkatan kapasitas yang didukung bantuan teknis dan pendampingan yang tepat, proporsional, dan profesional.

Oleh karena itu, format subsidi ke depan harus diarahkan langsung kepada petani. Konsekuensinya, subsidi yang dikeluarkan pemerintah harus diorientasikan untuk meningkatkan kapasitas petani agar mereka mampu menjalankan usaha secara komersial dan berkelanjutan. Peningkatan kapasitas petani melalui bantuan teknis dan pendampingan bertujuan membantu petani dalam mengenali masalah dan potensi yang ada agar mereka dapat membuat prediksi usaha pertanian yang tepat sesuai dengan dinamika bisnis dalam jangka panjang. Untuk itu dibutuhkan subsidi pemerintah dalam menyediakan dan merevitalisasi tenaga pendamping atau penyuluh pertanian yang profesional. Revitalisasi dan efektifkan operasionalisasi balai pendidikan dan pelatihan serta balai penelitian pertanian.

Dengan demikian, pertanian bukan lagi diaksentuasikan sebagai way of life yang dijalani secara sambilan, informal, dan subsisten, serta sarat dengan beban-beban mitos kultural, tetapi lebih diartikulasikan sebagai kegiatan usaha ekonomi produktif yang harus dikelola secara modern, profesional, dan berorientasi keuntungan. Petani sendiri harus dipersepsikan sebagai subyek pembangunan dan disiapkan secara aktif menjadi seorang pengusaha. Pada akhirnya mereka mampu mentransformasikan usaha pertanian menjadi salah satu sektor bisnis yang menguntungkan sehingga layak bank.

Namun, penyuluhan, pendidikan, pelatihan, dan penelitian semata tidaklah cukup. Upaya itu harus didukung beberapa strategi lain. Pertama, transformasi usaha pertanian ke dalam sistem agrobisnis. Sistem agrobisnis yang akan mengubah pola usaha pertanian secara keseluruhan, baik dari aspek produksi, pembiayaan, pengolahan, maupun pemasaran hasil pertanian. Dalam konteks petani padi, sistem agrobisnis akan mampu meningkatkan produktivitas, sekaligus kualitas produk beras dan mampu menciptakan diversifikasi usaha pertanian yang lebih menguntungkan secara komersial. Pada akhirnya akan mengubah petani individual menjadi petani komunal yang terintegrasi ke dalam kluster ekonomi yang lebih besar dan kuat.

Kedua adalah arus utama anggaran pemerintah (budget mainstreaming) dalam mendukung usaha pertanian. Keterbatasan anggaran memaksa pemerintah fokus pada pembiayaan yang sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya, yakni pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pertanian serta peningkatan kualitas sumber daya manusia pertanian. Ketiga, kerangka regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas.

Keempat, perlindungan, pelestarian dan revitalisasi kearifan lokal dan kelembagaan lokal di tingkat petani apabila bernilai positif akan sangat bermanfaat, seperti lumbung desa dan lumbung pitih nagari.

Kelima, penguatan peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan petani. Pemerintah daerah yang memiliki posisi paling dekat dengan petani mempunyai peran penting dalam memantapkan seluruh proses transformasi perilaku petani. Perubahan "mitos" pertanian sebagai way of life harus mengarah pada terbentuknya etos kerja petani yang tinggi dalam menjalankan usaha pertaniannya. Pemerintah daerah juga berperan untuk menanamkan pemahaman bahwa pertanian adalah sumber kesejahteraan petani yang harus dikelola secara profesional dan berdaya saing tinggi. (*)TULISAN ini pernah menjadi kolom utama Kompas di bagian headline dengan judul "Subsidi untuk Petani Padi Mencari Format yang Tepat" pada hari Senin, 06 September 2004

Tidak ada komentar: